Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kisah Ammar bin Yasir, Sahabat Nabi yang Dibakar dan Dipaksa Murtad


KompasNusantara - Di antara banyaknya sahabat Nabi Muhammad SAW, ada satu nama yang kisahnya sangat jarang didengungkan. Padahal, kisahnya tak kalah menarik dan menginspirasi dari sahabat-sahabat nabi seperti Umar Bin Khatab, Thalhah Bin Ubaidillah, Utsman Bin Affan, dan lain-lain.

Dialah sosok sahabat Nabi yang istimewa, namanya Ammar bin Yasir. Dia berasal dari keluarga syuhada. Bahkan Ibunya (Sumayyah) adalah syahidah pertama dalam sejarah perkembangan Islam.

Dilansir dari Islampos, Ammar selalu mengikuti jalan kebenaran walau penuh duri. Walau penuh penderitaan, laki-laki ini tetap setia pada ajaran dan bimbingan Rasulullah SAW.

Ammar berasal dari keluarga sederhana, bahkan bisa dikatakan kurang mampu. Yasir bin Amir berasal dari daerah Yaman. Sedang Ibunya adalah seorang budak bernama Sumayyah bin Khayyath. Ketiganya adalah gambaran manusia yang membuka hatinya pada hidayah. Mereka memang miskin, tapi hatinya kaya akan iman.

Dalam hal ini Rasulullah pernah memuji Ammar di hadapan sahabat yang lain, “Tubuh Ammar ini, hingga ke tulang-tulangnya penuh dengan iman.”

Hampir semua sahabat yang termasuk generasi awal mengalami penyiksaan, ancaman serta gangguan dari kaum musyrik. Siksaannya berbeda-beda.

Jika sahabat itu berasal dari suku terpandang, kaya, dan punya posisi penting, yang akan mereka dapatkan adalah ancaman dan gertakan. Tapi, jika berasal dari kalangan budak, miskin, tidak berpengaruh, maka mereka akan mendapat siksaan di luar batas kemanusiaaan.

Itulah yang dirasakan keluarga Yasir. Siksaan yang mereka dapatkan sampai membuat Rasulullah bersedih. Setiap hari, ayah, ibu, dan anak itu di bawa ke padang pasir Mekkah, lalu disiksa. Ammar pernah merasakan tubuhnya dibakar dengan api. Rasulullah SAW yang kebetulan melihat peristiwa itu, mengusap kepalanya lalu berujar,

“Wahai api, jadilah kamu sejuk dan menyegarkan tubuh Ammar, sebagaimana kamu dulu juga sejuk dan menyegarkan tubuh Ibrahim.”

Melihat kokohnya iman Ammar, para penyiksanya yang berasal dari bani Makhzum semakin menggila. Mereka merasa tertantang untuk menundukkan Ammar. Maka, mereka pun menyiksa Ammar dengan berbagai cara.

Dari mulai disiksa dengan api, disalib, ditelentangkan di atas pasir panas, sampai dibenamkan dalam air. Mereka terus meminta Ammar agar meninggalkan Allah SWT, “Pujilah Tuhan-Tuhan kami!”

Saat itu kondisi Ammar hampir tak sadarkan diri, dan di luar kesadarannya Ammar pun mengikuti apa yang diucapkan penyiksanya. Saat kesadarnnya mulai pulih Ammar menyesali semua ucapannya.

Dia menangis dan terus memohon ampun kepada Allah SWT. Dia takut ucapannya akan membuat semua pengorbanan keluarganya selama ini tidak bernilai di hadapan Allah SWT.

Mendengar hal itu, Rasulullah mendatangi Ammar. “Benarkah yang aku dengar ini, Ammar?”

“Benar ya Rasulullah?” Ammar setengah meratap. Sungguh sesal di hatinya terlihat jelas.

“Jika mereka menyiksamu lagi, katakan apa yang kamu katatakan tadi.” Rasulullah mengetahui bahwa semua perkataan Ammar tidak dari hati. Bahkan kata-kata itu diucapkan saat dia tidak sadar, saat nyawanya dalam bahaya. Ammar melakukan itu dalam kondisi terpaksa, sedang hatinya tetap dalam keimanan.

Allah SWT mengabadikan kondisi Ammar dalam QS. An-Nahl ayat 106, “Kecuali orang yang dipaksa, sedang hatinya tetap teguh pada keimanan.”

Mendengar hal itu, Ammar semakin tabah menghadapi apa yang terjadi, siksaan yang mengancamnya dihadapi dengan kesabaran.

Kebalikannya, para penyiksaa merasa bingung dan kewalahan. Kelelahan mendera fisik dan jiwa mereka. Takut akan datangnya azab sebagai balasan perlakuan mereka pada keluarga Yasir.

Wallahu a’lam..

Semoga bermanfaat

Sampaikanlah ilmu ini kepada orang lain. Semoga mempermudah urusanmu di Dunia Akhirat dan Memberatkan timbangan Amal baikmu di Yaumul Mizan.

Riwayat dari Rasulullulah saw. mengatakan:

من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه

“Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (H.R. Muslim no. 1893).
close