Kyai Lentik Penguasa Gunung Putri (Part 2)
“Sudah.” kata Kyai.
“Saya mau… mau…” sahut Iqbal gugup.
“Iya sudah saya isi, mau ilmu kebal senjata kan?” Iqbal manggut.
Aku yang waktu itu membereskan gelas minuman, juga ikut heran, apalagi Iqbal. Karena memang Kyai belum menyentuh Iqbal sama sekali. Melihat Iqbal ragu, Kyai segera memanggil Kunto, santri dari Sumatra yang tubuhnya gempal.
Setelah kunto menghadap, “Kunto, ambil golok!, kau tes si Iqbal ini.” kata Kyai tenang.
Iqbal pucat, kulihat keringat dingin membasahi jidatnya, tubuhnya gemetar, aku tak berani membayangkan apa yang dipikirkan Iqbal, mungkin dia menyesali telah datang kesini, atau mungkin membayangkan kulitnya sobek sampai ke tulangnya kelihatan memutih lalu darah mengucur dari lukanya, lalu tubuhnya ambruk mati.
Kunto telah datang membawa golok, semua santri memiliki golok, senjata khas yang dipakai santri untuk mengambil kayu bakar di gunung putri. Di pondok ini para santri makannya ditanggung Kyai, kalau Kyai ngasih beras, maka nasi yang dimakan, tapi bila adanya ubi maka ubi yang dimakan, bahkan tak jarang berhari-hari kami makan daun singkong yang direbus saja, tapi alat perebus yaitu kayu bakar, kami harus mencari di hutan.
Kedatangan Kunto dengan goloknya yang berkilat-kilat membuat Iqbal makin gemetaran, tamu-tamu yang lain telah minggir, sebelum Kunto datang mungkin takut kecipratan darah, apalagi tamu-tamu wanita makin jauh, tinggal Iqbal yang duduk sendirian di depan Kyai, keringatnya membanjir, apalagi Kunto datang tanpa kata-kata lagi meloncat menebaskan goloknya berkelebat ke arah leher Iqbal yang duduk menunduk di depan Kyai, para tamu perempuan menjerit.
Kontan Iqbal menoleh. Bias, wajahnya seputih kapas, golok Kunto mendesing ke arah lehernya. Memejamkan mata saja Iqbal tak sempat apalagi menghindar, nyawanya rasanya sudah lepas ketika suara ngek!, terdengar di lehernya, tapi segera aliran darah merah mengaliri seluruh permukaan kulitnya yang memutih, menyegarkan kembali urat-uratnya, dan kelegaan menggantikan keterkejutan, ketika mendapati kepalanya tidak menggelundung lepas.
Bahkan ia tak merasakan sakit sama sekali ketika ketajaman golok menyentuh kulitnya, seperti bantal kapuk yang empuk saja. Semua mata yang menatap lega, dan suasana segera dicairkan dengan ketawa Kyai, yang menyuruh Iqbal melanjutkan ujicoba kekebalannya di luar, karena Kyai mau menerima tamu yang lain.
“Oh engkau rupanya nyai Bundo.” kata Kyai, diiringi senyum.
“Maaf nyai aku tak bisa menyambutmu yang mendadak ini,”
“Ah banyak bacot amat!” bentak nyai Bundo.
“Terima serangan ku!”
Seketika perempuan tua itu mengangkat tangan kanannya setinggi pundak, sedang tangan kirinya diarahkan ke pusar. Dengan hitungan detik tapak tangannya menyala, dari menyala merah biru kemudian putih keperakan. Terdengar olehku suara Kyai mendesis, “Pukulan saripati bagaspati.” Tangan Kyai mendorong lututku sehingga tubuhku meluncur seperti beroda dan mentok di tembok. Kulihat tangan nyai Bundo dipukulkan ke depan. Terdengar suara bersiutan seperti suara mobil yang jalan kencang lalu direm mendadak.
Ketika cahaya itu lepas dan menghantam dada Kyai, semua orang di situ matanya melotot, udara terasa panas, rasanya seperti dalam oven. Cahaya yang menghantam Kyai begitu mengenai dadanya, cahaya itu langsung amblas. Kyai tetap duduk tersungging senyumnya. Seperti tak terjadi apa-apa, bahkan pakaian putih yang dikenakan samasekali tak berkibar. Jelas hal itu membuat nyai Bundo makim marah, dan mengulang pukulannya sampai berulang kali, tapi hasilnya sama, Kyai tetap duduk tak bergeming.
