Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LERENG SELATAN MERAPI,TRAGEDI KISAH NYATA


Hari ini saya duduk di Posko Utama BNPB Pakem Sleman DIY sambil mengingat kejadian yg memilukan 10 tahun yg lalu yg menimpa warga sekitar lereng Merapi begitu pula mengingat tentang perjuangan para relawan.

Sungguh tak di sangka semua relawan dari manapun tergerak hatinya untuk bersinergi membantu para warga.. sungguh mulia hati mereka.

Tepatnya saya duduk sambil memandang Gunung Nan indah ini sambil "ngopi"(kalau temen temen ada waktu luang mampir kesini..haaha) bersama para Tim Sar,TNI,POLRI,Relawan yg sedang bertugas disini karena kondisi Gunung Merapi yg sedang meningkat sejak bulan lalu (mohon doa nya semoga lekas membaik dan semoga di beri ketabahan untuk para pengungsi di berbagai lereng merapi).

Tulisan ini tidak bermaksud untuk menguak “luka dan duka” warga kawasan lereng Gunung Merapi lainnya ataupun juga tidak didedikasikan untuk menghormati para pelaku operasi Evakuasi semata. Ataupun hanya melihat sebelah mata terhadap upaya-upaya yang telah dilakukan oleh berbagai pihak dalam proses operasi evakuasi.

Namun cerita ini diharapkan dapat menjadi bagian yang melengkapi pelajaran yang didapatkan dari peristiwa Erupsi Merapi 2010.

Sehingga ke depan dapat dijadikan tetenger (penanda) dalam upaya memperbaiki pelaksanaan sebuah operasi evakuasi warga lereng Gunung Merapi secara terus menerus seperti hari ini tepat 10 tahun pasca erupsi.

Tulisan ini hanyalah sebutir pasir dari pantai tujuan yang hendak dicapai, yaitu keselamatan warga lereng Gunung Merapi beserta kekayaan yang dimilikinya.

LERENG SELATAN MERAPI, Kinahrejo 

Rabu, tanggal 27 Oktober 2010 sekitar jam 04.15 WIB,

Seusai breifing SRU (Search and Rescue Unit), sekitar 33 orang Elang berangkat dari Posko Operasi di Dusun Pangukrejo, Desa Umbulharjo menuju pemukiman Kinahrejo untuk melakukan evakuasi yang kesekian kalinya paska-erupsi Gunung Merapi sehari sebelumnya.

Tim Evakuasi berangkat dengan menggunakan alat transportasi yang seadanya: ada sebuah sepeda motor yang digunakan bertiga dan ada pula sebuah mobil sedan serta mobil rescue yang ditumpangi dua kali kapasitas normal.

Selama sekitar 20 menit perjalanan, debu vulkanik yang menutup jalan beterbangan dihempas roda kendaraan juga memperlambat laju kendaraan bahkan beberapa sepeda motor dan sebuah mobil terseok.

Lapisan debu semakin tebal sepanjang perjalanan hingga mendekati permukiman Kinahrejo. Bukan sebuah perjalanan yang mudah menembus medan yang 12 jam sebelumnya terkena material erupsi Merapi.

Setelah memarkir kendaraannya menghadap ke selatan dan tanpa mencabut kunci kendaraan, semua anggota SRU (Search and Rescue Unit) Tim Evakuasi berkumpul di Titik Koordinasi di persimpangan antara jalan aspal dari pertigaan menuju jalur pendakian dengan jalan dusun dari Kali Kuning menuju ke pemukiman Kinahrejo, briefing akhir dan checking akhir peralatan dilakukan oleh Elang 1 dan Elang 2 – selaku Komandan Operasi, dan diakhiri pesan untuk berhati-hati karena area pemukiman masih diselimuti material erupsi dan kondisi rumah warga yang rentan runtuh.

Tiga SRU bergerak ke tiga sasaran yang berbeda. Sasaran SRU pertama adalah Masjid Al-Amin dan rumah kediaman Mbah Maridjan, SRU kedua menuju rumah-rumah yang berada di bawah rumah Mbah Maridjan dan SRU ketiga menyisir rumah warga yang berada di atas rumah Mbah Maridjan.

Elang 1 akan mengkoordinasi pergerakan seluruh SRU dari Titik Koordinasi – dengan ditemani Elang 2 yang memegang radio komunikasi handy talkie yang memantau dinamika aktivitas Gunung Merapi.

Sekitar jam 04.50 WIB SRU 1 dan SRU 2 meluncur bersamaan ke pemukiman Kinahredjo, sedangkan SRU 3 mulai menuju ke atas.

Sungguh pemandangan yang tak terperikan menyaksikan kondisi pemukiman yang menjadi tempat favorit bagi pecinta alam Yogyakarta tersebut.

Sebagian besar bangunan rumah dan pepohonan yang berada di sekitarnya rubuh dan diselimuti debu vulkanis. Para Elang harus ekstra hati-hati melewati rerubuhan pepohonan. Di beberapa titik masih terlihat api menyala.

