Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MAHARANI - Penari Lereng Gunung Sumbing

Aktivitas ke ladang hampir setiap hari dilakukan karena Surya sadar dia harus mencukupi kebutuhan keluarganya setelah 3 tahun yang lalu ayahnya pegi meninggalkan keluarga karena penyakit yang di derita ayahnya tidak bisa disembuhkan oleh pihak medis rumah sakit tapi, di sela-sela kesibukan itu terkadang Surya menyempatkan diri untuk pergi ke gunung-gunung yang ada di Jawa tengah.

Umur Surya kini menginjak 28 tahun, dia adalah anak laki-laki pertama dari 3 bersaudara.

Sore itu ketika Surya sedang sibuk dengan kopinya di teras rumah dia melihat Ajeng bersama ibunya sedang berjalan lewat depan rumahnya. Sepertinya mereka berdua baru saja pulang dari mushola karena terlihat keduanya mengenakan ruku’ dan membawa sajadah.

Ajeng adalah anak kepala desa yang sekarang sedang menempuh pendidikan S1 di kota Semarang. Karena rumah mereka berdekatan sejak kecil mereka berteman meskipun umur Ajeng selang 4 tahun dengan Surya.

Pada suatu hari Ajeng datang ke rumah Surya dan memberitahunya bahwa ada sebuah komunitas pecinta alam dari kota Semarang yang sedang mengadakan open trip ke gunung Sumbing. Ajeng memberitahu Surya dengan tujuan dia ingin mengajak Surya ikut serta dalam acara open trip itu, mendengar kabar dari Ajeng dia heran sejak kapan Ajeng suka dengan kegiatan pendakian? Karena setau Surya Ajeng bukanlah tipe orang yang suka dengan kegiatan alam seperti ini.

“Tumben sampeyan seneng karo kegiatan pendakian?” (Tumben kamu suka dengan kegiatan pendakian?) “Iyo e mas, konco-koncoku kampus akeh sing melu dadine aku yo pengen melu” (Iya nih mas, temen-temen kampus banyak yang ikut jadi aku pengen ikut)

Surya memberitahu Ajeng bahwa mendaki gunung itu tidak semudah yang dia bayangkan tapi sepertinya niat Ajeng ini sudah bulat hingga akhirnya Surya ikut serta dalam acara tersebut, lagi pula Ajeng yang menanggung biaya administrasinya.

Singkat cerita tibalah hari pemberangkatan. Surya dan Ajeng berangkat dari rumah menuju ke titik kumpul di desa Butuh.

Sesampai di titik kumpul terlihat pesertanya lumayan banyak, diperkirakan ada sekitar 40 peserta yang sudah berada di titik kumpul Sambil menunggu peserta lain yang belum datang Surya berkenalan dengan peserta lain yang diantaranya adalah teman kampusnya Ajeng.

Terlihat admin sedang sibuk dengan handphonenya sepertinya dia sedang sibuk menghubungi peserta yang belum datang, setelah 30 menit menunggu akhirnya peserta sudah berkumpul kemudian mereka berangkat menuju ke bascamp gunung Sumbing.

Sesampai di bascamp ternyata juga sudah peserta lain yang sudah tiba terlebih dahulu dan menunggu mereka, kemudian Admin mengurus pendaftaran.

Waktu itu kurang lebih ada 50an peserta yang ikut. Surya tidak bisa memastikan ada berapa pastinya karena dia tidak sempat menghitungnya satu per satu. 30 menit kemudian akhirnya admin selesai mengurus pendaftaran dan meminta semua peserta untuk berkumpul untuk membagi grup.

Dari semua peserta di bagi menjadi 6 grup, Surya dan Ajeng mendapat grup 4 yang yang berjumlah 10 orang yang setengah dari grup tersebut adalah teman kampusnya Ajeng. Surya di pilih sebagai ketua grup oleh admin, karena menurut admin Surya yang lebih tau tentang gunung ini.

Setelah grup terbagi mereka istirahat sambil packing-packing sekalian menunggu habis waktu isya dan disitu Surya mengobrol dengan salah satu admin untuk berkenalan dan saling berbagi pengalaman mendaki masing-masing. Dia adalah mas Nanang dari Jogja. Setelah cukup istirahat satu persatu grup memulai perjalanan.

Perjalanan dimulai dari grup satu disusul grup dua dan seterusnya. Di grup 4 Surya berjalan di paling depan sebagai leader disusul dengan 4 orang cowok 4 cewek dan 2 cowok lagi di barisan belakang, untuk Ajeng, dia berjalan di barisan nomor 7.

Setelah sekitar 1 jam berjalan sampailah mereka di pos 1. Sesampai di pos 1 sebagian grup berhenti untuk istirahat termasuk grup 4 yang dipimpin oleh Surya. Nah Ketika sedang berhenti itu Surya bilang sama Ajeng,

“Dek Ajeng nek engko butuh aku sampeyan ngomong ae yo tekan mburi” (Dek Ajeng nanti kalau butuh saya panggil aja ya dari belakang)

Dengan keada’an yang masih fit Ajeng meng-iyakan kata-kata Surya.

Setelah kurang lebih 30 menit istirahat grup yang dipimpin Surya melanjutkan perjalanan dan masih menyisakan 2 grup lain di pos 1.

Beruntungnya waktu itu cuaca tidak ada tanda-tanda akan hujan, hanya sedikit kabut tapi itu tidak mengganggu perjalanan mereka.

