Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Abdullah Asy’ari bin Abdullah Atau Lebih Dikenal Dengan Mbah Bi’ Murid Dari KH. Romli Tamim Peterongan Jombang, Dan Menerima Bai’atthoriqoh Langsung Dari KH. Romli Tamim Ketika Masih Berumur 17 Tahun.


Abdullah Asy’ari bin Abdullah atau lebih dikenal dengan Mbah Bi’ dilahirkan di Peterongan Jombang pada tahun 1926.

Ulama kharismati kini dikenal sebagai kiai yang dapat menjaga keistiqomahannya hingga wafat dan tetap istiqomah menjalan amaliyah walaupun diserang oleh sakit. Kiai Abdullah Asy’ari adalah murid dari KH. Romli Tamim Peterongan Jombang, dan menerima bai’atthoriqoh langsung dari KH. Romli Tamim ketika masih berumur 17 tahun.

Abdullah Asy’ari merupakan sosok yang sabar, tegas, alim, istiqomah dan tawadhu’. Dikisahkan bahwa Kiai Abdullah Asy’ari selalu menutup-nutupi identitas dirinya terlebih di depan orang lain yang belum dikenalnya.

Sejak nyantri kepada Mbah Romli Tamim, Kiai Adullah memang dikenal dengan keistiqomahannya baik dalam amaliyah ubudiyah maupun dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Beliau juga santri penurut dan ta’at kepada guru, sampai beliau ditugaskan untuk dakwah di Malang.

Pada masa beliau masih gesang (hidup), Kiai Abdullah Asy’aritidak pernah berkenanmuncul di khalayak ramai seperti di dunia media dan lain-lainnya. Tetapi tidak sedikit orang dari kalangan pesantren dan masyayikhdi Indonesia mengenal beliau dan bahkan sering bertemu beliau.

Kiai Abdullah Asy’ari hijrah ke Malang dalam rangka dakwah. Karena ketika itu, para penyebar agama yang berlokasi di Bululawang semakin berkurang. Ketika itu umur Kiai Abdullah Asy’ari menginjak 40 tahun dan masih belum menikah. Dan baru menikah dengan Nyai Ruqoiyah atau yang dikenal dengan sebutan Umi’ Yah yang ketika itu masih berumur 13 tahun. Selang umur antara keduanya sekitar 27 tahun.

Kemudian setelah menikah, Kiai Abdullah Asy’ari memutuskan untuk menetap di Bululawang yang berlokasi di belakang Masjid Agung Jami’ Bululawang. Pernikahan Kiai Abdullah Asy’ari dan Nyai Ruqoiyah dikaruniai 10 putra-putri, antara lain Bilur Amin (Gus Birul), Sabillurosyad (Gus Rosyad), alm. Riad Ghozali (Gus Riad), Nadrotus Sunah (Ning Nadroh), M. Ismail (Gus Ismail), M. Mustaghis (Gus Taghis), Saikhur Rijal (Gus Syikur), Izatun Nasiroh (Ning Izzah), Rifautfiati (Ning Rifa), dan Ulul Arof (Gus Ulul).

Setelah menikah, Kiai Abdullah Asy’ari membuka tempat pengajian Al-Qur’an (TPQ) yang diselenggarakan di tempat tinggal Kiai Abdullah Asy’ari kemudian pindah ke Masjd Jami’ semenjak beliau di tunjuk sebagai Ketua Ta’mir Msjid Jami’ Bululawang.

Kiai Abdullah Asy’ari dikenal sebagai sosok penyabar dalam mendidik murid-muridnya dan keluarganya. Ketika santri-santri dan keluarganya malas dalam beribadah, Kiai Abdullah Asy’ari memberi iqob (hukuman). Dengan amanah yang di berikan sebagai Ketua Ta’mir Masjid Jami’, beliau dengan mudah dapat menyebaran agama Islam dengan lebih mudah dan masif. Ditambah dengan pengajian rutin di masjid, TPQ yang di bangun beliau, dan santri-santri beliau juga banyak.Walau demikian, dalam sejarah perjalanan hidup Kiai Abdullah, tidak pernah membangun pondok pesantren seperti halnya kiai – kiai lainnya. Para santri tinggal di pelantaran masjid, beserta para putra-putra Kiai Abdullah. Beliau melakukan cara ini agar mendidik para santri agar mengetahui menimba ilmu dengan apa saja. Salah satu murid beliau yaitu Bapak Subhan bercerita semasa dirinya nyantri di Kiai Abdullah Asy’ari, suatu hari ketika menjelang waktu sholat subuh dan belum dilantunkan adzan, dalam keadaan para santri masih tertidur lelap, kiai mengajak para santri untuk melakukan shalat tahajud agar para santri terbiasa istiqomah mulai dini. Hanya mendengar suara bangkiak (sandal kayu) kiai, seluruh santri langsung bangun dan lari terbirit-birit untuk segera bergegas ambil wudhu.