LERENG SELATAN MERAPI, Kinahrejo 

Kinahrejo, 27 Oktober 2010, jam 04.56

Tak berapa lama SRU 1 menemukan sebuah jenazah di bawah kediaman Lik Udi.

Jenazah segera dimasukkan dalam kantung jenazah yang sudah disiapkan setelah teridentifikasi sebagai salah satu klg Lik Udi.

Dengan mempertimbangkan waktu yang tersedia – berpacu dengan ketidaktentuan aktivitas Gunung Merapi, jenazah segera dirapikan dan dibawa ke Titik Koordinasi.

Sejurus kemudian sebagian Elang yang tergabung dalam SRU 2 yang dipimpin Elang 4 melakukan penyisiran di sekitar kediaman Mbah Maridjan, sedangkan sebagian Elang lainnya melakukan penyisiran di Masjid Al-Amin yang masih tegak berdiri namun sebagian gentengnya sudah rusak.

Elang 4 segera menuju gandok rumah Mbah Maridjan.Gandok adalah ruang penghubung yang biasanya terdapat rumah masyarakat Jawa tradisional.

Di rumah Mbah Maridjan, gandok menghubungkan ruang tamu dan dapur keluarga

Dan benar. Mbah Maridjan ditemukan di gandok, dalam keadaan sudah meninggal dengan posisi sujud menghadap ke selatan.

Jam menunjukkan sekitar pukul 05 lebih sedikit. Seketika kalimat tauhid pun menggema di bekas ruangan berukuran sekitar tiga meter kali empat meter tersebut.

Identifikasi segera dilakukan. Mulai dari pakaian – berupa baju batik dan sarung, hingga ciri-ciri fisik Mbah Maridjan.

Positif Mbah Maridjan. Kondisi fisik Mbah Maridjan relatif masih bagus dan mudah dikenali, bahkan tidak ada luka bakar seperti layaknya jenazah lainnya yang terkena material erupsi.

Dipimpin Elang 4, evakuasi segera dilakukan, dengan menyingkirkan batang pohon berdiameter sekitar 30 cm dan puing-puing reruntuhan dinding sisi utara rumah beliau serta perabot rumah tangga.

Jenazah kemudian dimasukkan dalam kantung jenazah yang sudah disediakan dan segera dibawa keluar dengan (masih) diiringi alunan kalimat tauhid Tim Evakuasi.

Jenazah Mbah Maridjan dan jenazah beberapa warga Kinahrejo yang ditemukan segera dibawa ke Titik Koordinasi.

Keindahan matahari yang mulai menampakkan diri dengan semburat warna merahnya tak mampu menggantikan “pemandangan” Kinahredjo pagi itu.

Pagi yang biasanya indah dan ketenangan alam khas Kinahredjo sama sekali sirna dan tergantikan dengan pemandangan yang “luar biasa” bagi nalar manusia.

Terlihat Elang 5 terduduk dan mencoba menahan air mata melihat Kinahredjo pagi itu. Tak berapa lama, Elang 6 datang menghampiri dan merangkul kemudian mengangkat tubuh Elang 5 yang terduduk tak berdaya.

Beberapa kata meluncur dari Elang 6 yang ditujukan kepada Elang 5. Elang 5 kemudian bangkit, dan bersama Elang 6 segera menyusul Elang-Elang lainnya menuju Titik Koordinasi.

Kinahrejo, 27 Oktober 2010, jam 05.12

Di Titik Koordinasi kantung jenazah Mbah Maridjan sudah dimasukkan ke sebuah mobil dan kemudian ditutup dengan sebuah mantel (jas hujan) warna biru.

Tak berapa lama, mobil tersebut segera meluncur turun menuju rumah sakit dengan ditemani beberapa Elang. Sedangkan beberapa jenazah lainnya sedang dimasukkan dalam sebuah mobil ambulans.

Kerumunan orang di Titik Koordinasi semakin banyak, terutama warga Kinahredjo yang naik kembali untuk memastikan keberadaan dan keadaan saudara mereka.

Beberapa warga terduduk lesu, setelah mengetahui ciri-ciri fisik jenazah yang sudah berada di Titik Koordinasi. Sebagian lainnya berwajah tegang, menunggu kabar dari SRU 3 yang masih melakukan pencarian korban. Bahkan ada beberapa warga yang kemudian menyusul ke atas.

LERENG SELATAN MERAPI, Kinahrejo 

Sementara itu, sebagian Elang dari SRU 1 dan SRU 2 segera membantu pencarian.

Sasarannya adalah rumah warga yang berada di barat Titik Koordinasi menuju Kali Kuning dan kemudian bergerak ke atas.

Sebagian lainnya membantu membawa kantung jenazah dan menyusul SRU 3 yang saat itu sudah berada di pemukiman yang berada di sekitar jalur pendakian.

Elang 7 dan Elang 8 yang hendak menyusul rombongan SRU 3,tiba-tiba Elang 1 menghentikan mereka, “Kalian berdua ke atas saja. Sisir jalan ini dan rumah di sekitarnya!”.

