Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

AJI TULUR JEJANGKAT LEGENDA TANAH KUTAI


KompasNusantara - Legenda yang akan di ceritakan kembali dalam postingan ini adalah versi Dayak Tunjung Rentenukng yang di ambil dari Buku yang di tulis oleh alm. Y. Lahajir, kemudian di lengkapi dengan versi orang Kutai, dan oleh beberapa keterangan dari orang-orang yang mengetahui cerita tentang legenda tersebut.

Suku Tunjung yang banyak terdapat di Kabupaten Kutai Barat, sebagian besar mendiami tepian Sungai Mahakam dan Sungai Bengkalang. Pada zaman dahulu, suku ini dipimpin oleh raja secara turun-temurun.

Di daerah Kutai Barat, Kalimantan Timur, ada dua orang bersaudara yang bernama Gah Bogatn dan Suman. Gah Bogatn tinggal di Negeri Linggang yang terletak tidak jauh dari Sungai Bengkalang. Sementara itu, Suman menetap di Negeri Lonokng, sebelah kanan mudik Sungai Mahakam. Suatu hari, istri Gah Bogatn yang bernama Gah Bongeq melahirkan anak kembar delapan. (sebelumnya Gah Bongeq melahirkan 7 kali namun anak-anak ini di buang ke beberapa tempat dengan berbagai macam alasan, yang akan di bahas pada postingan tentang Sengkereaaq) Kedelapan anak itu mereka beri nama:
(1) Sengkereaq Kebotn; 
(2) Sengkereaq Laneq; 
(3) Sengkereaq Egas; 
(4) Sengkereaq Lacaaq; 
(5) Sengkereaq Inyutn; 
(6) Sengkereaq Ingkih;
(7) Sengkereaq Rempaq; dan
(8) Sengkereaq Dakaq

Waktu terus berjalan. Kedelapan bersaudara itu tumbuh dewasa dan mereka mendirikan permukiman di pinggiran Sungai Engkalaakng (Sungai Bengkalang) (dekat Kampung Jelemuq, Kecamatan Tering, Kabupaten Kutai Barat). Sehari-hari mereka mencari ikan di sungai untuk memenuhi kebutuhan mereka. Suatu hari, saat mereka sedang makan bersama, tiba-tiba terdengar suara gaib dari langit.

“Jooq, kaapm nyamut kaapm mateeq, kaapm kaheeq nyamut, kaapm mateeq,” 
(ini, kalian sambut kalian mati, kalian tidak sambut, kalian mati) demikian kata suara itu.

Selang beberapa saat kemudian, tiba-tiba sebuah Plangkaq (sejenis keranjang) yang terulur dengan tali seolah-olah turun dari langit. Mereka berdelapan menyambut kelengkaakng tersebut, kemudian Sengkereaaq Dakaaq memotong tali yang membawa plangkaaq turun, kemudian membalas suara yang tadi terdengar,
“Jooq, Kaapm, kaapm narik kaapm mateeq, kaapm heeq narik kaapm mateeq”
(itu, kalian tarik kalian mati, kalian tidak tarik kalian mati).

Ternyata Plangkaaq itu berisi seorang bayi laki-laki tampan yang menggenggam sebutir telur di tangan kanannya. Alangkah senangnya hati mereka mendapat hadiah tersebut. Oleh Sengkereaaq Egas, bayi itu diberi nama Aji Tulur Jejangkat. hal ini diterima Sengkereaq Dakaq dengan senang hati, sebab mereka yakin di belakang hari nanti, bayi ini akan memegang peranan penting di dalam menentukan kehidupan mereka dan kehidupan penduduk di benua atau Tanah Negeri Linggang pada khususnya dan tanah Tonyooi pada umumnya Telur yang ada digenggaman bayi itu mereka simpan dengan baik. Beberapa hari kemudian, telur itu pun menetas menjadi seekor ayam jantan dan diberi nama Jong Perak Kemudi Besi. Dengan penuh kasih sayang, kedelapan bersaudara tersebut merawat dan membesarkan bayi dan ayam jantan itu hingga dewasa.

Sementara itu, istri Suman juga melahirkan delapan orang anak, enam laki-laki dan dua perempuan. Mereka adalah:
▪︎Kemunduk Bengkong,
▪︎Kemunduk Kandangan,
▪︎Kemunduk Murung,
▪︎Kemunduk Jumai,
▪︎Kemunduk Jangkak,
▪︎Kemunduk Mandar,
▪︎Kemunduk Bulan, dan
▪︎Kemunduk Beran.

Kini, kedelapan putra-putri Suman tersebut juga sudah beranjak dewasa. Sehari-hari mereka mencari kayu bakar di hutan dan menangkap ikan di Sungai Mahakam.

Suatu hari, kedelapan bersaudara itu baru saja pulang dari hutan mencari kayu bakar. Hari itu, mereka tidak hanya membawa kayu bakar, tetapi juga bambu petung untuk digunakan sebagai lantai rumah. Ketika mereka sedang asyik melepas lelah di depan rumah, tiba-tiba terdengar suara letusan keras disusul suara tangis seorang bayi beberapa saat setelahnya. Kedelapan bersaudara itu pun langsung terperanjat dari tempatnya. “Hai, suara apa itu?” tanya Kemunduk Kandangan.

