Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KISAH SEORANG PASTUR DIDATANGI NABI KHIDZIR AS


KompasNusantara - Manaqib Guru Sekumpul Syekh Muhammad Zaini Ghoni Al Banjari

Saya (Hendra, 40 tahun) sejak kecil dididik dalam ajaran Kristen yang ketat. Bahkan oleh orangtua saya, saya disekolahkan hingga ke Vatikan. Sekian lama akhirnya saya pun menyandang predikat sebagai Pastur. Saya juga memperoleh kepercayaan untuk menggembala umat di sebuah gereja di Banjarbaru Kalimantan, tepatnya seberang Unlam Banjarbaru.

Sekitar tahun 2000an, saya bersama rekan pastur lainnya berniat untuk rekreasi, mengisi liburan akhir pekan. Tujuan kami adalah ke Pantai Takisung, Tala. Dengan menggunakan bus pinjaman dari gereja di Banjarmasin, kami pun berangkat. Di pantai, kami mendirikan tenda. Sebagaimana kebiasaan, sebagai seorang pastur, saya memperoleh tenda sendiri, jadi tidak ada teman dalam tenda saya. Sementara anggota rombongan lainnya, berdesakan di tiga tenda lainnya.

Malam itu, sebelum tengah malam, kami pun masuk kemah dan terlelap. Dan pada tengah malamnya, saya terbangun karena saya mendengar ucapan salam dari seseorang dari luar tenda saya.

"Assalamu'alaikum," kata orang asing itu. Salam itu diulang lagi sambil menepuk - nepuk tenda saya. 

Penasaran, saya pun bangkit dan keluar dari kemah. Karena saya Kristen, saya tak menyahut salam tersebut. Saya lalu mengampiri seorang kakek yang belum pernah saya kenal. Ia memakai jubah berwarna hijau dan bolang juga berwarna hijau, janggutnya hitam namun ada kombinasi putih di bagian ujungnya. Saya lalu menyalami tangannya. Aneh, kehalusan tangan kakek itu rasanya lebih halus dari kain sutra sekalipun. Dan pada bagian jempol kanan kakek itu seperti tidak bertulang.

"Kenapa jempol kakek seperti tidak bertulang," tanya saya.

"Oh.. ini akibat kecelakaan, tapi nanti saja saya ceritakan," kata kakek itu.

"Ada apa kakek, ada keperluan apa," tanya saya.

"Saya hanya menyampaikan, bahwa sudah saatnya kamu berpindah dari agamamu ke Islam, seperti agama kakek," Sahut kakek misterius itu.

Saya lihat sekeliling, tak ada seorang pun dari kawan - kawan saya yang terbangun dari dalam kemah lainnya. 

"Saya tidak bisa kek, karena sudah delapan turunan kami adalah penganut Kristen yang taat," jawab saya. 

"Tidak, memang sudah saatnya kamu mengikuti agama yang benar, yakni Islam. Sebab sejak dalam perut ibumu, di dahimu sudah dituliskan Allah asma-Nya," tegas kakek tersebut.

Saya lantas berpikir cepat. "Kalau memang kakek benar, apa kakek bisa menunjukkan mu'jizat sebagai tanda kebenaran dari Tuhan," pancing saya.

"Kalau itu soal gampang," kata kakek itu sambil tertawa.

Entah bagaimana, tiba - tiba dari genggaman kakek itu muncul sebuah gelas kecil lagi bening. "Zam-zam, ambil air Zam-zam itu," Perintah kakek itu kepada saya sambil menyodorkan gelas dan menunjuk ke laut.

Mengertilah saya kalau saya mesti mengambil air laut itu. Kakek itu menyuruh saya minum tiga tegukan. Anehnya, kala minum tidak asin, melainkan tawar. Baru saja selesai tegukan ketiga, tiba - tiba saya merasakan gatal yang sangat hebat. Saya sadari rasa gatal itu berasal dari jubah pastur, salib dan perlengkapan yang saya kenakan kala itu. Seketika itu juga melepaskan atribut kepasturan saya. Begitu sudah lepas semua, tinggal celana dan sepatu, barulah rasa gatal yang hebat itu hilang. Rasanya seperti digigit semut gatal yang sangat banyak. Mulai saat itu, mulai ada rasa takjub kepada kakek tersebut.

