Kisah Sahabat Rasulallah dan Kaum Muslimin HIjrah Ke Habasyah
KompasNusantara - Ketika tekanan terhadap Islam meningkat di Makkah, Nabi Muhammad SAW memerintahkan sekelompok sahabatnya untuk hijrah ke Habasyah (Ethiopia). Sementara, kaum kafir Quraisy berusaha membuntuti rombongan ini guna menggagalkan misi tersebut.
Setibanya di tempat tujuan, mereka pun diterima Raja Najasi, dalam suatu majelis kerajaan penuh keagungan. Tidak seperti tamu-tamu lainnya, kaum Muslimin memasuki majelis kerajaan tanpa mengikuti kebiasaan rakyat setempat: menunduk dan bersujud di hadapan raja yang beragama Kristen itu.
Melihat kesempatan ini, pihak kafir Quraisy yang juga hadir berusaha menjatuhkan posisi kaum Muslimin di hadapan Raja Najasi. Namun, juru bicara kaum Muslimin yang juga sepupu Rasulullah SAW, Ja'far bin Abi Thalib, tampil menjelaskan.
"Agama kami tidak membenarkan bersujud di hadapan selain Allah SWT," jawab Ja'far, pemuda tampan yang juga kakak dari Ali bin Abi Thalib. Rupanya penjelasan ini dapat diterima raja hingga akhirnya kaum Muslimin cukup lama tinggal di Habasyah.
Islam sangat menekankan umatnya untuk menjaga harga diri mereka dan melarang penghambaan manusia kepada manusia. Ini diteladani Nabi Muhammad SAW yang tak menyukai dirinya dibesar-besarkan secara berlebih-lebihan oleh sahabatnya.
Pernah beliau berkata, "Kalau aku datang, janganlah kalian bangkit berdiri menghormati kedatanganku seperti orang-orang ajam."
Di saat lain beliau berkata, "Janganlah kalian mengagung-agungkan daku seperti orang Nasrani mengagung-agungkan Isa bin Maryam."
Waktu Makkah menyerah kepada umat Muslim, seorang Badui menggigil ketakutan ketika berhadapan dengan Rasulullah SAW. Melihat hal ini beliau berucap, "Anda tak usah gemetar. Aku ini seorang dari suku Quraisy. Makanan ibunya roti kering."
Islam menginginkan umatnya untuk hanya takut kepada Allah SWT, dan memuji orang-orang yang berperilaku demikian. "Dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut." (QS Al-Baqarah [2]: 40).
Sesungguhnya Islam mendorong rasa takut kepada Allah SWT dan menyeru kepada-Nya karena yang demikian punya pengaruh dan akibat yang baik dalam kehidupan individu dan jamaah. Adapun takut kepada manusia, maka ia dicela dan dilarang oleh Islam, karena hal itu mencegah manusia berterus terang dengan kebenaran, menghalangi dirinya dari upaya mengubah kemungkaran.
Juga, menjadikan individu sebagai manusia yang plin-plan dan tak bermutu, tidak dapat diharapkan kebaikannya dan tak dapat diamankan dari kejahatannya. "Dan kamu takut kepada manusia. sedang Allah-lah yang lebih berhak kamu takuti." (QS Al-Ahzab [33]: 37).