Setelah pos 1 jalur mulai masuk ke batas hutan dan jalan yang mereka lewati masih berupa makadam yang sebagian sudah tersusun semacam anak tangga.

Ini adalah kondisi jalan yang paling tidak disukai Surya, karena menurutnya itu sangat menguras tenaga hingga beberapa kali Surya berhenti untuk mengatur nafas.

Sambil berjalan Surya menunduk, karena baginya berjalan sambil menunduk itu terasa lebih nyaman dan ketika Surya berjalan sambil menunduk itu dia mendengar suara langkah kaki orang lain yang terasa berjalan di depannya.

Mendegar itu spontan Surya mendongak ke depan tapi tidak terlihat ada orang di depannya dan ketika pandangan Surya sudah menghadap kedepan suara langkah kaki yang tadinya terdengar itu sudah tidak terdengar lagi.

Dari sini Surya mulai merasakan ada yang janggal, dalam hati dia bertanya,

“Sopo maeng sing krungu mlaku nang ngarepku?” (Siapa tadi yang terdengar berjalan di depan?)

Lalu dia menoleh ke belakang siapa tau tadi ada salah satu dari anggotanya yang tanpa sadar mendahuluinya, tapi terlihat di belakang jumlah anggotanya masih utuh 9 orang, berarti tidak ada orang yang mendahuluinya tapi yang terdengar tadi suara siapa?

Surya mengabaikan itu semua, dia menganggap kalau tadi dia salah dengar, dia kembali fokus ke jalur yang dilewatinya.

Beberapa menit kemudian sudut tikungan pos 2 terlihat, Surya mempercepat jalannya sedikit meninggalkan mereka yang berjalan di belakangnya hingga sampailah dia di pos 2, sesampai di pos 2 dia berteriak memberi semangat anggota grupnya,

“Ayo-ayo semangat kita sudah sampai di pos 2”.

Malam itu di pos 2 ada grup 3 yang sudah tiba terlebih dahulu dan malam itu terlihat waktu sudah menunjukan jam setengah 11 malam, sesampainya semua di pos 2 mereka istirahat untuk melemaskan otot kaki.

Surya menghampiri Ajeng yang waktu itu terduduk di anak tangga yang tersusun dari kayu dan menanyakan keada’annya tapi sepertinya Ajeng masih kuat untuk melanjutkan perjalanan ini.

Setelah kurang lebih 20 menit istirahat mereka melanjutkan perjalanan lagi meninggalkan 1 grup yang masih nyaman dengan istirahatnya. 

Surya meminta pada mereka semua agar tidak saling berjauhan karena mulai dari pos 2 ini jalur mulai melipir tebing tapi tidak terlalu menanjak.

Sambil berjalan sering kali Surya bilang pada anggotanya,

“Kalau ada yang capek bilang ya jangan pada diam”

Tidak lama setelah itu mereka melewati sebuah sungai kecil yang dijembatani kayu, jadi mereka harus sangat berhati-hati melewati jembatan itu, meskipun jembatannya tidak panjang tapi itu licin kalau salah injak bisa-bisa terpeleset.

Surya berjalan dulu melewati jembatan kayu itu kemudian dia berhenti di ujungnya dan membiarkan yang lain melewatinya satu per satu.

Nah ketika membiarkan yang lain melewati jembatan itu satu per satu dia merasa ada yang aneh dengan salah satu anggota wanitanya.

Ketika satu persatu mereka melewati jembatan itu sekilas Surya melihat ada 1 pendaki wanita yang sepertinya asing baginya dan sebelumnya dia tidak melihat ada pendaki wanita ini di grupnya.

Setelah semua sudah melewati jembatan itu Surya kembali ambil posisi paling depang dan sesekali dia memperhatikan 1 pendaki asing itu. Ternyata benar itu memang pendaki lain dan Surya menganggap mungkin dia adalah pendaki dari grup yang tadi istirahat di pos 2 dan sengaja ikut bareng dengan grupnya.

Sesampai di posisi paling depan mereka lanjut berjalan lagi hingga sampailah mereka di sebuah sungai lagi. Nah di sungai yang kedua ini tidak ada jembatannya jadi kalau mau melewati sungai itu mereka harus melompati bebatuan.

Surya yang berjalan di depan bergerak melewati batu itu terlebih dahulu dan ketika sudah melompat dari batu satu ke batu yang lain dari arah kanan samar-samar dia melihat ada seorang wanita yang sedang duduk diatas batu di tengah-tengah sungai. Surya tidak telalu memperhatikan wanita itu karena waktu itu dia sedang fokus dengan batu yang diinjaknya agar tidak terpeleset, sesampainya di seberang sungai sambil menunggu yang lain menyeberang Surya kembali melihat kearah wanita yang tadi dilihatnya. Dan benar dia adalah wanita, dia sedang duduk selonjorang dengan piosisi membelakanginya, rambutnya panjang, sebagian kakinya di ceburkan kedalam air.

Surya tidak ingin yang lain tau, setelah semua sudah menyeberang dia mengajak yang lain untuk segera berjalan. Sambil berjalan dia berfikir, “Itu tadi siapa yang di sungai? Manusia apa bukan”

Singkat cerita sampailah mereka di pos 3, sesampai disitu terlihat beberapa grup lain sedang istirahat dan ada juga yang sudah mendirikan tenda untuk bermalam.

Di pos 3 itu Surya menghitung jumlah anggotanya untuk memastikan mereka semua aman, setelah dihitung ternyata mereka semua ada 10 orang termasuk Surya.