“Siap!”, sahut Elang 7 dan langsung merubah arah langkah kaki.

Mereka menyisir satu per satu rumah. Rumah pertama dan kedua kosong. Di dalam rumah ketiga, mereka menemukan tiga warga yang sudah meninggal.

Dikarenakan tidak membawa kantung jenazah, maka mereka hanya memberi marker di jalan masuk ke rumah tersebut.

“Kamu naik saja. Saya akan turun mengambil kantung jenazah. Siapa tahu masih ada korban yang hidup”, pinta Elang 7 kepada Elang 8.

Elang 8 pun menyahut, “Oke”.

Mereka pun berpisah.

Kinahrejo, 27 Oktober 2010, jam 05.43

Sesampai Elang 7 di Titik Koordinasi, ternyata semua kantung jenazah sudah terpakai. Bahkan dua dari enam jenazah dibungkus dengan menggunakan selimut seadanya.

Elang 7 pun menyampaikan informasi kepada Elang 1 bahwa tim yang berada di atas membutuhkan tambahan kantung jenazah untuk mengevakuasi korban.

Setelah berdiskusi, Elang 1 berkata, “Oke kalau begitu, ambil sarung, jarik atau apapun untuk dijadikan alas dan selimut penutup jenazah. Sebanyak-banyaknya!”, kepada beberapa orang yang sudah berada di sekitar Titik Koordinasi.

“Ayo Mas. Kamu bantu aku. Keluarkan jenazah ini dan kantungnya bisa kamu bawa ke atas”, ucap Elang 1 kepada Elang 7.

Elang 7 tertegun dan terdiam beberapa saat. Mungkin bimbang di antara dua kondisi yang tidak sama enaknya.

Akhirnya Elang 7 mengikuti perintah tersebut, mengeluarkan jenazah dari kantung, meletakkannya kembali dan menutup dengan lembaran kain seadanya.

Elang 7 kembali menyusul ke atas dengan membawa tiga kantung jenazah dan mengajak dua Elang lainnya.

Di perjalanan, Elang 7 beriringan dengan seseorang, yang tampaknya warga Dusun Kinahrejo.

Elang 7 pun memberanikan diri bertanya, “Ndaleme njenengan pundi Mas? (Rumah anda di mana Mas?)”.

Orang tersebut menoleh dan menjawab. “Wonten inggil, Mas (Di atas, Mas).”.

“Lha njenengan ajeng nopo? (Lha anda mau ngapain?)”, sergah Elang 7.

“Madosi tiyang sepuh kulo, Mas (Mencari orangtua saya Mas)”, tukas orang tersebut.

Elang 7 memutuskan untuk menyerahkan kantung jenazah kepada dua Elang lainnya, dan menyertai orang tersebut naik ke atas. Nama warga tersebut adalah Suparman – sebut saja begitu.

Setelah berjalan kira-kira lima menit, tiba-tiba Mas Suparman berlari tergesa-gesa.

Ternyata, dirinya melihat tiga kantung jenazah yang diletakkan berjejer di ujung pandangan mata Elang 7.

“Mas, niki sinten mawon? Piyantun pundi mawon? (Mas, ini siapa saja? Orang mana saja?)”, cecar Mas Suparman seketika kepada salah satu Elang yang berada di lokasi.

Belum sempat dijawab, Mas Suparman segera membuka kantung jenazah. Seketika dirinya terduduk lemas.

“Mas, niki wong tuwo kulo (Mas, ini orang tua saya)”, ucapnya sambil menoleh ke Elang 7.

Air mata Mas Suparman pun tumpah. Elang 7 menghampiri dan duduk di sebelahnya. Sejurus kemudian Elang 7 merangkul Mas Suparman.

Kemudian terdengar beberapa kalimat meluncur dari Elang 7 dan selanjutnya terdengar ucapan Basmallah. Kedua orang tersebut mengucapkan Surah Al-Fatihah, dengan kepala sama-sama tertunduk.

Tiba-tiba Elang 7 berteriak, “Hei… Mas. Jangan ambil gambarnya. Jangan !!”, seraya mengangkat tangannya lurus ke depan kepada seseorang yang sedang men-shoot peristiwa yang dialami Mas Suparman.

“Lho… kok nggak boleh ? Ini kan …” jawab si Kameramen.

Belum selesai Si Kameramen berucap, “Ambil yang lainnya saja. Ini bukan komoditas!” sergah Elang 7.

“Atau kalau mau ambil, awake dewe senggel dhisik (Kita berkelahi dulu)!!” tambah Elang 7 dengan nada lebih ketus.

Akhirnya si Kameramen memilih pergi. Belakangan diketahui bahwa si Kameramen merupakan wartawan dari salah satu stasiun TV nasional yang (entah) berhasil menyelundup atau diselundupkan.

Dan pertimbangan Elang 7 melarang wartawan tersebut adalah kekhawatiran bahwa rekaman tersebut akan menjadi bahan eksploitasi berlebihan terhadap momen kesedihan warga Kinahrejo.