“Bedebah cilik, sihir apa yang kau pakai?” nyai Bundo seperti tak percaya, ilmu yang selama ini dibanggakannya seperti tak punya kekuatan apa-apa. Padahal biasanya yang terkena pukulan yang telah dilambari aji saripatibagaspati, jangankan manusia, kerbaupun akan hangus terbakar luar dalam, tinggal mengasih bumbu sudah matang tak perlu dimasak lagi. Tapi ini orangnya masih hahak hihik, jelas membuat nyai Bundo panas hatinya kicat-kicat.
“Sareh nyai, ayo duduk sini.” kata Kyai masih terus ketawa. Walau masih mbesengut nenek itupun akhirnya duduk di depan Kyai, lalu Kyai mengangkat tapak tangan kirinya seraya berkata,
“Nyai, nanti apa yang keluar dari tapak kiriku, dan engkau bisa mengambilnya maka itu menjadi hak mu.” nyai Bundo penasaran matanya menatap ke tapak tangan Kyai yang terpentang.
Nyai Bundo memandang tak berkedip kearah tapak tangan Kyai yang perlahan tapi pasti mulai memerah dan semakin merah bercahaya, ketika dari dalam telapak tangan itu keluar batu mirah delima, batu itu terlihat merah menyala-nyala, sampai lengan baju putih Kyai ikut menyala. Segera tangan kiri nyai Bundo meraih punggung tapak tangan Kyai, sementara tangan kanannya mencoba mengambil mirah delima yang menyala-nyala itu, tapi alangkah terkejutnya karena batu itu seperti lengket di telapak tangan Kyai.
Lebih lengket daripada lengketnya perekat raja lem sekalipun. Nyai Bundo mencoba mengambil dengan segala daya kekuatannya. Sementara Kyai terkekeh-kekeh, keringat nyai Bundo membanjir, dan asap putih tipis mengepul dari rambutnya menunjukkan bahwa nyai itu telah menggunakan kekuatan tenaga dalamnya. Malah batu sakti itu tak bergeser sedikitpun, dan lagi ketika batu itu masuk lagi kedalam telapak Kyai tangan nyai Bundo ikut terbetot masuk kedalam. Sontak nyai Bundo membetot tangannya, setelah batu itu lenyap.
“Itu mungkin bukan rizkimu nyai, mungkin yang ini rizki mu,” lagi-lagi dari dalam tapak tangan Kyai yang terbentang, perlahan muncul gagang keris berukir burung garuda, keris itu perlahan keluar dari tangan Kyai yang sama sekali tak berlubang apalagi berdarah. Separuh keris itu masih menancap di tapak tangan Kyai, nyai Bundo pun lekas memegang gagang keris dan mengerahkan semua tenaga dalamnya di salurkan ke tangannya yang menggenggam keris. Dengan mudahnya keris itu dicabut. Sreet, seperti mencabut rambut dari adonan roti.
Ketika keris telah tercabut betapa nyai Bundo matanya melotot terkejut, dia benar-benar mengenali keris yang sekarang ada di genggamannya.
Segera ia bersujud mohon ampun dan menyembah-nyembah ke Kyai, Kyai cuma terkekeh-kekeh sambil membelai rambut putih perempuan tua yang sedang bersujud. Lalu Kyai menyuruh nyai Bundo duduk dengan tenang. Dan Kyai mengajakku dan yang ada di situ sholat berjamaah karena memang waktu magrib tinggal sedikit. Setelah sholat selesai dan dzikir setelah sholat, Kyai segera menemui nyai Bundo yang masih duduk sambil tangannya masih memegang keris dan tak ikut menjalankan sholat karena memang nyai Bundo bukan orang Islam. Ketika Kyai duduk di depannya, nyai itu segera meraih tangan Kyai menyalaminya, membungkuk dan meletakkan tangan Kyai di jidatnya.
“Maafkan aku guru, yang bodoh ini, tak tau tingginya gunung di depan mata, bimbinglah aku guru…” suara nyai Bundo mengiba, tak seperti pada saat kedatangannya, yang menantang-nantang.