Melihat itu Surya terkejut karena seingat Surya tadi ada 1 pendaki wanita lain yang ikut dengan rombongannya tapi sekarang dia tidak melihat keberada’an pendaki wanita itu, dia bertanya pada Ajeng,

“Dek Ajeng, arek wedok liyo sing bareng awak dewe maeng endi?” (Dek Ajeng, 1 wanita lain yang bareng kita tadi kemana?) “Arek wedok sing endi mas? Perasaan ket maeng awak dewe mung iki tok kok” (Wanita lain, yang mana mas? Perasa’an dari tadi kita cuma ini aja kok). Jawab Ajeng yang tidak tau tentang apa yang ditanyakan Surya.

Mendengar penjelasan dari Ajeng dia terheran, padahal tadi dia melihat dengan jelas pendaki wanita itu ikut berjalan bersama grupnya.

Surya mengalihkan pertanya’anya dengan menanyakan kondisi Ajeng, karena dia tidak ingin yang lain memikirkan apa yang ada dalam pikirannya Surya.

Sambil istirahat di pos 3 Surya bertanya-tanya tentang kejanggalan yang sudah dialaminya selama perjalanan menuju ke pos 3 tadi, mulai dari suara langkah kaki yang tidak terlihat, pendaki wanita yang ikut berjalan bersamanya dan sosok wanita yang duduk di sungai.

Setelah cukup istirahat Surya bertanya pada grupnya mau lanjut ke pos 4 apa camp disini aja dan mereka memutuskan untuk lanjut berjalan ke pos 4 saja dengan alasan agar besok summitnya tidak jauh-jauh.

Perjalanan kembali dilanjutkan dengan posisi yang sama yaitu Surya di paling depan. Di perjalanan menuju ke pos 4 Surya masih terus kepikiran tentang wanita itu tapi ya sudahlah kalau memang dia bukan manusia semoga tidak mengganggu perjalanannya malam ini.

Di pertengahan menuju ke pos 4 sayup-sayup Surya mendengar ada suara gong yang dipukul satu kali hingga memecahkan konsentrasinya yang waktu itu fokus ke jalan yang dia lewati.

Pertama Surya menganggap mungkin dia salah dengar tapi suara gong itu berbunyi lagi untuk yang kedua kalinya hingga membuat Surya berfikir,

“Suoro opo iku? Opo ning nisor enek wong nduwe gawe?” (Suara apa itu tadi? apa di bawah ada orang hajatan?)

Setelah bunyi kedua terdengar sambil berjalan Surya memasang telinganya untuk kemnali mendengarkan suara itu dan ternyata benar, suara gong itu berbunyi lagi untuk yang ketiga kalinya dan suaranya berasal dari arah lembah.

Seketika itu bulu kuduk berdiri dan disa’at yang bersama’an tiba-tiba Ajeng yang tadinya berjalan di barisan nomor 7 berpindah ke belakang Surya dengan raut wajah yang ketakutan, melihat itu Surya bertanya,

“Dek Ajeng nyapo?” (Dek Ajeng kenapa?)

Ajeng hanya menggelengkan kepala dengan tatapan ke bawah sambil berjalan.

Semua mata anggota tertuju kepada Ajeng dan Surya, karena tidak ingin membuat semuanya panik Surya berusaha menetralkan situasi,

“Jalannya jangan jauh-jauh ya yok semangat”. Ucap Surya dilanjut memegang tangannya Ajeng.

Sebenarnya Surya ingin menanyakan apa yang terjadi pada Ajeng tapi untuk sekarang waktunya belum tepat maka dia menyimpan pertanya’annya itu untuk nanti menunggu waktu yang pas untuk menanyakan.

Perjalanan masih berlanjut, terlihat Ajeng sudah lebih tenang dari sebelumnya entah dia sudah merasa tenang atau masih ketakutan.

Singkat cerita sampailah mereka di pos 4 pada pukul 00.30 dini hari. Terlihat mas Nanang sedang menunggu semua peserta di sebelah tendanya, sesampai disitu mereka mendirikan tenda yang dibawa masing-masing untuk bermalam di pos 4.

Terlihat sebagian pendaki lainnya sudah istirahat di dalam tendanya masing-masing dan sebagian lagi masih sibuk memasak makanan. Setelah tenda sudah berdiri Surya menemui mas Nanang untuk memberitahunya kalau grup 3 sudah sampai di pos 4.

Surya kembali ke tenda yang sudah dia dirikan tadi dan terlihat Ajeng sedang duduk di dalam tenda Surya dengan posisi jongkok menempelkan dagunya di atas lutut.

Melihat keberada’an Ajeng disitu Surya bertanya,

“Loh dek Ajeng kok nang kene?” (Loh dek Ajeng kok disini?) “Aku turu nang kene karo sampeyan yo mas” (Aku tidur disini sama kamu ya Mas) “Lah nyaopo ning tendo sampeyan dewe dek?” (Lah kenapa di tenda kamu sendiri dek?) “Aku wedi mas, aku mari di weruhi wong wadon sing koyo sinden pas mlaku maeng” (Aku takut mas, aku habis melihat wanita yang seperti sinden pas jalan tadi)

Mendengar itu Surya segera menutup pintu tendanya dan lanjut bertanya kepada Ajeng,

“Sinden koyok piye dek?” (Sinden kayak gimana dek?) “Embuh mas dek’e ayu tenan, nganggo sewek batik trus nganggo selendang abang” (Gak tau mas, orangnya cantik, memakai jarik batik dan memakai selendang merah)

Jawaban itu membuat Surya berfikir, “Mungkin itu sebabnya tadi Ajeng terlihat ketakutan dan apa itu ada hubungannya dengan suara gong yang ku dengar tadi?”

