SUKU BIAJU, NGAJU & DAYAK NGAJU
KompasNusantara - Orang Dayak Ngaju yang kita kenal sekarang, dalam literatur-literatur pada masa-masa awal disebut dengan Biaju. Dalam literatur Melayu yaitu Hikajat Banjar, yang ditulis pada masa-masa awal kesultanan Islam Banjarmasin yaitu sekitar pertengahan abad 16 (Ras 1968: 196, Hall 1995: 489) terminologi Biaju dipakai untuk menyebut nama sekelompok masyarakat, sungai, wilayah dan pola hidup (Ras 1968: 336). Sungai Kahayan dan Kapuas sekarang ini disebut dengan nama sungai Biaju yaitu Batang Biaju Basar, dan Batang Biaju Kecil. Orang yang mendiaminya disebut Orang Biaju Basar dan Orang Biaju Kacil. Sedangkan sungai Murong (Kapuas-Murong) sekarang ini disebut dengan nama Batang Petak (lihat Ras 1968: 314). Pulau Petak yang merupakan tempat tinggal orang Ngaju disebut Biaju (Ras 1968: 408, 449).
Terminologi Biaju tidaklah berasal dari orang Dayak Ngaju tetapi berasal dari bahasa orang Bakumpai yang secara ontologis merupakan bentuk kolokial dari bi dan aju, yang artinya ”dari hulu” atau ”dari udik”. Karena itu, di wilayah aliran sungai Barito, dimana banyak orang Bakumpai, orang Dayak Ngaju disebut dengan Biaju (lihat Schärer 1963: 1), yang artinya orang yang berdiam di dan dari bagian hulu sungai (Riwut 1958: 208). Di kemudian hari, istilah ini dipungut begitu saja oleh orang Melayu Banjar untuk menyebut semua orang pedalaman hulu sungai yang tidak beragama Islam. Istilah ini kemudian diperkenalkan kepada para pedagang dari Cina, Inggris, Portugis yang berlabuh di pelabuhan Banjarmasin. Karena itu dalam catatan pelayaran para pedagang Cina, Portugis dan Inggris dapat ditemukan kata Biaju yang merujuk pada suku di pedalaman yang bukan orang Banjar dan tidak beragama Islam (Groeneveldt 1880, Beckman 1718).
Catatan di atas geladak kapal dan bersumber dari mulut penutur asing itu tentulah bias dan sangatlah berbeda dari catatan seseorang yang bertemu langsung dengan orang Dayak Ngaju. Antonio Ventimiglia, seorang pastor kebangsaan Portugis, yang diam, tinggal dan hidup bertahun-tahun di tengah orang Dayak Ngaju, memakai kata Ngaju dan tidak Biaju. Ketika berkirim surat ia melaporkan bahwa ia tinggal di satu wilayah yang bernama Rio Ngaju atau Sungai Ngaju (Ferro [1690]1705 via Baier 2002, Demarteau 2006: 4).
Pada masa awal, pemerintah kolonial Belanda di Banjarmasin juga memungut istilah Biaju begitu saja dan memakainya sebagai istilah teknis dalam tata administrasi kependudukan dan laporan-laporan. Karena itu dalam literaturliteratur dan arsip-arsip Belanda sebelum abad 19, istilah Biaju dipakai sebagai istilah generik atau kolektif. Biaju dipakai dalam pengertian Dayak secara umum, yang dipukul rata sebagai Ngaju, karena itu kata Ngaju, dalam literatur-literatur tersebut, juga bisa berarti orang Ma’anyan dan Bukit (Ave 1972:185). Generalisasi semacam ini tampak dari pembagian suku yang dipakai oleh Tjilik Riwut (1958). Karena memakai sumber-sumber sebelum Perang Dunia Kedua yang memang cenderung pada generalisasi (1958: 190, bdk. Nila Riwut 2003: 64- 65), ia memasukkan suku Dayak Ma’anyan, Lawangan dan Dusun sebagai bagian dari Dayak Ngaju. Bahkan orang Dayak Meratus [yang terdapat di Tapin, Amandit, Labuan Amas, Alai, Pitap dan Balangan], Dayak Pasir yang terdapat di Kalimantan Timur, orang Dayak Tumon di sungai Lamandau, Batang Kawa dan Bulik, juga dimasukkannya sebagai bagian dari suku Dayak Ngaju. (1958: 184, bdk. 2003: 63). Tentu saja fakta empirik tidaklah demikian, orang Dayak Ma’anyan bukanlah orang Dayak Ngaju, begitu juga dengan orang Dayak Tumon. Ketika melakukan penelitian saya berjumpa dengan beberapa orang Dayak Ma’aanyan dan Dayak Tumon yang keberatan dan memprotes generalisasi ini.