“Nyai dari mana engkau tau akan diriku.” tanya Kyai lalu nyai Bundo menceritakan.
Nyai Bundo adalah orang Kalimantan pedalaman, dia murid seorang sakti bernama Wong Agung Sahlunto, ketika gurunya itu moksa di depannya. Sebelum moksa gurunya itu berpesan, sambil mengacungkan keris yang sekarang ini ada di genggamannya.
Lalu katanya, “Muridku kalau kau nanti menemukan orang yang memegang keris ini, maka tunduklah padanya ikuti ajarannya dan masuk agamanya.” setelah berkata seperti itu Wong Agung itu sirna beserta kerisnya. Bertahun-tahun berlalu namun nyai Bundo tak menemukan keris yang dipegang gurunya di tangan orang lain. Dia mencari ke segala penjuru, namun tetap tak menemukan, dalam pencariannya itu nyai bertemu dua orang pertapa sakti dari orang Dayak, namanya Luh Bajul dan Luh Landak.
Dan mereka bertiga mengikat persaudaraan, pada waktu terjadi kerusuhan sampit Luh Bajul dan Luh Landak mengamuk, membunuhi orang Madura. Sepak terjang dua orang sakti ini begitu menakutkan, tak jarang seorang bayi yang digendong ibunya, tanpa ketahuan sang ibu, telah kehilangan kepalanya.
Sungguh gerakan dua orang ini tak diketahui, sehingga banyak korban binasa di tangan dingin mereka. Di suatu senja, Luh Bajul dan Luh Landak tengah mengaso di tepi hutan. Setelah selesai menumpas habis dua keluarga, mereka berdua tengah duduk-duduk santai di bawah pohon randu alas. Tiba-tiba ada suara keras dan berat memanggil nama mereka berdua, mereka segera mendongak ke atas karena suara itu dari atas dan mereka terkejut sekali melihat perwujudan besar tinggi hitam legam, lebih tinggi dari pohon randu alas, matanya merah menyala seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu.
Serempak mereka berdua bersujud menyembah, karena mereka tau itulah Jadsaka, jin yang mereka sembah, yang memberikan berbagai ilmu sihir dan ilmu kesaktian. Kata jin itu dengan suaranya yang membuat bumi yang dipijak kedua orang itu bergetar “Jebleng..! Jebleng..!, celaka, celaka, Sang raja akan datang kesini, kalian sambutlah dia, dan ikuti apa yang dikatakannya, sebelum dia marah dan menghancurkan bangsaku maka aku akan membinasakan kalian berdua.”
Setelah menemui sang raja itu kedua pertapa dayak itu menceritakan pada nyai Bundo, perempuan itu yang tak ada hubungan dengan Jadsaka tanpa takut. Dengan petunjuk dari Luh Bajul dan Luh Landak segera mencari keberadaan sang raja.
Aku jadi ingat pada satu malam setelah wirid malam aku tertidur pulas dalam tidur aku bermimpi Kyai mengajakku, “Mas Ian ayo temani aku jalan-jalan.″ begitu kata Kyai, lalu Kyai menggandengku.
Tubuhku terasa ringan seperti kapas, melayang cepat laksana kilat, melintasi pohon melewati gunung, melayang seperti superman dalam film, melintasi laut menuju pulau, perjalanan begitu cepat. Lalu tubuh kami melayang sebatas pinggang, nampak olehku dua orang duduk bersimpuh, menyembah-nyembah.
“Ampun raja apa yang paduka inginkan?”
“Aku hanya ingin kalian hentikan membunuh orang.” kata Kyai masih memegang pergelangan tanganku.
“Baik paduka… kalau boleh tau siapa gerangan paduka?”
“Aku Kyai Lentik penguasa gunung Putri.” setelah berkata itu maka Kyai pun segera menarik tanganku kembali, melesat cepat, dan aku terbangun, hari sudah pagi, kejadian malam itu aku menganggapnya hanya mimpi saja, ternyata kini aku tau bahwa itu nyata, apalagi setelah menguasai ilmu raga sukma melepas sukma itu adalah hal yang biasa saja, terbang kemana saja sekehendak kita.