Akhirnya Surya mengijinkan Ajeng untuk tidur di tendanya. Karena tidak ingin membuat suasana semakin mencekam Surya mengajak Ajeng untuk keluar tenda dan berkumpul dengan teman-teman lainnya, sesampai di luar tenda mereka berkumpul dengan yang lain untuk makan-makan dan ngopi.

Ketika sedang duduk santai di tengah keramaian camp Surya melihat ada pendaki wanita yang sepertinya itu adalah pendaki wanita yang ikut berjalan dengan rombongannya tadi, dia sedang duduk selonjoran bersandar pohon.

Karena penasaran Surya meminta Ajeng untuk tetap di posisi duduknya dan akan menghampiri wanita tersebut, setelah dihampiri Surya bertanya pada wanita itu,

“Amit mbak’e, sampeyan saking gup pinten” (Permisi mbak, kamu dari grup berapa?)

Dengan suara lembut pendaki wanita itu menjawab,

“Kulo saking grup 5 mas” (Saya dari grup 5 mas) “Mbak’e wau sing tumut mlaku kaleh grup 4 njeh ten pos 2?” (Mbak tadi yang ikut jalan bareng grup 4 ya setelah pos 2?) “Ooh injih mas” (Ooh iya mas betul)

Akhirnya Surya menemukan jawaban atas kejanggalan yang tadi sempat dia rasakan bahwasanya yang jalan dengan grupnya itu memang benar-benar pendaki wanita ini.

Setelah itu Surya pamit pada pendaki wanita itu untuk kembali ke tempat Ajeng.

Ada sedikit rasa sesal di benak Surya karena dia tidak sempat menanyakan nama pendaki wanita itu, sesampai di tempat Ajeng yang sedang duduk Ajeng bertanya,

“Tekan ndi mas?” (Dari mana mas?) “Ooh iku ono pendaki cewek sing maune mlaku bareng awak dewe” (Ooh itu tadi ada pendaki wanita yang tadi jalan sama kita) “Sing pas kapan mas?” (Yang pas kapan mas?) “Sing mau loh dek sing mas Surya takon ning pos 3 tibakno dek’e tekan grup 5 trus melu mlaku bareng awak dewe tekan pos 2” (Yang tadi loh dek yang saya tanya di pos 3, ternyata dia dari grup 5 yang ikut jalan bareng kita dari pos 2)

Dengan nada kaget Ajeng lanjut berucap,

“Sing tenan mas? Aku gak ndeleng enek arek liyo sing mlaku karo awak dewe trus sing ning pos 2 iku dudu grup 5 tapi grup 3” (Yang bener mas? Aku gak lihat ada orang lain yang jalan sama kita trus yang di pos 2 itu bukan grup 5 tapi grup 3)

Mendengar penjelasan itu Surya baru ingat, ternyata benar apa yang dikatakan Ajeng bahwa yang di pos 2 tadi bukan grup 5 melainkan grup 3. Spontan Surya kembali melihat kearah wanita yang di temuinya tadi dan ternyata wanita itu sudah tidak ada di tempatnya.

Keanehan kembali menghantui Surya tapi di depan Ajeng dia berusaha berikap tenang, dia bilang sama Ajeng,

“Ooh berarti aku salah orang”.

Malam semakin larut. Terlihat beberapa pendaki lain sudah masuk ke tendanya masing-masing untuk istirahat. Surya pun mempersilahkan Ajeng untuk masuk kedalam tenda dan istirahat sedangkan Surya, dia masih sibuk dengan kopinya yang belum habis.

Ketika Surya hendak menghabiskan kopi terakhir dia tersentak karena sayup-sayup dia mendengar lagi suara gong yang sama persis seperti yang didengarnya tadi. Dia memasang telingadan mencoba mendengarkan lagi suara gong itu tapi sudah beberapa menit dia memasang telinga suara itu sudah tidak terdengar lagi.

Lalu disa’at yang bersama’an terlihat pendaki wanita yang tadi ditemui Surya itu sedang berjalan di antara tenda pendaki lain. Dia melupakan suara gong yang tadi didengarnya dan segera menghampiri wanita itu untuk mencari tau keanehan yang sudah dia rasakan.

Sesampai di tempat wanita itu Surya di persilahkan duduk hingga akhirnya mereka duduk berdua di sebelah api unggun yang tadi dibuat pendaki lain.

Percakapan pun berlangsung antara Surya dan pendaki wanita itu, mulai dari berkenalan, bertanya tempat tinggal dan kesibukan masing-masing.

Tadi yang tujuannya Surya ingin cari tau tentang keanehan yang dirasakan itu hilang, bagi Surya itu sudah tidak penting lagi setelah mengetahui nama dan tempat tinggal wanita itu.

Dia adalah Rani, begitulah Surya menyebutnya, raut wajahnya mengeluarkan aura yang bersinar, dia wanita yang sangat anggun, bertempat tinggal di sebuah desa yang letaknya tidak jauh dari lereng gunung Sumbing.

Ternyata percakapan mereka berdua bisa membuat hati Surya luluh dengan ke-anggunan Rani hingga dia mempunyai niat untuk mengenal Rani lebih jauh lagi.

Karena malam semakin larut Surya mempersilahkan Rani untuk istirahat begitu pun dengan Surya, dia kembali ke tendanya untuk istirahat, sesampai di dalam tenda Surya merebahkan badannya di sebelah Ajeng yang waktu itu sudah tidur pulas sambil terus memikirkan Rani sebelum dia tidur.