Salah satu cara untuk membangun keistiqomahan, kiai membangun sifat keta’atan, rajin, dan tawadhu’ dalam segala terutama amaliyah ibadah. Misalnya, setelah shalat jama’ah subuh dilanjutkan dengan membaca Al-Qur’an.

Pesan Kiai Abdullah, dari segala amaliyah ibadah yang harus istiqomah, yang paling penting adalah melakukan shalat jama’ah 5 waktu yang tak pernah terputus, dan itupun dilakukan di masjid. Bahkan, walaupun ada musibah penyakit yang menimpa, Kiai Abdullah Asy’ari mencontohkan tetap shalat berjama’ah di masjid. Jika beliau tidak bisa berjalan maka beliau akan berangkang untuk berangkat ke masjid. Jika beliau tidak bisa berangkat beliau akan ke masjid dengan cara mengesot. Jika beliau tidak bisa melakukannya beliau akan meminta putranya atau salah satu santrinya untuk menggendong beliau menuju ke masjid, agar tetap melaksanakan shalat jama’ah 5 waktu yang tidak pernah beliau tinggalkan sampai akhir hayatnya.

Dari beberapa kisah beliau yang ada di masyarakat, lebih banyak mengenal beliau dengan sosok yang istiqomah dan bahkan diakui oleh salah seorang putranya belum dapat dicontoh oleh putra-putri beliau. Salah seorang putra beliau bernama Saikur Rijal atau akrab dipanggil Gus Syikur menceritakan “aku iki yo bingung, selama iki aku gak iso ngelakoni salah satu seng bi’ lakoni, yo istiqomah kui” (saya juga bingung, selama ini saya tidak bisa melakukan apa yang dilakukan Mbah Bi’, ya istiqomahnya itu). Lebih lanjut, Gus Syikur menambahkan ceritanya bahwa Mbah Bi’ merupakan sosok ulama’ yang luar biasa, bahkan setingkat putra – putri beliau tidak ada yang bisa meniru persis dengan kegiatan yang Mbah Bi’ lakukan selama ini. Hingga seseorang kiai kharismatik di Malang yaitu KH. Marzuki Mustamar, pernah berkata, “Yai Asy’ari Bululawang itu merupakan pungkasan kiai di bagian selatan”.

Mbah Bi’ tidak ingin dikenal khalayak ramai. Bahkan sampai akhir hayat, beliau tetap tidak ingin dibuat terkenal dan selalu menutup – nutupi identitas beliau.

Dalam masa kehidupan Kiai Abdullah Asy’ari, dikenal sangat berjasa pada masayarakat, dari sebuah majlis yang beliau bangun, tempat – tempat pengajian yang beliau dirikan, dan penyebaran agama hingga pelosok pelosok Malang terutama di wilayah sekitar Bululawang. Kiai Abdullah Asy’ari juga dihormati oleh masayarakat karena kesabaran beliau dalam menghadapi orang – orang yang tidak menyukai beliau dan agama Islam.

Kiai Abdullah Asy’ari juga mendirikan Majlis Ta’lim yang bernama ‘Segoro Ati’ yang sampai sekarang sudah tersebar di keseluruhan Kabupaten Malang. Dan sekarang dilanjutkan oleh putra beliau yang ketujuh, yakni Gus Saykur Rijal. Kiai Abdullah Asy’ari wafat seminggu sebelum Idul Adha datang, yakni pada Ahad 10 September 2014. Pesan yang terakhir Kiai Abdullah Asy’ari kepada putra-putrinya, dan itu sering kali disampaikan, “seng pinter, seng mempeng, seng kober”. Maksud dari pesan tersebut adalah, seng pinter, yang pintar dalam mencari ilmu, mempelajari ilmu, dan pengamalan ilmu yang sudah di pelajari selama ini, karena itu akan berguna di dunia dan akhirat. Seng mempeng, yang tekun dalam hal apapun terutama belajar menimba ilmu, menimba ilmu bisa dimana saja dan kapan saja, teruslah peras ilmu karena itu penting untuk kehidupan kita. Seng kober, menjelaskan kita untuk menyempatkan dalam hal ibadah kita kepada Allah SWT, 

Sumber : Gus Saikhur Rijal dan Bpk. Subhan (santri pertama KH. Abdullah Asy’ari)
close