"Siapa nama kakek, dan di mana kakek tinggal," tanya saya.

"Nanti kamu juga tahu dengan sendirinya siapa saya. Adapun tempat saya di sana," Kata kakek itu sambil menunjuk ke arah laut, yang di kejauhan saya lihat seperti ada lampu kelap - kelip.

Namun anehnya saat itu, seperti ada jalan dari tempat kami berdiri ke arah tempat yang ditunjuk kakek tersebut. Kami lalu berjalan menyusuri jalan tersebut. Namun, di tengah perjalanan, kakek itu menghentikan langkahnya. "Belum saatnya kamu memasuki kediamanku, karena kamu masih belum suci. Kamu mesti beragama seperti agama kakek," kata kakek tersebut yang pembawaannya tenang dan berwibawa. Seketika saja kakek tersebut menghilang.

Belum sempat saya berpikir banyak, tiba - tiba sebuah ombak menghantam muka saya, dan seketika saya tersadar rupanya saya sudah ada di air laut.

Saya lalu bergegas keluar air menuju pantai. Sekali lagi aneh, yang basah cuma muka saya, sedang celana dan sepatu saya masih kering seperti semula.

Dengan masih terheran - heran, saya memandang ke arah laut. Seiring waktu, saya pun masuk ke dalam tenda dan merebahkan diri dan akhirnya tertidur. Pukul enam pagi, saya bangun dari pembaringan dan ingin melihat keadaan pantai di mana saya tadi malam bersama seorang kakek misterius terlibat dialog yang masih segar diingatan. Saya perhatikan, memang masih ada jejak sepatu saya di pantai. Bahkan, meski ombak beberapa kali menghantam pantai, jejak kaki saya masih ada. Saya kenal betul bagaimana tapak sepatu yang saya pakai.

Sepulang dari Takisung itu lah, pikirannya saya mulai berkecamuk. Keimanan saya kepada ajaran Kristen sedikit demi sedikit mulai luntur.

Lama saya di tengah berkecamuknya pikiran, apakah akan pindah agama atau tetap dalam kepercayaan lama, bahkan saat itu saya sempat terlibat dalam perang Sampit, saya (Hendra) kebetulan punya kenalan yang masih keluarga dari Guru Rosyad. Dari sini saya punya keinginan untuk mempelajari Islam sedikit demi sedikit. Namun, oleh karena Guru Rosyad sakit - sakitan, beliau menyarankan agar saya masuk Islam dengan bimbingan Abah Guru Sekumpul.

Maka dengan diantar oleh Guru Rosyad dan menantunya, saya menghadap Abah Guru Sekumpul, di rumah beliau di Sekumpul, sekitar tahun 2001.

Begitu melihat saya, Abah Guru Sekumpul berkata, "Masih saja kah mencium secara tajam?"

Saya sungguh kaget, karena beliau langsung tahu kalau saya bisa mencium bau suku tertentu.

"Inggih," kata saya.

"Ibarat kebun binatang, perut kamu berkumpul banyak binatang," lanjut Abah Guru Sekumpul.

Dan memang, karena saya bersuku Dayak, dan masih bercampur dengan kepercayaan Kaharingan, Ajian atau Untalan apa saja, sudah pernah masuk ke dalam perut saya.

"Kalau ingin ber Islam, kamu mesti dibersihkan dahulu," kata Abah Guru Sekumpul.

Saya manut saja, ketika beliau menyuruh saya mengambil air minum di dapur. Kemudian beliau menyuruh saya meminum air tersebut dan beliau lalu menepuk pundak saya. Seketika saya merasa mulas dan muntah - muntah. Ada banyak kotoran hitam yang keluar dari mulut saya, sekira - kira satu mangkok ukuran sedang.