“Aku lagek kenal karo Rani tapi kenopo moro-moro atiku ngeroso cocok”. Ucap Surya dalam hati. (Aku baru kenal sama Rani tapi kenapa tiba-tiba hatiku merasa cocok)

Pagi pun tiba... Pagi itu terdengar suara berisik dari pendaki lain dari luar tenda yang sudah bangun terlebih dahulu. Mendengar itu Surya lekas membangunkan Ajeng yang masih dengan tidurnya.

Pagi ini cuaca cukup hingga semua pemandangan tidak dapat dilihat tapi beruntungnya tidak turun hujan, terlihat beberapa pendaki lain sedang bersiap-siap dan ada juga yang sudah pergi meninggalkan tenda untuk summit ke puncak.

Surya sedang berdiri di depan tenda memperhatikan mereka dan tentu dia sedang mencari Rani tapi pagi itu Rani tidak terlihat entah belum bangun atau mungkin sudah berjalan summit.

Ketika sedang fokus mencari keberada’an Rani terdengar suara mas Nanang berteriak kepada Surya,

“Mas Surya ndak muncak toh?” (Mas Surya nggak summit?) “Iyo mas, iki arep siap-siap muncak” (Iya mas ini mau siap-siap summit)

Surya berjalan mendekati mas Nanang dan akan menanyakan anggotanya yang bernama Rani,

“Mas, anggotane enek sing jenenge Rani gak” (Mas, anggotanya ada yang bernama Rani gak?) “Waduh gak eruh aku mas, data peserta enek ndek Doni, opo’o mas Surya masuk ta areke, hehe” (Waduh nggak ngerti aku mas, data peserta dibawa sama Doni. Kenapa mas Surya baguas ya anaknya? Hehe). Jawab Mas nanang dengan bercanda.

Doni adalah salah satu admin dalam open trip kali ini dan pagi itu Doni sudah berjalan summit bersama sebagian peserta. Setelah cukup bercakap-cakap Surya kembali ke tenda untuk sarapan dan mempersiapkan perbekalan yang akan dibawa summit ke puncak.

Sesampai di tenda terlihat Ajeng sedang duduk posisi bersila dengan sleeping bag yang masih menutupi badannya, Surya mengajak Ajeng untuk sarapan untuk mengisi tenaga sebelum summit ke puncak, lalu Ajeng berkata pada Surya,

“Mas, aku bar ngimpi gak penak” (Mas aku habis mimpi nggak enak) “Ngimpi opo toh dek?” (Mimpi apa dek?) “Aku ketemu arek wedok sing tak ceritakne sampeyan mau bengi trus enek mas sampeyan ndek kunu” (Aku ketemu wanita yang aku ceritakan tadi malam dan ada mas Surya disitu)

Untuk mimpinya cukup panjang, intinya di dalam mimpi itu Ajeng sedang berada di sebuah desa dan melihat wanita itu sedang menari di sebuah pertunjukan khas jawa dengan musik gending yang mengiringinya.

Mendengar itu Surya tidak terlalu memikirkannya, dia meminta pada Ajeng untuk mengabaikan dan menganggapnya sebagai bunga tidur.

Tepat pukul 08.00 Surya dan Ajeng mulai meninggalkan tenda untuk berjalan menuju ke puncak dengan kondisi yang masih berkabut, sering kali mereka menyapa pendaki lain yang waktu itu sudah berjalan turun.

Kira-kira di pertengahan jalan menuju ke puncak, dari sela-sela kabut yang tebal Surya melihat ada satu orang yang sedang duduk seorang diri, melihat itu Surya mengajak Ajeng untuk sedikit mempercepat jalannya dan akan menghampiri pendaki itu untuk diajak bareng. Sesampainya disana Surya sedikit kaget, ternyata pendaki itu adalah Rani, dia sedang duduk selonjoran dengan kain merah yang melilit di lehernya menambah keanggunan dirinya di mata Surya.

Surya pun bertanya kenapa dia berada disini sendirian dan disa’at yang bersama’an Ajeng mencubit pinggangnya Surya seakan dia ingin mengatakan sesuatu tapi tidak ingin di ketahui Rani.

“Gpp mas, aku ngenteni koncoku jek ning ngisor”, jawab Rani dengan suara lembutnya. (Gpp mas, aku nunggu temanku masih dibawah)

Lalu Ajeng mengajak Surya untuk kembali melanjutkan perjalanan dengan alasan teman kampusnya sudah menunggu diatas.

Surya meminta ma’af kepada Rani karena tidak bisa menemani menunggu temannya untuk menuruti perminta’an Ajeng, disisi lain Surya paham dengan maksud Ajeng yang sepertinya ingin mengatakan sesuatu tapi tidak disini. Dengan senang hati Rani mempersilahkan mereka untuk berjalan dulu.

Setelah cukup jauh berjalan meninggalkan Rani barulah Ajeng berkata,

“Mas Surya kenal toh karo arek kui mau?” (Mas Surya kenal dengan anak tadi?) “Lagek kenal mau bengi ning camp, ono opo toh?” (Baru kenal semala di camp, kenapa memangnya?) “Kui mirip arek sing tak ceritakne ning sampeyan” (Dia mirip wanita yang aku ceritakan ke kamu) “Sing tenan pyn dek?” (Yang bener kamu dek?) “Iyo mas, kui mirip arek sing tak impine mau bengi trus areke yo nggowo selendang abang kui sisan”, jelas Ajeng kepada Surya. (Iya mas, dia mirip wanita yang ada dalam mimpiku semalam dan dia juga membawa selendang merah itu). “Tenanan toh? Iku jenenge Rani dek bengi aku ngobrol akeh karo dek.e” (Yang bener? Dia namanya Rani semalam aku ngobol banyak sama dia) “Ya ampun mas tenanan loh” (Ya ampun mas beneran deh)

Mendengar penjelasan dari Ajeng munculah sedikit pertanya’an dalam benak Surya tentang sosok Rani.

