Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tragedi Perang Bubat & Mitos Orang Jawa Dilarang Menikah Dengan Orang Sunda

KompasNusantara - Pernahkah anda mendengar bahwa orang Sunda dilarang menikah dengan orang Jawa atau sebaliknya? Ternyata hal itu hingga ini masih dipercaya oleh sebagian masyarakat kita. Lalu apa sebabnya?
Mitos tersebut hingga kini masih dipegang teguh beberapa gelintir orang. Tidak bahagia, melarat, tidak langgeng dan hal yang tidak baik bakal menimpa orang yang melanggar mitos tersebut.

Lalu mengapa orang Sunda dan Jawa dilarang menikah dan membina rumah tangga. Tidak ada literatur yang menuliskan tentang asal muasal mitos larang perkawinan itu. Namun mitos itu diduga akibat dari tragedi perang Bubat.

Tragedi Bubat merupakan salah satu episode sejarah sangat penting, berkesan, menguras emosi, dan menjadi bagian dari sejarah tatar Sunda.

Kisah ini, selain berisi peristiwa tragis yang menyisakan luka teramat dalam sejarah Sunda, sekaligus juga mengakhiri karier gemilang dari seorang Mahapatih Kerajaan Majapahit yang monumental, Gajah Mada.

Dari berbagai versi yang muncul tentang tragedi ini, versi yang paling banyak diceritakan dalam berbagai naskah dan karya sastra hingga saat ini.

Tragedi Bubat adalah tragedi yang tragis antara Kerajaan Galuh dan Kerajaaan Majapahit pada pertengahan abad ke-14. Tapi ada yang menyebut peristiwa itu terjadi pada tahun 1350, 1357, hingga 1360. Yang jelas, peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Prabu Maharaja Linggabuana yang bertahta di Kerajaan Galuh dan Prabu Hayam Wuruk yang berkuasa di Kerajaan Majapahit. Tokoh sentral dalam peristiwa ini, yaitu Dyah Pitaloka (putri cantik Kerajaan Galuh), Hayam Wuruk, dan Gajah Mada sang Mahapatih Majapahit. Gajah Mada saat itu sedang gencar-gencarnya mewujudkan sumpahnya sendiri, Sumpah Palapa.

Diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin mempersunting Putri Dyah Pitaloka yang juga dikenal dengan panggilan Citraresmi. Ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri cantik ini setelah melihat lukisan sang putri yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman terkenal saat itu, Sungging Prabangkara.

Selain itu, ada niat lain dari Hayam Wuruk, yakni untuk mempererat tali persaudaraan antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Galuh di tatar Sunda. Niat Prabu Hayam Wuruk untuk memperistri Dyah Pitaloka tanpa menimbulkan hambatan yang berarti. Keluarga Kerajaan Majapahit menyadari bahwa pendiri kerajaan itu, yakni Raden Wijaya, juga berasal dari tanah Sunda.

Hayam Wuruk mengirim surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka menghendaki upacara pernikahannya dilangsungkan di Keraton Majapahit. Sesungguhnya, dengan mudah dapat dipahami jika dewan kerajaan negeri Sunda keberatan bukan pada lamarannya, melainkan pada pesta pernikahan yang diminta dilangsungkan di Majapahit.

Hyang Bunisora Suradipati, sang Mangkubumi Kerajaan Galuh, berpendapat, tidak lazim pihak pengantin perempuan datang ke pihak pengantin lelaki. Sesuatu yang dianggap melanggar tradisi yang berlaku di tanah Sunda saat itu.

Hubungan antara Kerajaan Galuh dan Majapahit saat itu, sesungguhnya berjalan baik dan relatif erat. Apalagi, rasa persaudaraan di antara kedua kerajaan itu sudah ada dari garis leluhurnya.