LERENG SELATAN MERAPI, Kinahrejo

Setelah semua warga Kinahrejo yang diduga menjadi korban dapat dipastikan keberadaan dan keadaannya, maka seluruh Elang segera membawa turun kantung-kantung jenazah tersebut ke Titik Koordinasi.

Sebagian besar korban dapat diidentifikasi oleh keluarga yang berada di Titik Koordinasi, segera diberi tanda pada kantung jenazah yang bersangkutan.

Setelah itu, jenazah-jenazah tersebut dinaikkan ke sebuah mobil pick-up dan tak lama kemudian mobil tersebut meluncur turun ke rumah sakit. Sejurus kemudian Elang 9 menyalakan sepeda motornya dan meluncur turun.

Tak seberapa jauh Elang 9 berhenti di sebuah mulut gang. Dengan bergegas Elang 9 melangkah ke bangunan rumah yang berada di depannya. Rumah Lik Pujo. Yang empunya rumah sudah dipastikan berada di salah satu rumah sakit di Jogja dengan kondisi luka bakar.

Elang 9 menyaksikan sebagian genteng rumah depan runtuh, pohon-pohon dan menara komunikasi yang rubuh di pekarangan dan menimpa teras rumah belakang.

Elang 9 segera masuk ke rumah belakang melewati pintu depan yang terbuka. Seluruh ruangan bewarna sama, abu-abu.

Setelah melihat keseluruhan kondisi rumah, Elang 9 kembali ke ruang depan yang terhubung langsung dengan ruang dapur.Kalender tidak terbakar.Seperangkat peralatan minum tanah liat di atas meja berselimut debu vulkanis.

Elang 9 melihat dinding. Kalender tidak terbakar, lambang Kraton Ngayogyakarto yang terbuat dari kayu masih utuh.

Kemudian mata Elang 9 berhenti pada jam dinding. Elang 9 mendekat ke jam dinding dan mengusap sebagian permukaan kacanya. Jam menunjukkan angka tujuh kurang sedikit.

Muncul pertanyaan di benak Elang 9 : Inikah “saat” yang terhenti di Kinahrejo?

Elang 9 kemudian keluar rumah dan berpapasan beberapa Elang yang sudah berada di halaman rumah Lik Pujo. Terjadi sedikit pembicaraan di antara para Elang tersebut.

Selain Elang 9, semua Elang meneruskan langkah ke belakang rumah, sedangkan Elang 9 menuju ke tempat sepeda motornya. Di pinggir jalan, Elang 9 bertemu dengan Elang 1 dan Elang 10 yang sedang berdiri menghadap ke Gunung Merapi.

“Gimana Mas?”, tanya Elang 10 kepada Elang 1.

Elang 1 hanya menoleh sambil tetap mendengarkan informasi dari handy talkie. Tak berapa lama, Elang 1 memanggil Elang 10 dengan lambaian tangan agar mendekat.

“Kamu naik dengan motormu. Tarik seluruh teman-teman yang masih di atas untuk turun! Aktivitas Merapi meningkat !”, kata Elang 1.

Tanpa berkata lagi, Elang 9 segera menaiki sepeda motornya menuju Titik Koordinasi.

Sesampai di Titik Koordinasi, Elang 10 melihat beberapa sepeda motor yang terparkir dan beberapa orang masih berada di sekitar pemukiman warga Kinahrejo.

Sebagian (besar) dari kebanyakan orang tersebut sedang “asyik” mengambil foto kawasan Kinahrejo.

“Gebleg !”, gumam Elang 10.

“Heiii… semuanya turun… turun… Merapi naik… Merapi naik…!!” teriak Elang 10 kepada orang-orang tersebut.

Orang-orang tersebut segera berlarian ke sepeda motornya masing-masing.

“Masih ada orang nggak Mas di sana?” tanya Elang 10 kepada salah satu orang “gebleg” tersebut.

“Masih Mas..”, jawab orang tersebut sambil berlalu.

Elang 10 segera naik – dengan masih mengendarai sepeda motornya, hingga reruntuhan pohon yang melintang di jalan.Sesaat Elang 10 melihat seseorang yang kesulitan memutar sepeda motornya.

“Sing iki tambah gebleg.. (Yang ini tambah gebleg…)!!”, gumam Elang 10 (lagi).

Setelah memutar sepeda motornya menghadap ke selatan tanpa mematikan mesin, Elang 10 turun dan kemudian berjalan ke arah makam – yang berada di punggungan sebelah barat Masjid Al-Amin.

Dengan berdiri di bagian igir punggunan, Elang 10 memperhatikan pemukiman di sekitar rumah Mbah Maridjan.Terlihat 3 – 4 orang masih “mendokumentasikan” tempat tersebut.

“Hoooiiiii….hooiiii…”, teriak Elang 10 sekuat tenaga.

Orang-orang yang berada di bawah menoleh. Elang 10 segera melambaikan tangan kanannya sembari tangan kirinya menunjuk ke arah Gunung Merapi.

