Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SYEKH HAJI ABDUL MUHYI PAMIJAHAN TASIKMALAYA


KompasNusantara - Nama Syeikh/Syekh Abdul Muhyi tak asing lagi bagi para warga di Pamijahan Tasikmalaya, karena sosoknya, Beliau diyakini sebagai salah seorang Wali Allah yang memiliki segudang karomah.

Syekh Haji Abdul Muhyi, Mataram, Lombok, 1071 H/1650 dan Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya, Jawa Barat 1151 H/1730 M.
Beliau adalah seorang ulama tarekat Syattariah, penyebar agama Islam di Jawa Barat bagian selatan. Karena dipandang sebagai waliyullah, maqamnya di Pamijahan di keramatkan orang.

Abdul Muhyi datang dari keturunan keluarga bangsawan. Ayahnya, Sembah Lebe Warta Kusumah, adalah keturunan raja Galuh (Pajajaran) yang waktu itu bagian dari Kerajaan Mataram Jawa. Ibunya bernama Raden Ajeng Tangan Ziah, keturunan bangsawan Mataram yang berjalur sampai ke Syekh Ainul Yaqin (Sunan Giri I).

Ketika masih anak-anak, Abdul Muhyi telah belajar pendidikan agama Islam pertama kali diterimanya dari ayahnya sendiri dan kemudian dari para ulama yang berada di Ampel Denta untuk mendaras berbagai disiplin keilmuan pesantren. Pada tahun 1669 M, dalam usia 19 tahun, ia berangkat ke Kuala, Aceh, untuk melanjutkan pendidikannya dan berguru pada Tengku Syiah Kuala atau Syekh Abdur Ra’uf as-Singkili, seorang ulama sufi dan guru tarekat Syattariah. Syekh Abdur Rauf as-Singkil adalah ulama Aceh yang berupaya mendamaikan ajaran martabat alam tujuh yang dikenal di Aceh sebagai paham Wahdatul Wujud atau Wujudiyyah (panteisme dalam Islam) dengan paham sunnah. Meskipun begitu, Syeikh Abdur Rauf Singkel tetap menolak paham wujudiyyah yang menganggap adanya penyatuan antara Tuhan dan hamba. Ajaran inilah yang kemudian dibawa Syeikh Abdul Muhyi ke Jawa.

Masa studinya di Aceh dihabiskannya dalam tempo enam tahun (1090 H/1669 M-1096 H/1675 M). Setelah itu bersama teman-teman seperguruannya, ia dibawa oleh gurunya ke Baghdad dan diajak gurunya berkunjung ke makam seorang yang dikenal masyarakat sebagai Wali Quthub, Syekh Abdul Qadir Al-Jilani di Irak, kemudian ke Mekah untuk lebih memperdalam ilmu pengetahuan agama dan menunaikan ibadah haji di Mekah. Abdul Muhyi kemudian belajar di Mekah, tidak langsung pulang. Di Mekah Abdul Muhyi bertemu Syekh Yusuf al-Maqassari, dan diduga kuat Abdul Muhyi belajar juga kepada Ahmad al-Qusyasyi, Ibrahim Kurani, dan Hasan al-Ajami, yaitu guru-guru dari Abdur Ra’uf as-Singkili sendiri.

Saat di Baitullah, gurunya mendapatkan ilham yang menyebut bahwa salah satu santrinya ada yang akan mendapatkan pangkat kewalian.
Dalam ilham itu dinyatakan, apabila sudah tampak tanda-tanda maka, Syeikh Abdul Rauf harus menyuruh santrinya itu pulang dan mencari gua di Jawa bagian barat untuk bermukim di sana. 

Di suatu saat sekitar waktu ashar, di Masjidil Haram tiba-tiba ada cahaya yang langsung menuju Syeikh Abdul Muhyi dan hal itu diketahui oleh gurunya sebagai tanda-tanda ke waliannya tersebut. Setelah menunaikan ibadah haji, Syeikh Haji Abdul Muhyi kembali ke Ampel. 

Abdul Muhyi dinikahkan oleh orangtuanya dengan Ayu Bakta putri dari Sembah Dalem Sacaparana putra Dalem Sawidak atau Raden Tumenggung Wiradadaha III.

Tak lama setelah pernikahan, beliau bersama istrinya berangkat ke arah barat dan sampailah di daerah yang bernama Darma Kuningan.

Atas permintaan penduduk setempat, Syeikh Abdul Muhyi menetap di Darma Kuningan selama 7 tahun terhitung dari tahun 1678 hingga tahun 1685 M. Kabar tentang menetapnya Syeikh Abdul Muhyi di Darma Kuningan terdengar oleh orang tuanya dan mereka menyusul serta ikut menetap di sana untuk mendidik masyarakat dengan ajaran Islam. Setelah itu ia kembali mengembara dan sampai ke daerah Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Ia mentap di Pameungpeuk selama 1 tahun (1685-1686) untuk menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk yang ketika itu masih menganut agama Hindu. Pada tahun 1986 ayahnya meninggal dunia dan dimakamkan di kampung Dukuh, di tepi Kali Cikangan. 