Singkat cerita sampailah mereka di puncak sejati gunung Sumbing, sesampai disana kabut masih menyelimuti seluruh puncak hingga mereka tidak dapat menikmati pemandangan bagus yang mereka inginkan. Pantas saja tadi mereka sering menjumpai beberapa pendaki yang sudah turun mungkin karena keada’an puncak yang seperti ini.

Di puncak Ajeng berkumpul dengan teman kampusnya untuk mengabadikan momen bersamanya, disa’at yang bersama’an Surya berjalan keliling puncak untuk menikmati suasana yang ada, lalu dari arah bawah dia melihat Rani sedang berjalan seorang diri menuju ke puncak.

Melihat itu Surya segera menghampirinya walaupun harus berjalan sedikit turun, sesampainya di tempat Rani dia berkata,

“Loh mbak Rani, endi konco-koncoe sampeyan?” (Loh mbak Rani, mana teman-teman kamu?) “Ijek ndek ngisor mas tak tinggal wae soale suwi” (Masih dibawah mas aku tinggal aja soalnya lama)

Lalu Rani terduduk di pinggir jalur dan Surya pun ikut duduk bersamanya.

Dia terus memperhatikan Rani dan lagi-lagi wajahnya mengeluarkan aura yang bersinar di mata Surya, dia mengingat-ingat dengan apa yang dikatakan Ajeng tadi.

Perhatian Surya ke Rani itu tiba-tiba pecah ketika Rani mengucapakan sesuatu kepada Surya,

“Mas, ibukku lagi golek mantu, moro nang ibuk mas sopo ngerti ibuk seneng karo sampeyan”. (Mas, ibukku lagi cari menantu, kamu datang ke ibu siapa tau ibu suka dengan kamu)

Bergetar rasanya Surya mendengar ucapan itu rasanya apa yang diucapkan Rani baru saja itu tidak nyata, lalu dia menjawab,

“Loh mbak Rani iki wonge ayu opo gak nduwe calon?” (Loh mbak Rani ini kan orangnya cantik apa tidak punya calon?) “Soal mantu ibukku wonge pilih-pilih mas” (Soal menantu ibuku orangnya pilih-pilih mas) “Tapi aku dudu wong sugih loh mbak, aku mung nggarap sawah tinggalane bapak” (Tapi aku bukan orang kaya loh mbak, aku hanya bekerja di sawah peninggalan ayahku) “Ora sugih sing dikarepno ibuk tapi sing iso tanggung jawab lan gelem manggon sak omah” (Bukan kaya yang diinginkan ibu tapi yang bisa tanggung jawab dan mau tinggal dirumah)

Surya yakin kalau Rani ada perasa’an dengannya, karena kalau tidak, dia tidak akan berkata seperti ini kepadanya.

Surya pun menanyakan tempat tinggal Rani dan kalau ada waktu dia bersedia datang kerumahnya tapi Rani tidak memberitahu tempat pastinya dia hanya mengatakan kalau dia tinggal di sebuah desa yang letaknya tidak jauh dari lereng gunung Sumbing dan Rani juga berkata kalau Surya ingin datang tanyakan nama Rani pada penduduk desa maka dia akan tau dimana Rani tinggal.

Surya berfikir, baginya Rani adalah orang yang menjaga baik-baik keperibadiannya dan perkata’an dari Rani itu Surya menganggap ini adalah sebuah tantangan.

Mengingat umur Surya yang sekarang sudah menginjak 28 tahun dia berniat untuk datang kerumahnya nanti setelah pendakian ini. Tidak lama kemudian terdengar suara Ajeng berteriak dari atas memanggil-manggil Surya untuk mengajaknya turun.

Surya pun mengajak Rani untuk ikut ke’atas tapi dia memilih untuk duduk disini menunggu teman-temannya dan Surya tidak ingin memaksanya, akhirnya dia berpamitan pada Rani untuk kembali ke’atas dan membiarkan Rani tetap disitu.

Sesampainya kembali di atas Ajeng bertanya pada Surya,

“Lapo sampeyan nang kono mas?” (Ngapain kamu disana mas?) “Iku enek arek sing ketemu awak dewe pas munggah maeng” (Itu ada anak yang ketemu kita pas naik tadi)

Surya pun mengajak Ajeng untuk kembali berjalan turun bersama tiga teman kampusnya Ajeng, ketika berjalan terlihat Rani sudah tidak ada di tempatnya tadi, mungkin dia sudah bertemu dengan temannya dan sedang berada di tempat lain.

Kabut masih cukup tebal menghalangi perjalanan turun mereka, di tengah-tengah perjalanan turun tiba-tiba dari belakang salah satu teman kampusnya Ajeng berteriak memanggil Surya,

“Mas Surya, iki Ajeng kenopo mas..?” (Mas Surya, ini Ajeng kenapa mas?)

Spontan Surya menoleh kebelakang dan terlihat Ajeng sedang melotot terpaku menatap ke arah jurang.