Oleh karena itu, Maharaja Linggabuana tidak terlalu risau terhadap berbagai prasangka. Dengan kharisma dan wibawa sang raja yang sangat besar, ia memutus kan untuk berangkat ke Majapahit untuk memenuhi harapan Hayam Wuruk.

Berangkatlah Maharaja Linggabuana bersama putri kesayangannya, Dyah Pitaloka, beserta rombongan terbatas ke Majapahit. Perjalanan yang cukup jauh, dari ujung barat ke ujung timur Pulau Jawa, tentu bukan perkara mudah. Dari Kawali ke Cirebon, lalu berlayar ke ujung timur Pulau Jawa.

Tiba di Majapahit, para tamu agung Kerajaan Galuh itu ditempatkan di Pesanggrahan Bubat-yang sampai sekarang Bubat, masih dalam perdebatan, apakah di Trowulan atau di tempat lain.

Mahapatih Gajah Mada dengan senang hati menerima kedatangan rombongan calon pengantin rajanya-lepas dari kisah cinta rekaan Aan Merdeka Permana antara Gajah Mada ketika muda dan Dyah Pitaloka.

Kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat tiba-tiba mengusik niat licik Gajah Mada. Bagaimanapun, sumpahnya di hadapan sang Raja untuk menguasai nusantara harus terlaksana. Negara-negara yang berada jauh di ujung barat yang terbentang hingga Tumasik (Singapura) telah tunduk di bawah kekuasaannya.

Kerajaan-kerajaan yang terbentang jauh ke timur hingga Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara Barat, juga dengan mudah menyerah. Namun, mengapa Kerajaan Galuh yang hanya sepenggalan dari Kerajaan Majapahit tak dapat ditaklukkan? membayangkan kegalauan hati sang Mahapatih.

Demi mempertahankan kehormatan sebagai kesatria Sunda, Maharaja Linggabuana menolak tekanan itu. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Terjadilah peperangan yang tidak seimbang.

Mahapatih Gajah Mada dengan pasukan bersenjata lengkap, berjumlah besar, dan para bhayangkara yang tangguh, berhadapan dengan Maharaja Linggabuana dengan pasukan pengiring calon pengantin yang berjumlah sedikit dan tidak membawa persenjataan untuk perang, kecuali aksesori untuk kawinan. Namun, heroisme Ki Sunda ditunjukkan hingga titik darah penghabisan.

Pertempuran yang tidak seimbang itu tentu berakhir dengan tragis. Denting pedang, keris, dan kujang, serta romantisme cinta dan tragedi dramatis menghiasi episode senja di tanah Bubat itu. Maharaja Linggabuana gugur bersama para menteri dan pejabat kerajaannya yang setia.

Calon pengantin, Dyah Pitaloka menemui ajalnya. Namun ada berbagai versi tentang wafatnya Dyah Pitaloka. Ada yang menyebut gugur bertempur dengan pasukan Majapahit, ada yang lebih tragis menggambarkannya bunuh diri, mempertahankan harga diri dan kehormatan kerajaan.

Lebih heroik, Dyah Pytaloka berduel dengan Gajah Mada meskipun akhirnya gugur. Sang putri berhasil melukai tubuh Gajah Mada dengan keris Singa Barong berlekuk 13.

Keris leluhur Pasundan peninggalan pendiri Kerajaan Tarumanegara yang bernama Prabu Jayasinga Warman. Syahdan, akibat luka itu, Gajah Mada menderita sakit yang tidak bisa disembuhkan hingga meninggal dunia.

Fakta terjadi, bukan perang antara pasukan dua kerajaan besar, melainkan tragedi antara sekelompok pengiring pengantin yang terlibat kesalahpahaman dan Mahapahatih Kerajaan Majapahit!.

Akibatnya larangan adat, Esti larangan ti kaluaran (tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda). Dalam arti lain, dilarang menikah dengan orang Jawa. Bahkan, sejak 64 tahun merdeka, di tanah Sunda tidak ditemukan Jalan Hayam Wuruk dan Gajah Mada.

close