“Sepertinya suara letusan itu berasal dari tumpukan kayu bakar yang kita bawa tadi,” sahut Kemunduk Mandar.

“Kalau begitu, ayo kita periksa!” seru Kemunduk Bengkong.

Setelah memeriksa sumber suara letusan tersebut, ternyata bambu betung yang dibawa oleh Kemunduk Bengkong tadi meledak dan mengeluarkan seorang bayi perempuan yang mungil dan cantik rupawan. Bayi itu tergeletak di atas puing-puing bambu petung yang meledak tadi.

“Hai, lihat!” seru Kemunduk Jangkak,

“Di tangan bayi itu tergenggam sebutir telur ayam."

Kemunduk Bengkong pun segera mengambil telur ayam itu lalu menggendong sang bayi. 
Oleh kedelapan bersaudara tersebut, bayi itu diberi nama Mook Manoor Bulaatn yang artinya
“putri menerangi negeri”. Sementara itu, telur ayam itu mereka letakkan di tempat yang aman.

Tak berapa lama kemudian, telur itu menetas menjadi seekor anak ayam betina. Sama halnya kedelapan anak Goh Bogatn, Kemunduk Bengkong berserta saudara-saudaranya merawat dan membesarkan bayi dan anak ayam tersebut hingga dewasa. Putri Mook Manoor Bulaatn tumbuh menjadi seorang gadis yang cerdas dan bijaksana. Tak mengherankan jika ia diangkat menjadi ratu di sebuah negeri yang bernama Tanah Tunjung. Sejak itu, Ratu Negeri Tunjung itu kerap melakukan kunjungan ke negeri-negeri tetangga, termasuk Negeri Linggang. Suatu hari, Ratu Mook Manoor Bulaatn mendengar kabar bahwa di Negeri Linggang ada seekor ayam jantan yang berbulu putih, berjambul, dan berjambing. Ayam jantan itu tak lain adalah si Jong Perak Kemudi Besi milik Aji Tulur Jangkat. Sang ratu sangat tertarik ingin membeli ayam jantan itu untuk dijadikan sebagai pasangan ayam betinanya. Ia pun mengajak Kemunduk Bengkong bersaudara untuk mengunjungi negeri itu. Keesokan hari, Ratu Mook Manoor Bulaatn beserta rombongannya berangkat menuju ke Negeri Linggang dengan menggunakan sepuluh perahu.

Rupanya, pada saat yang bersamaan, Aji Tulur Jejangkat beserta Sengkereaaq Egas bersaudara juga melakukan perjalanan menuju ke Negeri Londong dengan membawa sepuluh perahu. Akhirnya, kedua rombongan tersebut bertemu di Sendawar dan mereka pun bersepakat untuk berhenti di Sendawar. Saat kedua rombongan saling berhadapan, kedua ayam yang ada pada masing-masing rombongan itu saling menyahut. Hal itu pertanda bahwa kedua ayam tersebut saling menyukai. Tidak hanya itu, kedua pemilik ayam tersebut, yaitu Aji Tulur Jangkat dan Mook Manoor Bulaatn ternyata juga saling jatuh hati.

"Kakanda bernama Sanghiyang Geragas Pati, anak Raja Sanghiyang Nata Dewi Kencana Peri dari Negeri Bukit Karangan Sari,” kata Mook Manoor Bulaatn Bulan kepada Aji Tulur Jangkat.

"Dan Nama Adinda pastilah Putri Ringsa Bunga, anak Sanghiyang Naga Salik dengan Bunda Dewi Randayan Bunga dari Negeri Gunung Asmara Cinta,” sahut Aji Tulur Jangkat membalas.

Rupanya, pemuda tampan dan gadis cantik jelita yang berasal dari Negeri Kahyangan itu ternyata sudah saling mengenal satu sama lain. Oleh karena merasa cocok dan sudah saling mengenal asal-usul masing-masing, akhirnya Aji Tulur Jangkat dan Mook Manoor Bulaatn menikah dan setelah itu mereka menetap di Sendawar. Aji Tulur Jangkat dan Mook Manoor Bulaatn kemudian membuat rumah panjang yang terbuat dari kayu benggeris. Rumah panjang itu diberi nama Lamin.

Setelah beberapa tahun kemudian, Aji Tulur Jangkat dan Mook Manoor Bulaatn dikaruniai Empat orang anak laki-laki. Mereka adalah:
  • Swalas Gunaq,
  • Jelivaan Benaaq,
  • Naras Gunaq, dan
  • Punca Karnaq.
(Dalam versi orang Kutai, anak Aji Tulur Jejangkat ada 5, selain yang tersebut di atas, Tantan Gunaaq) Dalam asuhan kedua orang tua dengan penuh kasih sayang, mereka pun tumbuh dewasa. Dan setelah beberapa ratus tahun kemudian, mereka akan menjadi cikal-bakal masyarakat Dayak yang akan mendiami Kalimantan Timur.
SELESAI

close