Para missionaris Jerman yang bertahun-tahun tinggal dan hidup di tengah-tengah orang Ngaju, juga tidak memakai istilah Biaju tetapi oloh Ngaju. Merekalah yang kemudian mengintrodusir sebutan Ngaju atau oloh Ngaju. Hal itu dilakukan berdasarkan temuan mereka bahwa: pertama kata Biaju atau Bijaju bukanlah berasal dari orang Ngaju sendiri, tetapi dari orang luar, kedua orang Ngaju tidak menyebut dirinya Biaju tetapi mereka menyebut dirinya oloh Ngaju (Becker, 1849: 28). Kata “Ngaju” (ditulis dengan n kapital) dipakai sebagai kata benda bukan sebagai kata keterangan tempat atau kata sifat (yang ditulis tidak dengan n kapital). Schwanner (1853) memakai kata “orang Ngaju” untuk menyebut orang Dayak Ngaju.
Kata ”Dayak”, yang dikemudian hari menjadi prefiks kata “Ngaju” sehingga menjadi “Dayak Ngaju”, pertama kali muncul pada tahun 1757 dalam tulisan J. D. van Hohendorff yang berjudul “Radicale Beschrijving van Banjermassing” yang dipakai untuk menyebut “orang-orang liar di pegunungan” (1862: 188). Tampaknya, kata ini dipungutnya begitu saja dari cara orang-orang
pantai menyebut orang pedalaman.
J. A. Crawfurd dalam bukunya yang berjudul “A Decriptive Dictionary of The Indian Islands and Adjacent Cauntries”(1856: 127) menyatakan bahwa istilah “Dyak” digunakan oleh orang-orang Melayu untuk menunjukan “ras liar” yang tinggal di Sumatra, Sulawesi dan terutama di Kalimantan. Beberapa penulis menyatakan istilah Dayak kemungkinan berasal dari bahasa Melayu “aja” yang artinya penduduk pedalaman (boven beteekent) atau penduduk asli (native) Adriani 1912: 2, Schärer 1946/1963:1, King 1993:30). Penamaan ini terus dipakai hingga kini seperti yang dilaporkan oleh Tania Li (2000: 25) bahwa pada masa kini dalam administrasi resmi pemerintahan di Sulawesi tetap menggunakan kata Dayak untuk menyebut suku-suku terasing-terkebelakang yang ada di wilayah pemerintahan mereka.
Sama seperti menggunakan kata Biaju, orang-orang Melayu pendatang menggunakan istilah Dayak secara general untuk menyebut penduduk pulau Kalimantan yang tidak beragama Islam Dikemudian hari, dikotomi etnis berdasarkan paham religius yang berasal dari orang Melayu ini dipakai begitu saja oleh pemerintah Kolonial Belanda untuk kepentingan administrasi kependudukan, yaitu penduduk non muslim (Kristen atau Kaharingan) dikategorikan sebagai suku Dayak dan penduduk Muslim disebutnya sebagai suku Banjar (Mallinckrodt, 1928: I, 9).
Di kalangan masyarakat Dayak Ngaju sendiri, pada mulanya kata “Dayak” sama sekali bukanlah nama etnis. Hardeland dalam kamus Dayak Ngaju-Jerman (1858) sama sekali tidak ada menyebutkan bahwa kata “Dayak” berarti “Suku bangsa di Kalimantan” seperti yang tercantum dalam kamus Dayak Ngaju- Indonesia pada masa kini (Bingan-Ibrahim, 1996: 56). Ia hanya memakai kata Dayak atau Dajacksch dalam artian nama etnis pada bagian judul saja. Judul kamusnya yang tersohor itu: Dajacksch-Deutsches Wörterbuch, dikritik oleh Schärer ([1946] 1963:1-2) sebagai tidak tepat dan menyesatkan, karena kamus itu hanya memuat perbendaharaan kata-kata dari satu kelompok Dayak tertentu saja, yakni Dayak Ngaju. Karena bagi Schärer, kata “Dayak” adalah istilah umum atau nama generik untuk menyebut semua penduduk asli pulau Kalimantan yang beragama Kristen dan Pagan (Kaharingan) tanpa melihat perbedaan adat-istiadat dan bahasa. Walaupun demikian, menurut Ukur (1971:32), Hardeland adalah orang yang pertama mengintrodusir pemakaian kata “Dayak” dalam artian positif yaitu untuk menandai suku-suku asli yang mendiami pulau Kalimantan, dimana sebelumnya kata “Dayak” dipergunakan sebagai kata ejekan atau hinaan.
