ISRA' MI'RAJ DALAM PERSPEKTIF SAINS DAN AGAMA
Inspirasi saintifik Isra’ Mi’raj mendorong kita untuk berfikir mengintegrasikan sains dalam aqidah dan ibadah. Tentang mi’raj Allah menjelaskan dalam QS. An-Najm:13-18: “Dan sesungguhnya dia (Nabi Muhammad SAW) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, di Sidratul Muntaha. Di dekat (Sidratul Muntaha) ada surga tempat tinggal.
(Dia melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu selubung. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.”
Sidratul muntaha secara harfiah berarti ‘tumbuhan sidrah yang tak terlampaui’, suatu perlambang batas yang tak seorang manusia atau makhluk lainnya bisa mengetahui lebih jauh lagi. Sedikit sekali penjelasan dalam Al-Qur’an dan hadits yang menerangkan apa, di mana, dan bagaimana sidratul muntaha itu.
Dari hadits-hadits yang sahih, didapati rangkaian kisah-kisah berikut. Suatu hari malaikat Jibril datang dan membawa Nabi, lalu dibedahnya dada Nabi dan dibersihkannya hatinya, diisinya dengan iman dan hikmah.
Kemudian didatangkan buraq, ‘binatang’ berwarna putih yang langkahnya sejauh pandangan mata. Dengan buraq itu Nabi melakukan isra’ dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis) di Palestina.
Dengan buraq pula Nabi SAW melanjutkan perjalanan memasuki langit dunia. Di sana dijumpainya Nabi Adam yang dikanannya berjejer para ruh ahli surga dan di kirinya para ruh ahli neraka. Perjalanan diteruskan ke langit ke dua sampai ke tujuh.
Di langit ke dua dijumpainya Nabi Isa dan Nabi Yahya. Di langit ke tiga ada Nabi Yusuf. Nabi Idris dijumpai di langit ke empat. Lalu Nabi SAW bertemu dengan Nabi Harun di langit ke lima, Nabi Musa di langit ke enam, dan Nabi Ibrahim di langit ke tujuh.
Peristiwa isra’ mi’raj yang menyebut-nyebut tujuh langit mau tak mau mengusik keingintahuan kita akan hakikat langit. Apa hakikatnya langit dunia, langit ke dua, langit ke tiga, … sampai langit ke tujuh dalam kisah isra’ mi’raj?
Mungkin ada orang mengada-ada penafsiran, mengaitkan dengan astronomi. Para penafsir dulu ada yang berpendapat bulan di langit pertama, matahari di langit ke empat, dan planet-planet lain di lapisan lainnya. Kini ada sembilan planet yang sudah diketahui, lebih dari tujuh.
Tetapi, mungkin masih ada orang yang ingin mereka-reka. Kebetulan, dari jumlah planet yang sampai saat ini kita ketahui, dua planet dekat matahari, tujuh lainnya termasuk bumi mengorbit jauh dari matahari.
Pengertian langit dalam kisah isra’ mi’raj bukanlah pengertian langit secara fisik. Karena, fenomena yang diceritakan Nabi pun bukan fenomena fisik. Langit dan Sidratul Muntaha dalam kisah isra’ mi’raj adalah alam ghaib yang tak bisa kita ketahui hakikatnya dengan keterbatasan ilmu manusia saat ini.
Isra’ Mi’raj adalah perjalanan keluar dari dimensi ruang waktu. Tentang caranya, iptek tidak dapat menjelaskan. Penjelasan perjalanan keluar dimensi ruang waktu setidaknya untuk memperkuat keimanan bahwa itu sesuatu yang lazim ditinjau dari segi sains.
Kita hidup di alam yang dibatas oleh dimensi ruang-waktu (tiga dimensi ruang mudahnya kita sebut panjang, lebar, dan tinggi, serta satu dimensi waktu). Sehingga kita selalu memikirkan soal jarak dan waktu.
Sekadar analogi sederhana perjalanan keluar dimensi ruang waktu adalah seperti kita pergi ke alam lain yang dimensinya lebih besar. Sekadar ilustrasi, dimensi 1 adalah garis, dimensi 2 adalah bidang, dimensi 3 adalah ruang.
Alam dua dimensi (bidang) dengan mudah menggambarkan alam satu dimensi (garis). Demikian juga alam tiga dimensi (ruang) dengan mudah menggambarkan alam dua dimensi (bidang). Tetapi dimensi rendah tidak akan sempurna menggambarkan dimensi yang lebih tinggi. Kotak berdimensi tiga tidak tampak sempurna bila digambarkan di bidang yang berdimensi dua.
Alam malaikat dan jin bisa jadi berdimensi lebih tinggi dari dimensi ruang waktu, sehingga bagi mereka tidak ada lagi masalah jarak dan waktu. Karena itu mereka bisa melihat kita, tetapi kita tidak bisa melihat mereka. Ibaratnya dimensi dua tidak dapat menggambarkan dimensi tiga, tetapi sebaliknya dimensi tiga mudah saja menggambarkan dimensi dua.
Bukankah isyarat di dalam Al-Quran dan Hadits juga menunjukkan hal itu. Malaikat dan jin tidak diberikan batas waktu umur, sehingga seolah tidak ada kematian bagi mereka. Mereka pun bisa berada di berbagai tempat karena tak dibatas oleh ruang.
Bagaimanapun ilmu manusia mungkin tak bisa menjabarkan hakikat perjalanan isra’ mi’raj. Allah hanya memberikan ilmu kepada manusia sedikit sekali, seperti dalam (QS. Al-Isra:60)
"dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu: ‘Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia’ dan Kami tidak menjadikan penglihatan (saat isra’ mi’raj) yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia …”
Pemahaman dengan pendekatan konsep ektra dimensi sekadar pendekatan sains untuk merasionalkan konsep aqidah terkait isra’ mi’raj, walau belum tentu tepat. Mengintegrasikan sains dalam memahami aqidah dapat menghapuskan dikhotomi aqidah dan sains, karena Islam mengajarkan bahwa kajian sains tentang ayat-ayat kauniyah tak terpisahkan dari pemaknaan aqidah.
Sebelumnya terdapat pula ‘binatang’ berwarna putih yang digunakan Muhammad SAW melakukan perjalanan isra’ mi’raj. Diketahui jika sekali Buraq menjejakkan kakinya, ia dapat melangkah sejauh mata memandang.
Buraq sendiri secara harfiah berarti kilat, Dalam kisah isra mi’raj memang digambarkan perjalanan itu secepat kilatan cahaya, bahkan lebih. Dimana Buraq dalam perjalanan dari Bumi ke langit ketujuh dapat melakukannya dalam waktu semalam saja.
Jika dalam perhitangan matematis, berdasarkan penyelidikan, kilat atau sinar bergerak sejauh 186.000 mil atau 300 km per detik. Sedangkan untuk menerobos garis tengah jagat raya memerlukan waktu 10 milyar tahun cahaya, dengan melalui galaksi-galaksi. Dengan demikian, kecepatan buraq, bisa jadi berkali-kali lipat daripada kecepatan cahaya yang kita ketahui saat ini.