Setelah beliau merasa sudah habis semua yang jelek - jelek dalam perut saya, kemudian beliau menyuruh saya berwudhu dan kemudian diislamkan dengan cara dituntun oleh beliau dua kalimat syahadat, yang saya ikuti dengan pelan :

"ASYHADU AN LAA ILAHA ILLALLOH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ROSULULLOH," ucap saya mengikuti.

Begitu selesai pengucapan dan disahkan oleh hadirin, plong lah sudah rasa di hati. Selesai acara pengislaman saya, saya kembali bercengkrama dengan Abah Guru Sekumpul.

Saat itulah saya memaparkan kisah lama saya di Pantai Takisung. Beliau sepertinya sudah mafhum.

"Tahu kah kamu Nak, yang menemui kamu di Pantai Takisung itu ialah Nabi Khidr AS. Beliau itulah yang menguasai lautan maupun perairan. Apakah kamu ingin berjumpa kembali dengan beliau?" terang sekaligus tawar Abah Guru Sekumpul.

"Inggih," jawab saya singkat.

Beliau lalu menyuruh saya mengambil air dalam baskom dari dapur. Beliau kemudian menyuruh saya bertawasul ke Nabi Khidir AS, bersholawat, serta menepuk air di baskom itu tiga kali.

Ajaib, sekonyong - konyong keluarlah kakek seperti yang pernah saya lihat di Pantai Takisung. Kakek yang adalah Nabi Khidir itu muncul sepinggang dari permukaan air baskom. Saya cuma kagum tak bisa bicara. Abah Guru Sekumpul saya lihat menunduk dan mengangguk tiga kali. Sekejap kemudian, Nabi Khidr sudah menghilang.

"Nak, tadi beliau berpesan agar kamu benar - benar dalam beragama (Islam). Ibarat sekarang sudah diberi lembaran kertas putih, jangan sampai dibikin kotor lagi," kata Abah Guru Sekumpul.

Saya (Hendra) mengingat betul pesan Nabi Khidir AS yang disampaikan melalui Abah Guru Sekumpul. Abah juga menyampaikan nasihat tambahan. "Nak, bila kamu sudah Islam kemudian menjadi kaya raya, berarti Islam kamu tidak lah benar-benar. Namun, jika nanti kehidupanmu sulit dan susah, maka berarti kamu sudah beragama dengan benar. Sebab Allah berkehendak menguji keikhlasan kamu mengikut agama yang haq ini," papar Abah Guru Sekumpul.

Saya hanya bisa menganggukkan kepala seraya berkata, "Inggih Abah."

Beliau kemudian berdo'a memohon kepada Allah semoga saya ditetapkan iman dan selamat dunia wal akhirat untuk bisa berkumpul dengan beliau kembali di akhirat. Saya merinding jika mengingat peristiwa itu. 

Perlu diketahui bahwa selama saya menjadi pastur di gereja di Banjarbaru itu, kehidupan saya begitu menyenangkan, tak ada kesusahan. Tiap kali mau belanja atau apa saja, tinggal ambil duit di kas gereja. Pokoknya, sumbangan dari gereja yang lebih tinggi, dari Vatikan dan sumbangan jema'at begitu banyak, saya tak pernah kekurangan uang, bahkan berlebih.

Namun setelah saya masuk Islam, kehidupan yang susah pun langsung saya temui. Namun, untunglah, keluarga Guru Rosyad terkadang memanfaatkan jasa saya menyetirkan mobil keluarga mereka, misal pergi ke undangan acara Maulidan dan pengajian lainnya. 

Pernah ada pengalaman aneh atau yang bisa disebut karamah Abah Guru Sekumpul. Kami rombongan malam - malam baru saja pulang dari Madurejo di salah satu kecamatan di Kabupaten Banjar. Pada tengah malam saya menyetir mobil membawa rombongan keluarga Guru Rosyad, sementara Abah Guru dan rombongan lainnya di mobil lain di belakang kami. 