Dalam kamus Dayak Ngaju-Jerman yang disusun oleh August Hardeland terdapat kata dadayak, hadayak, kadayadayak, baradayak (Hardeland, 1858: 83). Anak kecil yang berjalan tertatih-tatih, agak limbung dan sempoyongan karena baru berjalan berjalan disebut dadayak atau hadayak. Orang dewasa yang berpostur tubuh gemuk-pendek, yang berjalan agak limbung dan sempoyongan karena tubuh yang kegemukan dan kaki yang pendek, juga disebut dadayak atau hadayak. Untuk orang dewasa yang berpostur tubuh tinggi, kalau berjalan agak limbung dan sempoyongan disebut kuhak-kahik yang artinya goyah meliuk-liuk. Seorang dewasa, walapun tidak bertubuh gemuk pendek namun masih berjalan tertatih-tatih seperti anak kecil yang baru belajar berjalan disebut kadaya-dayak. Untuk sekelompok orang atau banyak orang yang berjalan limbung atau sempoyongan, misalnya karena baru turun dari perahu atau kapal motor, disebut bara dayak.
M.T.H. Perelaer (1870), mencoba menerangkan bahwa gaya berjalan agak limbung dan sempoyongan itu karena kaki orang Dayak umumnya berbentuk busur (huruf O) dan karena orang Dayak seumur hidupnya banyak duduk bersila di perahu, karena itu kalau berjalan jadi tertatih-tatih atau limbung. Namun pendapat Perelaer itu disanggah oleh Maxwell (1983) dengan mengatakan bahwa orang Dayak tidak selama hidupnya duduk bersila di perahu yang kecil, mereka juga mempunyai perahu yang besar yang memungkinkan mereka berdiri dan tidak duduk bersila terus-menerus. Apa yang dikatakan oleh Perelaer ada benarnya bila mengingat pada zaman dulu orang Dayak bila bepergian ke kampung lain dengan naik perahu dalam waktu yang cukup lama, bisa setengah atau satu harian penuh. Kaki bisa kesemutan karena duduk terlalu lama, sehingga ketika tiba di tempat tujuan, untuk sementara waktu berjalan menjadi tidak normal, agak sempoyongan, limbung dan tertatih-tatih seperti anak kecil yang baru belajar berjalan. Hal itulah yang diamati oleh Perelaer sewaktu menjadi Komandan Benteng Belanda di Kuala Kapuas. Namun menurut Becker, tidak ada dasar atau alasan untuk
menyatakan bahwa kata “Dayak” berasal dari kata dadayak yang adalah bahasa orang Ngaju, karena kata Dayak bukanlah berasal dari orang Dayak sendiri tetapi dari orang yang bukan Dayak (1849: 28).
Hardeland (1858: 87) juga mencatat ada jenis tanaman padi yang bernama parei Dayak (padi Dayak) yaitu padi yang batangnya pendek namun berdiameter besar/gemuk. Dalam pengamatan saya, kenapa padi ini disebut padi Dayak, tidak hanya batang padinya yang pendek dan gemuk, tetapi juga bentuk bulir padinya berbentuk pendek dan gemuk. Pada pertengahan abad ke-18 (sekitar 1761-1794) dalam surat-menyurat para pedagang Belanda di Banjarmasin disebutkan tentang komoditas rotan yang berasal dari wilayah orang Dayak yang disebut dengan nama rotan Dayak, rotan Biadjoe, dan rotan Dusun (Knappen, 2001: 355).
