Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

JANJI SUFI TAK MAKAN DAGING GAJAH - Kisah Para Sufi


Pada zaman dahulu, hiduplah seorang sufi bernama Syekh al-Mu’anisi.

Ia juga dikenal dengan panggilan Abu Abdillah al-Qalanisi.

Alkisah, Abu Abdillah sedang menempuh perjalanan yang mengharuskannya mengarungi lautan.

Ia sampai di pelabuhan dan menaiki sebuah kapal yang bersandar.

Nakhoda menunggu hingga kapasitas kapal itu terisi penuh, baik oleh barang maupun penumpang.

Setelah itu, bahtera ini pun siap berlayar.

Pada awalnya, pelayaran berlangsung tanpa kendala.

Langit begitu cerah.

Permukaan air laut pun cukup tenang,

sedangkan angin bertiup sepoi-sepoi.

Namun, beberapa jam kemudian awan mendung nan gelap datang.

Hujan lantas mengguyur dengan derasnya.

Suara gemuruh juga terdengar, diikuti dengan kilatan-kilatan petir.

Tak lama setelah itu, angin puting beliung muncul di atas lautan.

Perahu yang ditumpangi Abu Abdillah bergoncang dengan kerasnya.

Seluruh penumpang berdoa dengan khusyuk demi keselamatan jiwa masing-masing.

Sembil berpegangan tangan pada dinding atau lantai kapal, mereka memohon perlindungan Allah SWT dari marabahaya.

Di antaranya, ada yang bernazar.

Apabila kapal tersebut dapat melalui badai dengan selamat, mereka berjanji akan melakukan berbagai amalan kebajikan.

“Setiap kita bernazar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menyelamatkan kita dari petaka.

Sebaiknya Tuan juga ikut bernazar dan bersumpah kepada Allah,” kata seorang penumpang kepada Abu Abdillah.

“Aku ini termasuk orang yang tidak peduli pada urusan dunia.

Aku tidak perlu bernazar,” jawab sang salik kepada pria di sebelahnya itu.

“Tuan tampaknya adalah seorang yang baik lagi saleh.

Mungkin dengan Tuan bernazar, doa kita semua akan dikabulkan oleh Allah.

Semoga Allah memberikan kebaikan dan keselamatan untuk Tuan,” katanya lagi.

Abu Abdillah pun tidak kuasa menolak.

Ia mengangkat lagi kedua tangannya dan berdoa, kali ini sambil mengucapkan nazar, “Ya Allah, sekiranya Engkau menyelamatkan kami dari musibah badai ini, maka aku tidak akan memakan daging gajah seumur hidupku.”

Pria di sampingnya terkejut mendengar nazar Abu Abdillah.

“Wahai, Tuan,” katanya, “apakah boleh bernazar seperti itu?

Siapa juga orang yang mau memakan daging gajah?”

“Aku sudah mengucapkan nazarku.

Semoga Allah memberikan ganjaran atas lisanku yang telah mengatakan janji itu,” jawab sang salik.

Sementara itu, terpaan badai dan angin kencang semakin kuat.

Kapal tersebut tak lagi mampu bertahan sehingga kehilangan kendali.

Bagian buritannya kemudian menabrak batu karang dengan keras.

Bahtera itu pun pecah berkeping-keping. Seluruh penumpangnya berhamburan ke lautan.

Setiap orang berupaya meraih benda-benda apa pun untuk tetap bisa mengapung.

Beruntung, tak jauh dari tempat mereka berada ada sebuah pulau.

Dengan kekuatan yang tersisa, mereka berenang menuju ke sana.

Akhirnya, sejumlah penumpang kapal nahas itu sampai ke pantai pulau tersebut.

Salah seorang di antaranya adalah Abu Abdillah.

Berhari-hari lamanya mereka terdampar di pesisir, tanpa makan sesuatu pun.

Ketika sedang duduk-duduk beristirahat, tiba-tiba seekor anak gajah lewat di depan mereka.

Beberapa orang menangkap anak gajah tersebut.

Mereka menyembelih dan memakan dagingnya.

Abu Abdillah tetap pada tempatnya.

Seseorang kemudian datang mendekatinya untuk menawarkan daging anak gajah yang telah masak.

“Maaf, aku tidak bisa menerimanya.

Aku telah bernazar dan bersumpah kepada Allah untuk tidak memakan daging gajah,” kata sufi tersebut.

“Tidak apa-apa, Tuan.

Kita dalam keadaan terpaksa sehingga boleh memakan yang dalam keadaan normal terlarang dimakan,” rayu orang itu.

Abu Abdillah bergeming dan memberikan isyarat tidak tertarik.

Insya Allah, aku dapat bertahan dengan tidak memakan daging itu,” katanya.

Setelah kenyang, orang-orang bergotong royong untuk membuat kemah seadanya.

Malam tiba, mereka pun beristirahat lalu tidur dengan lelap.

Pada saat mereka tidur, datanglah seekor induk gajah.

Rupanya, hewan itu sedang mencari anaknya.

Gajah ini berjalan ke sana-kemari sambil mengendus-endus mengikuti jejak bau anaknya.

Hingga akhirnya, ia menemukan potongan tulang anaknya

Induk gajah itu pun sampai di tempat peristirahatan para musafir yang terdampar itu.

Sementara, Abu Abdillah terjaga dan mendapati gajah tersebut mendekati mereka satu per satu.

Setiap kali si gajah mencium bau daging anaknya pada seseorang, maka orang itu akan diinjaknya dengan kuat sampai mati.

Mereka tidak berdaya menghadapi amukan hewan berbobot lebih dari 3 ton itu.

Akhirnya, seluruh orang yang sebelumnya telah memakan anak gajah itu tewas.

Induk gajah kemudian menghampiri Abu Abdillah, tetapi tidak mendapati bau daging anaknya.

Lalu, gajah itu menggerakkan tubuh bagian belakangnya, memberikan isyarat agar sang salik menungganginya.

Maka ia pun naik dan duduk di atasnya.

Seketika, gajah tersebut berlari dengan kencang.

Malam itu, Abu Abdillah dibawa ke sebuah perkebunan yang banyak pepohonan.

Setelah itu, gajah ini mengisyaratkan agar sang alim turun dengan bantuan kakinya.

Segera setelah kedua kaki Abu Abdillah menapak tanah, gajah tersebut lari lebih kencang daripada saat membawanya tadi.

Matahari terbit. Barulah Abu Abdillah menyadari, dirinya sedang berada di tengah kawasan permukiman penduduk.

Di sekelilingnya, terdapat hamparan sawah dan rumah-rumah.

Para warga setempat membawanya ke kediaman sang kepala suku.

Juru bicara suku itu memintanya berbicara.

Abu Abdillah pun menceritakan siapa dirinya, kejadian yang dialami rombongannya di lautan, hingga tindak tanduk aneh gajah yang membawanya ke mari.

“Tahukah Anda seberapa jauh jarak perjalananmu dari pantai ke sini dengan menunggangi gajah?” tanya si juru bicara.

“Aku tidak tahu,” ucap Abu Abdillah.

“Sejauh perjalanan selama delapan hari

Sementara gajah itu membawamu ke sini hanya dalam waktu satu malam!”

Sufi ini diperbolehkan untuk tinggal sementara bersama penduduk desa tersebut. Setelah itu, ia pun kembali pulang ke negerinya.❤
close