Dengan sigap Surya mendatangi Ajeng, beberapa kali dia memanggil-manggil nama Ajeng tapi tidak ada respon sama sekali, dia hanya terus melotot kearah jurang seperti melihat sesuatu.

Surya pun mengarahkan padangannya ke arah yang dilihat Ajeng tapi hanya kabut yang dia lihat, lalu Surya menutup kedua mata Ajeng dengan satu tangannya, tidak lama kemudian Ajeng sadar, dengan keada’an yang ketakutan dia menyembunyikan pandangannya di bahunya Surya sambil bilang,

“Mas aku wedi” (Mas, aku takut) “Wedi kenopo, sampeyan bar ndeleng opo?” (Takut kenapa, kamu habis lihat apa?) “Emoh, ayo cepetan mulih aku emoh nang kene” (Gak mau, ayo cepetan pulang aku gak mau disini)

Surya pun mencoba menenangkan Ajeng begitupun dengan teman-teman Ajeng lainnya, setelah cukup tenang perjalanan turun kembali dilanjutkan dan kali ini Surya menggandeng puncaknya Ajeng di sepanjang perjalanan hingga sampai di area camp.

Niat Surya ingin bertanya kepada Ajeng tentang apa yang dilihatnya tadi tapi untuk sa’at ini dia memilih menyimpan pertanya’an itu untuk di tanyakan di rumah nanti.

Terlihat di area camp sudah sedikit sepi karena sebagian dari peserta mungkin sudah turun, Surya segera mengemasi barang-barangnya dan membawakan sebagian barang milik Ajeng kemudian turun dengan anggota grupnya yang dari tadi mereka sudah menunggu kedatangan Surya disini. Setelah barang sudah terkemas rapi perjalanan turun pun di mulai masih dengan kondisi yang berkabut.

Di perjalanan turun Surya meminta Ajeng untuk berjalan di depannya dan kali ini Ajeng terlihat sedikit beda, dia tidak banyak bicara seperti sebelumnya. Melihat Ajeng yang tiba-tiba seperti itu Surya merasa khawatir dia sudah mengira kalau Ajeng habis ditampaki sesuatu hingga membuat dia seperti ini. Sering kali Surya bertanya tentang konsisi Ajeng tapi setiap pertanya’annya itu Ajeng hanya membalas dengan menggelengkan kepalanya.

Di pertengahan antara pos 3 menuju pos 2 tiba-tiba Ajeng menghentikan jlangkah kakinya dan padangannya melotot ke depan, melihat Ajeng yang seperti itu Surya bertanya,

“Lapo dek? Ndang ayo mlaku ben ndang tekan ngisor” (Kenapa dek? Ayo jalan biar cepet sampai bawah)

Tapi Ajeng tetap dengan posisinya tanpa menjawab pertanya’an Surya.

Surya mengikuti arah pandangan Ajeng tapi yang terlihat hanya jalan setapak yang mereka lewati, tidak lama kemudian tiiba-tiba badannya Ajeng lemas hingga akan terjatuh tapi beruntung ada Surya yang dengan sigap meraih badannya Ajeng sebelum dia jatuh.

Surya panik melihat keada’an Ajeng yang tiba-tiba seperti itu begitupun teman-teman lainnya, beberapa kali dia mencoba menyadarkan Ajeng tapi tidak membuahkan hasil.

Ajeng masih dengan kondisinya yang lemas dan matanya melotot ke arah depan. Terdengar suara teman-temannya saling bersahutan,

“Kenopo iku Ajeng? Paling kesurupan. Ojo ngawur nek ngomong” (Kenapa itu Ajeng? Kayaknya kesurupan. Jangan asal bicara)

Lalu salah satu teman kampusnya Ajeng mendatangi Surya yang masih menahan badannya Ajeng agar tidak jatuh, dia berucap pada Surya,

“Mas Surya, ndek puncak maeng Ajeng cerito ndek aku jarene areke diweruhi wong sing koyo sinden, terus jare sinden iku arep ngajak Ajeng tapi embuh nandi mangkane areke cepet-cepet ngajak mudun” (Mas Surya, di puncak tadi Ajeng tadi bilang ke aku katanya dia didatangi orang yang seperti sinden terus dia mau diajak tapi gak tau kemana, mangkanya dia cepat-cepat mengajak turun)

Mendengar penjelasan itu Surya berfikir,

“Opo iku sinden sing di ceritakno ning aku wingi?” “Apa itu sinden yang dimaksud kemarin?”

Beberapa sa’at kemudian akhirnya Ajeng sadar dengan sendirinya tapi masih dengan keada’annya yang ketakutan. Setelah sadar itu Surya bertanya pada Ajeng,

“Dek Ajeng, sampeyan bar ndeleng opo?” (Dek Ajeng, kamu habis lihat apa?)

Masih dengan keada’an yang ketakutan Ajeng bilang,

“Rani mas, Rani, koncoe sampeyan” (Rani mas, Rani, temen kamu)

“Ndek endi enek Rani?” (Dimana ada Rani?)

Ajeng hanya dengankeada’annya yang ketakutan dan tidak menjawab pertanya’an Surya.

Mendengar perkata’an Ajeng barusan Surya berfikir,

“Ada apa dengan Rani? Apa terjadi sesuatu dengannya?”

Lalu teman-temannya Ajeng mengajak untuk kembali melanjutkan perjalanan dengan tujuan agar segera sampai di basecamp.