Pada masa kini, terutama di pedesaan, masih ditemukan pemakaian kata dadayak. Ternyata, kata ini tidak hanya ditujukan untuk manusia tetapi juga untuk seekor ayam. Seorang petani Dayak Ngaju yang memelihara banyak ayam kampung, suatu ketika menunjukkan kepada saya ayam peliharaannya dan berkata “Lihat ayam itu kalau berjalan dadayak”. Ayam yang ditunjuknya memang gemuk dan berkaki pendek sehingga kalau berjalan agak limbung karena menyandang berat badannya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa baik pemberian nama Biaju maupun Dayak sangatlah bersifat eksonem artinya diberi atau penamaan oleh orang luar. Pertama-tama oleh orang Melayu untuk menyebutkan penduduk asli pulau Kalimantan yang tidak beragama Islam. Kemudian penamaan ini diambil begitu saja oleh pemerintah kolonial Belanda. Karena itu, pada tahap awal orang Ngaju tidak menyebut dirinya Dayak, bahkan tidak merasa bahwa dirinya adalah orang Dayak. Mereka hanya tahu bahwa sebutan itu muncul dari mulut orang luar atau para pendatang yang dipakai untuk merendahkan atau menghina diri mereka.
Bila bertemu dengan orang luar, mereka lebih senang mengidentifikasi diri berdasarkan nama sungai-sungai dimana kampung atau tanah kelahiran mereka berada, misalnya oloh Katingan (orang dari daerah aliran sungai Katingan), oloh Kahayan (orang dari daerah aliran sungai Kahayan), oloh Kapuas (orang dari daerah aliran sungai Kapuas)atau oloh Barito (orang dari daerah aliran sungai Barito). Dayak artinya sama dengan orang buas, tidak beradab, biadab, liar, kejam, primitif, pemenggal kepala, tidak beragama, pemakan daging manusia (kanibal), bodoh, dan berekor seperti monyet dst..
Pada awal abad 20, ketika semangat nasionalisme berhembus kuat di kepulauan nusantara yang ditandai dengan kebangkitan rasa kebangsaan. Kelompok terdidik Dayak, yang pada waktu itu sudah menduduki beberapa posisi di pemerintahan Belanda, tidak luput dari semangat ini. Mereka dengan sadar mengadopsi kata Dayak dan membangun kebanggaan diri menjadi orang Dayak. Pada tahun 1919 mereka mendirikan satu organisasi sosial politik berbasis etnis yang bernama Pakat Dayak atau Sarekat Dayak. Sejak saat itu, nama Dayak dipakai oleh orang Dayak sendiri sebagai nama generik untuk mempersatukan semua suku-suku di Kalimantan yang bukan Melayu atau Banjar. Identitas Dayak dipakai untuk memperjuangkan hak-hak sosial-politik, dibawa masuk ke pentas perjuangan politik nasional, sejajar dengan identitas lain. Sebelum Perang Dunia Kedua, sudah tampak ada sepuluh organisasi yang memakai nama Dayak yaitu:
1. Pakat Dayak atau Sarekat Dayak, berdiri tahun 1919 oleh Hausmann Baboe
2. Koperasi Dayak, berdiri tahun 1920 oleh Lui Kamis
3. Hollandsch Dayaksche School, berdiri tahun 1924 oleh Aktivist Pakat Dayak
4. Pakat Guru Kristen Dayak, berdiri tahun 1926 oleh Hendrik Sima Binti
5. Jong Dajak, berdiri tahun 1933 oleh A.R. Tahat & J. Lampe
6. Gereja Dayak Evangelis, berdiri tahun 1935 oleh Zending Basel
7. Comite Kesedaran Bangsa Dajak, berdiri tahun 1938 oleh Mahir Mahar
8. Kaoem Wanita Dayak,, berdiri tahun c.1938 oleh Bahara Nyangkal
9. Kepandoean Bangsa Dajak, berdiri tahun c.1938
10. Christelijk Hollandsch Dayaksche School, berdiri tahun c. 1940 oleh B. Sandan
Untuk membedakan diri dari suku-suku Dayak lainnya, misalnya Ma’anyan, Dusun, Lawangan, atau Ot Danum maka kata Dayak dijadikan prefiks, sehingga menjadi Dayak Ngaju. Begitu juga dengan suku-suku lain, sehingga muncullah Dayak Ma’anyan, Dayak Dusun, dst.. Dengan demikian muncul penamaan baru yaitu Dayak Ngaju. Identitas ini dipakai hingga kini, jikalau kita bertanya, “Apakah kamu orang Dayak ?”, maka jawabannya adalah “Ya saya Dayak, yaitu Dayak Ngaju”. Jawaban lainnya adalah,”Saya Dayak Ngaju dari sungai Kapuas”. Terminologi Dayak Ngaju telah diadopsi, dipakai dalam kehidupan sehari-hari oleh orang Ngaju.