Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KISAH PEMUDA YANG DATANG MENEPATI JANJI UNTUK MENDAPAT HUKUMAN MATI DARI SANG KHALIFAH


KompasNusantara - Suatu hari Umar bin Khattab Radhiyallahu'anhu sedang duduk di bawah sebatang pohon kurma. Ia berbincang-bincang bersama para sahabat. Tiba-tiba pembicaraan mereka terjeda. Dua orang pemuda berwajah mirip datang kepada Umar dengan membawa seorang pemuda belia.

Umar bangkit dan merasa kebingungan dengan sikap dua orang pemuda itu. Kemudian kedua pemuda itu menegaskan bahwa pria belia yang mereka bawa ini adalah pembunuh ayah mereka. Mereka siap mendatangkan saksi dan bahkan menyatakan bahwa si pelaku ini telah mengaku.

Kemudian pemuda belia itu menceritakan kepada Umar bahwa ia adalah seorang pemuda yang datang dari negri yang jauh. Saat tiba di kota ini ia menambatkan kudanya di sebuah kebun milik kedua pemuda berwajah mirip itu. Ia meninggalkan kudanya sejenak untuk mengurus sesuatu. Tanpa sepengetahuan pemuda itu, kudanya telah memakan sebagian tanaman yang ada di kebun.

Kemudian saat pria belia itu kembali ia melihat seorang lelaki tua sedang memukul kepala kudanya dengan batu hingga kuda itu tewas mengenaskan. Melihat kejadian itu sang pemuda dibakar amarah dan segera menghunuskan pedang ke tubuh lelaki tua itu. Ia baru mengetahui bahwa lelaki tua itu adalah ayah dari dua orang pemilik kebun. Pemuda belia itu memohon ampun dan mengakui kesalahannya.

“Wahai Amirul Mukminin, tegakkanlah hukum Allah, kami meminta qishash atas orang ini. Jiwa dibayar dengan jiwa,” ujar salah satu dari kedua kakak beradik itu.

Melihat pria yang tertuduh itu membuat Umar iba. Usianya masih sangat muda. Pantas saja dia mudah dibakar hawa nafsu. Tapi sangat jelas bahwa wajahnya sangat teduh. Akhlaknya santun. Gurat-gurat sesal tampak jelas membayang di air mukanya.

“Aku ridha hukum Allah ditegakkan atasku, wahai Amirul Mukminin,” kata si belia dengan yakin. “Namun ada yang menghalangiku untuk sementara ini. Ada amanah dari kaumku atas beberapa benda maupun perkara yang harus aku sampaikan kembali pada mereka. Demikian juga keluargaku. Hasil dari jerih payah perjalananku ini harus ku serahkan pada mereka sembari berpamitan memohon ridha dan keampunan ayah ibuku.”

Pemuda itu meminta waktu 3 hari untuk kembali ke rumah menyelesaikan segala amanahnya. Kemudian ia akan kembali lagi untuk menerima hukuman dari kedua kakak beradik pemilik kebun.

“Adakah orang yang dapat menjaminmu?” tanya Umar.

“Aku tak memiliki seorang pun yang ku kenal di kota ini hingga dia bisa kuminta menjadi penjaminku. Aku tak memiliki seorang penjamin kecuali Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Meliha,” ujar pemuda belia itu.

Tiba-tiba terdengar suara Salman Al Farisi yang berat dan berwibawa menyela. Ia tampil mengajukan diri. 
“Wahai Amirul Mukminin, jadikan aku penjamin anak muda ini dan biarkanlah dia menunaikan amanahnya!”

Singkat cerita, waktu tiga hari yang diberikan untuk sang terhukum nyaris habis. Umar gelisah tak karuan. Dia mondar-mondir sementara Salman duduk di dekatnya dengan khusyuk. Salman tampak begitu tenang padahal jiwanya di ujung tanduk. Seadainya pemuda itu tidak datang, maka dirinyalah selaku penjamin yang akan menerima qishah.

Waktu terus merambat. Pemuda itu masih belum muncul. Para sahabat berkumpul menemui Umar dan Salman. Mereka keberatan jika Salman harus dibunuh sebagai badal.

Beberapa saat menjelang habisnya waktu, tampak seseorang datang dengan tertatih-tatih dan terseok. Dia sang pemuda terpidana itu. Sambil menyeka keringat yang mengucur di seluruh tubuhnya pemuda itu meminta maaf karena datang hampir terlambat.

“Urusan dengan kaumku itu ternyata berbelit-belit dan rumit sementara untaku tak sempat beristirahat. Ia kelelahan nyaris sekarat dan terpaksa kutinggalkan ditengah jalan. Aku harus berlari-lari untuk sampai kemari sehingga nyaris terlambat.”

Dengan mata berkaca-mata Umar bertanya kepada lelaki itu,
“Mengapa engkau datang kembali padahal bagimu ada kesempatan untuk lari dan tak harus menanggung qishah?”

Sambil tersenyum ikhlas pemuda itu berkata,
“Sungguh jangan sampai orang mengatakan, tak ada lagi orang yang tepat janji. Dan jangan sampai ada yang mengatakan, tak ada lagi kejujuran di hati kalangan kaum Muslimin.”

“Dan kau Salman,” kata Umar bergetar, “Untuk apa kau susah-susah menjadikan dirimu penanggung kesalahan orang lain yang tak kau kenal sama sekali? Bagaimana kau mempercayainya?”

“Sungguh, jangan sampai orang bicara, bahwa tak ada lagi orang yang mau saling membagi beban dengan saudaranya. Atau jangan sampai ada yang merasa, tak ada lagi rasa saling percaya diantara orang-orang Muslim,” ujar Salman.

Kakak beradik penggugat tiba-tiba menyeruak,
“Kami memutuskan untuk memaafkannya, kami melihat bahwa ia adalah pemuda yang berbudi dan tepat janji. Dia telah menyesal dan beristighfar kepada Allah atas dosanya. Kami memaafkannya,” ujar kakak beradik itu.

“Agar jangan sampai ada yang mengatakan, bahwa dikalangan kaum muslimin tak ada lagi kemaafan, pengampunan, iba hati dan kasih sayang,” tambahnya.

Pemuda terhukum itu sujud syukur. Salman tak ketinggalan menyungkurkan wajahnya ke arah kiblat mengagungkan Asma Allah.

Dari kisah ini kita belajar bahwa sebuah persaudaraan yang dibangun atas iman kepada Allah, harus ditopang oleh rasa saling percaya diantara sesama insan beriman.

Sumber: Buku Dalam Dekapan Ukhuwah Karya Salim A. Fillah

close