“Balik….balik…cepet…!”, Elang 10 beteriak lagi.

Orang-orang tersebut segera berjalan ke arah Elang 10.

“Lari….lari… Merapi naik… Merapi naik…!”, lagi-lagi Elang 10 berteriak.

Setelah itu, Elang 10 segera menuju sepeda motor dan menaikinya.Sambil berjalan turun, Elang 10 masih menengok ke arah barat, jika masih ada orang yang berada di kawasan tersebut.

Sesampai di Titik Koordinasi, Elang 10 berhenti dan menunggu orang-orang yang diteriakinya tadi. Beberapa saat kemudian, orang-orang tersebut sudah sampai di Titik Koordinasi dengan terengah-engah.

“Ayo Mas…turun…!!” kata Elang 10 dengan sedikit bentakan.

Elang 10 pun memacu sepeda motornya menuju pertigaan Ngrangkah.

LERENG SELATAN MERAPI, Kinahrejo

Di pertigaan Ngrangkah, lebih banyak lagi orang yang sudah berkumpul tempat tersebut.

Tak berapa lama kemudian, serombongan mobil pejabat tiba di pertigaan Ngrangkah dan terus berjalan naik. Beberapa Elang tersenyum (kecut) dan bahkan ada yang berkata

“Telat komendann… Tangine kawanen… (Terlambat komendan…. Bangunnya kesiangan…)”.

Sekitar jam 8, Elang 1 dan Elang 2 mengumpulkan seluruh Elang untuk melakukan debriefing operasi.

Elang 1 menyatakan bahwa operasi untuk sementara dihentikan, rekapitulasi (sementara) korban yang sudah dievakuasi, seluruh personil akan ditarik ke Posko untuk istirahat dan digantikan dengan personil lainnya, serta adanya informasi yang menyatakan bahwa masih ada 2 orang warga Kinahrejo yang belum ditemukan keberadaan dan keadaannya.

Berdasar informasi dari keluarga, kedua orang tersebut diperkirakan masih mencari rumput ketika erupsi terjadi pada Selasa sore.

Terakhir, Elang 1 menyatakan rasa terima kasih kepada seluruh Elang yang telah terlibat dan berkontribusi dalam operasi evakuasi warga Kinahrejo pagi itu.

LERENG SELATAN MERAPI 

[ Cangkringan ] ( cerita pindah dulu ke daerah Cangkringan yakkk)

Kisah ini merupakan cerita yang tercecer dari banyak kisah yang menceritakan evakuasi warga yang bermukim di sekitar Kantor Kecamatan Cangkringan Sleman.

Seperti kita ketahui bersama, jika sekitar 5 dusun yang berada di sebelah utara dan timur Kantor Kecamatan Cangkringan luluh lantak akibat material lahar panas yang dimuntahkan Gunung Merapi ke Kali Gendol tanggal 5 November 2010 dini hari.

Kisah ini tidak hendak menceritakan kepahlawanan para relawan dan anggota Tim SAR, namun lebih bertujuan untuk memperluas wawasan kita bahwa proses evakuasi tidak semudah yang dibayangkan oleh banyak orang.

Oleh karena itu, para relawan dan anggota Tim SAR yang disebutkan dalam kisah ini, identitasnya disamarkan. Penyamaran tersebut juga atas permintaan para relawan dan anggota Tim SAR kepada penulis, agar nilai ibadah mereka tidak terkurangi pahalanya karena riya’.

Penulis hanya menyajikan ulang, sesuai dengan apa penuturan dan catatan para relawan dan anggota Tim SAR kepada penulis.Adapun kekurangan dalam penulisan ulang ini, penulis memohon maaf...

Brakkkkk !!! Seketika pintu depan sebuah rumah terbuka karena didorong tangan yang terkesan terburu-buru.

“Bapak, panjenengan saweg nopo?” (Bapak, anda sedang apa?) tanya Mawar 1, selaku Komandan SRU (Search and Rescue Unit) Mawar yang diberi tugas untuk melakukan penyisiran di Dusun Bakalan Desa Argomulyo Kecamatan Cangkringan Sleman.

Bapak yang empunya rumah dengan sedikit terkaget menjawab “Ajeng dhahar Mas. Monggo pinarak” (Hendak makan Mas. Silahkan masuk), sambil membawa sepiring nasi yang masih mengepul.

Mawar 1 tersentak dengan jawaban tersebut. “Mboten, sampun, maturnuwun. Sak meniko njenengan kedah nderek kulo, monggo mandhap sarengan.Kedah sak meniko”(Tidak, sudah, terima kasih. Sekarang Anda harus ikut saya, mari turun bersama. Harus sekarang) timpal Mawar 1 dengan nada sedikit “memerintah”.

“Lha wonten menopo? Kok kulo kedah mandhap. Kulo niki ajeng sarapan” (Lha, ada apa? Kok saya harus turun. Saya sekarang hendak sarapan) jawab si Bapak.