Surya menggandeng puncaknya Ajeng dan mengajaknya untuk melanjutkan perjalanan dan syukurlah setelah kejadian itu Ajeng tidak ada kendala yang serius hingga sampai di basecamp ketika hari sudah menjelang sore

Sesampai di basecamp mereka bertemu dengan mas Nanang, melihat keada’an Ajeng yang sepertinya tidak sehat dia bertanya pada Surya tapi Surya tidak memberitahu kejadian yang sebenarnya pada mas Nanang. Surya segera berpamitan dengan mas Nanang selaku salah satu admin yang dia kenal untuk kembali pulang.

Sesampai di kampung halaman Surya mengantarkan Ajeng kerumahnya dan lanjut pulang kerumahnya sendiri. Sesampai di rumah Surya merasa sangat lega karena tidak terjadi apa-apa terhadap Ajeng tapi dia masih mempunyai pertanya’an yang belum sempat dia tanyakan kepada Ajeng. Malam harinya Surya datang kerumah Ajeng sekalian mengembalikan barang milik Ajeng yang tadi dibawanya.

Malam itu mereka berdua duduk di teras rumah dan Ajeng menjelaskan tentang apa yang sudah dilihatnya selama pendakian itu termasuk sosok sinden yang menghantuinya sepanjang perjalanan.

Ternyata apa yang sudah diceritakan Ajeng itu ada kaitannya dengan Rani dan tabuh gong yang sempat dia dengar, hingga muncullah pertanya’an besar tentang siapa sebenarnya Rani yang dia kenal itu.

Surya pun menceritakan semua tentang pertemuannya dengan Rani itu kepada Ajeng termasuk perkata’an Rani kepada Surya tentang ibunya Rani yang sedang mencari menantu.

Selama berada di rumah sosok Rani masih terus menghantui Surya hingga beberapa kali dia bermimpi tentang Rani.

Rasa penasaran Surya ke Rani semakin menjadi-jadi hingga akhirnya dia memutuskan untuk datang ke desa tempat tinggal yang pernah Rani katakan.

7 hari setelah pendakian ke gunung Sumbing waktu itu Surya pergi ke desa yang letaknya tidak jauh dari lereng gunung Sumbing berasama Ajeng karena Ajeng juga ikut penasaran tentang siapa itu Rani.

Sesampai di desa tersebut mereka bertanya pada beberapa petani yang waktu itu terlihat pulang dari ladang tapi diantara petani itu tidak satupun yang mengenal nama Rani tapi mereka tidak menyerah begitu saja.

Beberapa rumah di desa itu mereka datangi untuk menanyakan hal yang sama dan ada satu rumah yang penghuninya tau dengan yang namanya Rani.

Datanglah mereka ke rumah Rani tapi itu bukan Rani yang mereka ingin temui, lalu ada salah seorang yang menyarankan Surya dan Ajeng untuk menanyakan itu pada kepala dusun setempat.

Akhirnya mereka pun pergi ke tempat bapak kepala dusun, sesampai disana ternyata beliau sedang tidak ada di rumah jadi terpaksa mereka harus menunggunya sampai beluiau pulang. Setelah 30 menit menunggu akhirnya beliau datang dan mereka dipersilahkan masuk.

Di ruang tamu Surya bertanya dan menceritakan tentang Rani yang dia temui di gunung Sumbing waktu itu. Mendengar cerita dari Surya bapak kepala dusun terlihat sedikit kaget lalu beliau mengatakan tentang siapa itu Rani.

“Rani iku ancen arek wadon kampung iki. Jenenge yaiku Maharani, dheweke anak tunggal, ayu, tur pinter nandak sampek kabeh wong lanang akeh sing pingin ngarepno Rani dadi bojone nanging nasibe Rani ngenes mergo simbok’e ora pengen Rani nduwe bojo kanthi acak. Kanthi tekane wektu ono wong lanang sing nduweni dendam marang Rani sak keluargane nganti pungkasane dheweke nggunakake sihir ireng kanggo nyiksa Rani lan keluargane nganti pungkasane Rani lan keluargane tilar donya amergo sihir ireng kasebut” (Rani itu memang warga kampung sini. Namanya adalah Maharani. Dia anak tunggal, cantik dan mahir dalam menari sampai banyak laki-laki yang meninginkan Rani menjadi istrinya tapi nasibnya Rani menderita karena ibunya tidak ingin Rani punya suami orang biasa. Sampai suatu ketika ada lelaki yang mempunyai dendam pada Rani dan keluarganya sampai akhirnya dia menggunakan ilmu hitam untuk membuat Rani dan keluarganya menderita hingga akhirya Rani dan keluarganya meninggal dunia karena ilmu hitam tersebut)

Mendengar penjelasan dari bapak kepala dusun mereka syok terutama Surya, dia merasa antara sedih dan kasihan. Sedih karena tenyata Rani yang dia kenal itu bukan Rani yang sebenarnya dan kasihan karena mendengar nasib Rani yang seperti itu.

Jadi kesimpulannya Rani itu mempunyai nama Maharani. Dia orangnya cantik dan pandai menari sampai-sampai banyak pria yang menginginkan Maharani sebagai istrinya tapi ibunya Maharani tidak ingin dia mempunyai suami orang biasa dalam artian yang diinginkan ibunya itu adalah laki-laki yang bisa memahami keada’an keluarganya karena Maharani adalah putri satu-satunya yang hanya tinggal bersama ibunya.

Tapi nasib berkata lain ketika ada seseorang yang mempunyai dendam dan sengaja menggunakan ilmu hitam untuk mencelakai Rani dan ibunya.

~~~SEKIAN~~~

close