Begitu tiba di kawasan Astambul, mobil yang saya setir tiba - tiba mogok. Sadarlah saya kalau mobil sudah kehabisan bensin. Tengah malam itu sudah tidak ada lagi kios bensin yang buka. Tak berapa lama, tiba lah mobil di belakang yang membawa Abah Guru Sekumpul. Beliau keluar mobil.

"Ada apa Nak," tanya beliau.

"Kehabisan bensin Abah," ujar saya.

"Coba cari ember," perintah beliau.

Saya pun mencoba mencari ember. Kebetulan di sisi jalan lain ada truk terparkir dan ada sopirnya. Saya tanya apakah punya ember dan syukurlah si sopir truk punya ember. Saya pinjam dan saya bawa ke hadapan Abah Guru Sekumpul.

"Ambil air ke sungai," Perintah beliau.

Saya pun turun ke sungai di bawah jembatan Astambul mengambil air.

"Masukkan air itu ke tangki bensin," perintah beliau lagi. 

Meski agak bingung saya turuti saja perintah beliau. 

"Masih kurang ?" tanya beliau.

Saya cuma mengangguk.

"Tambahi lagi dua ember," tendas beliau.

Setelah semua air dimasukkan, saya diperintah menstarter mobil dan ajaib, mesin mobil hidup, dan penunjuk (indikator) bensin menunjukkan tanda full. Rombongan pun melanjutkan perjalanan. Sebelumnya, Abah Guru Sekumpul berpesan, jika sudah sampai ke rumah, buang kembali air dari tangki.

Kelebihan Abah Guru Sekumpul lainnya yang saya temui langsung, yaitu pernah saya lagi sakit dan mesti berobat ke dokter, namun tak punya duit. Saya lantas melapor ke kediaman Abah Guru Sekumpul. Saya ditemani seorang teman. Setelah dipersilakan penjaga regol saya masuk. Abah Guru Sekumpul keluar dari dalam rumah terlihat tergesa - gesa sambil memakai sarung.

"Kenapa Nak, ada masalah apa" tanya beliau penuh kasih sayang.

Saya pun mengisahkan kesulitan akibat sakit namun tak punya duit. Beliau dengan sigap merogoh buntalan sarung dan mengambil sesuatu.

"Nah ini Nak, untuk berobat," ucap beliau.

Saya mengucap terima kasih, mengecup tangan beliau dan permisi. Namun, berjalan keluar rumah beliau itu dengan hati bertanya - tanya. Teman saya bilang ada yang aneh, karena waktu masuk rumah, tampak sekali Abah Guru Sekumpul memakai sarung dan mustahil sempat memasukkan uang ke buntalan sarung. Ketika sampai ke dokter saya berobat, periksa dan menebus obat. Sekali lagi ajaib, uang yang diminta dokter maupun apoteker, totalnya pas Rp 250 ribu, sejumlah uang yang dikasih Abah Guru Sekumpul.

Pernah saya meminta uang ke paman saya yang adalah pendeta terhormat di gereja Banjarmasin, namun karena dia tahu kalau saya sudah Muslim, saya malah dihardik. Bahkan bukan uang yang saya terima, melainkan hantaman gelas ke pelipis kanan, hingga sobek dan mengucurkan darah. Saya pulang dan mengadu ke Abah Guru Sekumpul. Beliau mengingatkan agar saya tak usah dendam. 

"Rasulullah sering dianiaya, dihina dan dicaci oleh umatnya yang belum beriman, namun Rasulullah tetap sabar, tak dendam bahkan beliau mendo'akan agar orang tadi mendapat hidayah dari Allah," nasihat beliau.

Itulah kenangan saya (Hendra) bersama Abah Guru Sekumpul.

Kisah dari seorang mantan Pastur, sebut saja Hendra (40).

Robbi fanfa'na bibarkatihim..
Wahdinal khusna bikhurmatihim..
Wa amitna fi thoriiqotihim..
Wa muafa'ti minal fitani..
close