“Lho pripun toh. Lahar Merapi niku sampun dugi wonten wingking griyane njenengan. Monggo! Gek cekat-ceket!” (Lho gimana toh. Lahar Merapi itu sudah sampai belakang rumah Anda. Mari! Secepatnya!) sahut Mawar 1 mulai tidak sabar.

“Nggih pun. Kulo tak nderek njenengan. Sri…Sri..ayo gek ndang ndene. Iki lahar-e wes tekan mburi omah” (Ya sudah. Saya akan ikut Anda. Sri… Sri… ayo segera ke sini. Itu laharnya sudah sampai belakang rumah) teriak si Bapak memanggil anaknya.

Sejurus kemudian seorang perempuan yang lebih muda keluar dari ruangan lainnya dengan muka kebingungan.

“Ono opo Pak?” (Ada apa Pak?) tanya si Sri.

“Awake dewe dijak medhun karo bapake iki. Ayo cepet” (Kita diajak turun Bapaknya ini. Ayo cepat) jawab si Bapak.

“Yo, kosik. Tak njupuk salin” (Ya, sebentar. Saya ambil baju ganti) sahut si Sri.

“Ra sah nggowo salin. Ayo gek ndang” (Tidak usah bawa baju ganti. Ayo lekas) sergah si Bapak.

Saat yang bersamaan Mawar 2 masuk ke rumah tersebut.

“Bagaimana Mas?” tanya Mawar 2 kepada Mawar 1.

Mawar 1 pun menyahut “Bantu si Sri agar cepat berkemas!”.

“Ya!” jawab Mawar 2 seraya berlari mengejar si Sri.

Karena melihat kepulan asap, Mawar 1 segera bergerak mendekat ke sumber asap. Ternyata sumber asap berasal dari sebuah tungku yang masih memasak sayur yang sedang mendidih.

Dengan topi rimbanya yang dilipat, Mawar 1 menurunkan wajan tempat memasak sayur tersebut, dan kemudian menumpahkan isinya ke dalam tungku agar api padam.

Mawar 1 kemudian bergerak ke ruang depan. Sesaat Mawar 1 sempat memperhatikan seisi rumah tersebut tiba-tiba.

LERENG SELATAN MERAPI, Cangkringan 

Mawar 1 kemudian bergerak ke ruang depan. Sesaat Mawar 1 sempat memperhatikan seisi rumah tersebut. Rumah yang sangat sederhana. Berlantai tanah dan berdindingkan anyaman bambu.

Perhatian Mawar 1 terhenti pada sebuah televisi ukuran kecil ketika si Sri datang dengan berlari dari kamarnya dan diikuti oleh Mawar 2. Ketika menoleh keluar pintu, ternyata si Bapak sudah di depan rumah sambil berkomat-kamit berdo’a.

“Ayo! Jangan terlalu lama! Cepet!” teriak Mawar 1 kepada Mawar 2.

Mawar 1, Mawar 2 berserta 2 warga tersebut setengah berlari keluar rumah dan menuju jalan dusun.

Dari arah lain Mawar 3 juga dengan berjalan tergesa bersama seorang laki-laki yang berusia sekitar 45-an tahun.

“Mawar 2 dan Mawar 3, segera bawa warga ke titik penjemputan!” perintah Mawar 1.

“Yak!” jawab Mawar 2 dan Mawar 3 serentak.

Kelima orang tersebut segera menyusuri jalan dusun dengan berlari. Dari arah lain Mawar 4 dan Mawar 5 keluar dari sebuah rumah bersama dua orang yang sudah tua, laki-laki dan perempuan.

Mawar 1 sempat menengok ke belakang untuk memastikan tidak ada orang yang masih tertinggal di belakang. Pandangannya terhenti pada rumah si Bapak dan si Sri.

Rumah yang hanya terbagi menjadi ruang tamu sekaligus ruang keluarga, ruang tidur, dan dapur, berdindingkan anyaman bambu dan berlantai tanah. Rumah tersebut terletak tidak lebih dari 75 meter dari tepi barat Kali Gendol yang sudah penuh dengan lahar panas.

Sungguh Tuhan memberkahi kedua orang penghuni rumah dengan menghindarkannya dari muntahan lahar panas. Padahal rumah tetangganya yang berada sekitar 50 meter di bawahnya dan lebih jauh dari tepi barat Kali Gendol sudah terkubur separuh bangunan. Sungguh Tuhan Maha Kuasa.

“Mawar 1. Mawar 1 monitor?” panggil radio handy talkie.

“Monitor” jawab Mawar1.

“Posko di sini. Posisi di mana Mawar 1?” tanya operator di Posko.

“Sedang meluncur!” sahut Mawar1 sambil berlari mengejar rombongan di depan.

“Segera turun! Aktivitas meningkat! Segera turun!” perintah Posko.

“Siap. SRU Mawar sudah meluncur dengan membawa paket sebanyak 5 orang. Dua orang manula!” terang Mawar 1.

“Oke! Segera kami luncurkan ambulans untuk menjemput!” balas Posko.

“Untuk ambulan tahan dulu. Kondisi masih memungkinkan untuk berlari. Mobil penjemput harus siap meluncur” sahut Mawar 1 dengan tetap berlari.

Setelah berlari sekitar 500 meter dan menyusul rombongan SRU Mawar beserta kelima warga, Mawar 1 sampai di mobil penjemput dan Tim Mobile yang sedang menunggu di jalan tepi besar.

“Tim Mobile mlebu (masuk), terus ambil warga sing mburi dewe(yang paling belakang). Manula dan perempuan!” pinta Mawar 1 kepada Tim Mobile 1 yang menggunakan sepeda motor trail.

Tim Mobile 1 tanpa berkata-kata langsung meluncur menyusuri jalan exit point. Sekitar 30 detik kemudian rombongan SRU Mawar dan 4 orang warga sudah kelihatan.

Tak berapa lama kemudian Tim Mobile 1 menyusul dengan memboncengkan seorang nenek. Semua warga tersebut dan 4 orang anggota SRU Mawar segera naik ke mobil penjemput.

“Ayo! Cepat jalan!” teriak Mawar 1.

Mawar 1 segera melompat ke jok motor trail Tim Mobile 1 dan meluncur menyusul mobil yang sudah melaju kencang ke bawah, menuju Titik Aman 1, yaitu di depan Kantor Kecamatan Cangkringan.

Dalam perjalanan turun tersebut, Mawar 1 teringat rumah tanah sepetak yang berlantai tanah tadi.

Teringat bahwa pintu depan rumah tersebut tidak terkunci ketika ditinggalkan.

Teringat bahwa satu-satunya benda yang layak dicuri dari rumah tersebut adalah sebuah televisi ukuran 14 inchi.

Terhenyak Mawar 1. Menyesal. Dirinya merasa bahwa dia telah lupa mengunci pintu depan, sehingga memungkinkan pencuri untuk mengambil harta paling berharga di rumah itu.

Mawar 1 pun menggerutu, memarahi dirinya sendiri karena kelalaian yang bisa merugikan orang lain. Bahkan setelah sampai di Titik Aman 1, dirinya masih belum bisa menerima “kesalahan” yang telah diperbuatnya.

Setelah itu, dirinya hanya bisa berdo’a agar Tuhan menjaga rumah tersebut dari pencuri, seperti Tuhan “membelokkan” muntahan lahar panas agar tidak menghantam rumah tersebut, rumah tanah sepetak....

LERENG SELATAN MERAPI 

(Cerita berpindah di dusun Bronggang Cangkringan)

Kesetiaan Si Penunggu Cucu

Jam menunjukkan sekitar jam 05.45, dengan cuaca agak mendung dan sudah banyak orang yang berkumpul di depan Kantor Kecamatan Cangkringan.

Tiga SRU sudah diberangkatkan untuk menyisir Dusun Bronggang, Desa Argomulyo Kecamatan Cangkringan yang terletak sekitar 200 meter hingga 400 meter di sebelah barat Kali Gendol.

LERENG SELATAN MERAPI, Dusun Bronggang Cangkringan 

Jam menunjukkan sekitar jam 05.45, dengan cuaca agak mendung dan sudah banyak orang yang berkumpul di depan Kantor Kecamatan Cangkringan.

Tiga SRU sudah diberangkatkan untuk menyisir Dusun Bronggang, Desa Argomulyo Kecamatan Cangkringan yang terletak sekitar 200 meter hingga 400 meter di sebelah barat Kali Gendol.

SRU Merah dengan kekuatan 10 orang menyusur dari sisi timur dusun, SRU Hijau dengan kekuatan 8 orang dan SRU Biru dengan kekuatan 10 orang menyusur dari sisi barat.

Skenarionya adalah SRU Merah dan SRU Hijau melakukan penyisiran dan marking rumah warga dusun yang terdapat korban meninggal di dusun tersebut, sedangkan SRU Biru difungsikan sebagai back up untuk SRU Merah dan SRU Hijau.Pelaksanaan evakuasi akan dilaksanakan oleh TNI dan relawan lainnya.

Dari sini kita tahu betapa paniknya seluruh masyarakat dan para relawan yg tergabung untuk evakuasi dini hari..apalagi yang malam???...

Baiklah kita tarik mundur dulu ke sebelum letusan besar terjadi.

LERENG SELATAN MERAPI  

( Flashback sebelum meletus dan sejarah )

sumber : sabda langit

Pada hari Rabu tanggal 13 Oktober 2010, YM Sultan Adji Sulaiman Raja Kutai Kertanegara ke 18 memerintah pada pertengahan abad 18, mengingatkan supaya segera melaksanakan perintah untuk ritual labuh ke puncak Gunung Merapi.Tak boleh mundur lagi. Batas akhir yang ditentukan adalah hari Jumat Legi, tanggal 15 Oktober 2010.

Secara logika, pada tanggal 13 Oktober 2010 saat itu status Gunung Merapi sudah berada pada status siaga (satu tingkat di atas status waspada, satu tingkat di bawah status tertinggi awas), tak ada orang yang bersedia naik ke Merapi jika tak ingin mati konyol.Namun apa boleh buat, sudah merupakan dawuh (perintah) dari para leluhur agung,tak ada perintah leluhur yang membuat celaka diri kita.

Gaib pun tak pernah bohong. YM Sultan Sulaiman berkata,”laksanakan segera nak, tidak baik menunda perintah, karena akan melawan kodrat, jika Merapi kelamaan menahan letusan akan sangat berbahaya!. Apa yang kamu lakukan bukan untuk kepentingan dirimu sendiri, melainkan untuk kepentingan orang banyak, bangsa ini di waktu yad. Sendiko dawuh Yang Mulia, siap laksanakan segera pada hari Jumat Legi besok, demi lahirnya Satriyo Pambukaning Gapura. Kasihan rakyat sudah banyak yang menjadi korban.

Tampilnya satriyo baru, tentu membawa konsekuensi turunnya “satriyo” lama “di tengah jalan”. Musti bagaimana lagi, jika seorang “satriyo” sudah tidak disengkuyung oleh para leluhur besar dan para gaib bangsa ini, karena tiada menghargai kearifan lokal, tidak menghargai pusaka nusantara.

Itu sama saja tidak berbakti kepada bangsa dan para leluhur besarnya sendiri. Alias menjadi generasi yang durhaka. Tentu saja akan selalu membawa musibah dan bencana berkepanjangan tiada berhenti. Ibarat seseorang yang sakit parah, sembuhnya kalau sudah mati. Maka, musibah dan bencana baru akan reda jika sang satriyo lama itu telah lengser keprabon. Dengan penuh maaf. Apa adanya terpaksa harus saya sampaikan.

Jumat Legi sore, ditemani 2 orang abdi dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat kami naik ke puncak Merapi dalam cuaca hujan sangat lebat dan berkabut.Benar saja, gunung paling aktif di dunia itu seolah memberikan jeda tidak bergolak.Walau masih terasa saat tanah bergetar akibat gerakan magma dari dalam perut bumi.Kabar dari posko Merapi saat itu statusnya pun ternyata turun menjadi waspada.

Gunung Merapi mirip dengan makhluk hidup, kali ini bagaikan anak kecil sedang merengek lalu tiba-tiba diam karena mendapat makanan kesukaannya. Selesai acara labuh, hingga Sabtu siang tanggal 16 Oktober tiba-tiba Merapi seperti mendapat komando, mulai bergolak lagi dengan 246 kali gempa vulkanik. Hari minggu statusnya naik kembali menjadi siaga, lalu seminggu kemudian statusnya naik menjadi awas. Perubahan status Merapi yang sangat cepat dan belum pernah terjadi selama ini.

MEMBANGUN SINERGI DENGAN KOSMOS

Sedikit set back membahas soal makna esensial ritual labuh. Ritual labuh (labuhan) atau larung sesaji bukan sekedar latah ikut-ikutan saja.Larung sesaji yang melibatkan ubo rampe dan tata cara adalah soal teknis saja. Lebih dari itu orang harus memahami hakekatnya. Yakni sebagai upaya manusia memahami dan menghormati alam semesta beserta seluruh makhluk penghuninya sebagai sesama ciptaan tuhan, derivasi kebijaksanaan alam semesta.

Acara labuh sebagai salah satu wujud adanya kesadaran kosmos, yakni tanggungjawab manusia tanpa kecuali untuk selalu hamemayu hayuning bawana. Menjaga dan melestarikan alam semesta serta mengambil manfaat secara proporsional tanpa meninggalkan kerusakan.

Kesadaran itu menjadikan kita sebagai sosok manusia kosmologis. Berkesadaran spiritual tinggi yang selalu selaras, sinergis dan harmonis dengan kodrat (hukum) alam semesta.Satriyo yang berjiwa kosmologis akan selalu mendatangkan berkah dan anugrah bagi lingkungan alam dan seluruh isinya. Berkah dan anugrah agung bagi keluarga, orang lain, dan masyarakat yang dipimpinnya.

Desa mawa cara, negara mawa tata. Setiap wilayah, atau lingkungan alam, memiliki tata dan cara masing-masing. Beda masyarakat, berbeda pula adat istiadat, tradisi, dan budayanya. Itulah makna kearifan lokal, yakni nilai luhur hasil interaksi manusia dengan lingkungan alamnya yang kemudian melahirkan kearifan dan kebijaksanaan.

Sehingga di dalam nilai kearifan lokal (local wisdom) terkandung kesadaran akan jati diri suatu bangsa. “Jati diri” yang meliputi karakter geografi, geologi, dan karakter sosialnya. Bagi siapa yang lebih memahami “jati diri” tersebut, seseorang dapat bersikap lebih arif dan bijaksana dalam menjalani tata kosmos kehidupan ini. Alias menjadi manusia yang tunduk patuh, manembah kepada Tuhan.

Sumber:
Cerita ku di twitter @arestenaniki

close