Beberapa hari setelah pemakaman ayahnya, ia melanjutkan pengembaraannya hingga ke daerah Batuwangi. Ia bermukim beberapa waktu di sana atas permintaan masyarakat. Setelah itu ia ke Lebaksiuh, tidak jauh dari Batuwangi. Lagi-lagi atas permintaan masyarakat ia bermukim di sana selama 4 tahun (1686-1690). Pada masa empat tahun itu ia berjasa mengislamkan penduduk yang sebelumnya menganut agama Hindu. Menurut cerita rakyat, keberhasilannya dalam melakukan dakwah Islam terutama karena kekeramatannya yang mampu mengalahkan aliran hitam. Di sini Syeikh Haji Abdul Muhyi mendirikan masjid tempat ia memberikan pengajian untuk mendidik murid-muridnya para kader yang dapat membantunya menyebarkan agama Islam lebih jauh ke bagian selatan Jawa Barat. Setelah empat tahun menetap di Lebaksiuh, ia lebih memilih bermukim di dalam gua yang sekarang dikenal sebagai Gua Safar Wadi di Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Menurut salah satu tradisi lisan, kehadirannya di Gua Safar Wadi itu adalah atas undangan bupati Sukapura yang meminta bantuannya untuk menumpas aji-aji hitam Batara Karang di Pamijahan. Di sana terdapat sebuah gua tempat pertapaan orang-orang yang menuntut aji-aji hitam itu. Syeikh Haji Abdul Muhyi memenangkan pertarungan melawan orang-orang tersebut hingga ia dapat menguasai gua itu. Ia menjadikan gua itu sebagai tempat pemukiman bagi keluarga dan pengikutnya, di samping tempat ia memberikan pengajian agama dan mendidik kader-kader dakhwah Islam. Gua tersebut sangat sesuai baginya dan para pengikutnya untuk melakukan semadi menurut ajaran tarekat Syattariah. Sekarang gua tersebut banyak diziarahi orang sebagai tempat mendapatkan “berkah”. Syeikh Haji Abdul Muhyi juga bertindak sebagai guru agama Islam bagi keluarga bupati Sukapura, bupati Wiradadaha IV, R. Subamanggala.

Namun, ada cerita lain jika Syeikh Haji Abdul Muhyi tinggal dan berada di gua Safar Wadi di karenakankan atas perintah dari gurunya Syeikh Abdur Rauf Singkel. Konon, Salah satu tokoh pemuda di Desa Pamijahan, Kecamatan Bantarkalong, Imam Mudofar menuturkan, Syeikh Abdul Muhyi berusaha mencari gua yang diperintahkan oleh gurunya, Syeikh Abdur Rauf, dengan mencoba beberapa kali menanam padi. Ternyata ia gagal karena hasilnya melimpah, karena yang di harapkannya mendapatkan hasil cukup sebenih.

Padahal petunjuk dari gurunya itu, gua yang dicari akan ditemukan jika suatu tempat ditanami padi maka hasilnya tetap sebenih, artinya tidak menambah penghasilan tidak kurang dan tidak lebih.

"Karena tidak menemukan gua yang dicari, Syeikh Abdul Muhyi bersama keluarga berpamitan kepada penduduk desa untuk melanjutkan perjalanan mencari gua.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, sampailah ia di daerah Pamengpeuk yang termasuk wilayah Kabupaten Garut saat ini. Di sini, beliau bermukim selama 1 tahun antara tahun 1685 - 1686 M, untuk menyebarkan agama Islam secara hati-hati mengingat penduduk setempat waktu itu masih beragama Hindu.

Setahun kemudian ayahandanya Sembah Lebewarta Kusumah meninggal dan dimakamkan di kampung dukuh di tepi Kali Cikaengan.

Beberapa hari seusai pemakaman ayahandanya, ia melanjutkan perjalan mencari gua dan sempat bermukim di Batu Wangi. Perjalanan dilanjutkan dari Batu Wangi hingga sampai di Lebaksiu dan bermukim di sana selama 4 tahun yakni dari 1686-1690 M.

Walaupun di Lebaksiu tidak menemukan gua yang dicari, ia tidak putus asa dan tetap melangkahkan kakinya ke sebelah timur dari Lebaksiu yaitu di atas gunung Kampung Cilumbu. Akhirnya dia turun ke lembah sambil bertafakur melihat indahnya pemandangan sambil mencoba menanam padi.

Pada suatu hari, Syeikh Haji Abdul Muhyi melihat padi yang ditanam telah menguning dan waktunya untuk dipetik. Saat dipetik terpancarlah sinar cahaya kewalian dan terlihatlah kekuasaan Allah.

Padi yang telah dipanen tadi ternyata hasilnya tidak lebih dan tidak kurang, hanya mendapat sebanyak benih yang ditanam. Ini sebagai tanda bahwa perjuangan mencari gua sudah dekat.

Untuk meyakinkan adanya gua di dalamnya maka di tempat itu ditanam padi lagi. Ia berdoa kepada Allah, semoga gua yang dicari segera ditemukan.

"Dengan kekuasan Allah, padi yang ditanam tadi segera tumbuh dan waktu itu juga berbuah dan menguning, lalu dipetik dan hasilnya ternyata sama, sebagaimana hasil panen yang pertama. Di sanalah beliau yakin bahwa di dalam gunung itu adanya goa yang di cari selama ini.
 
Sewaktu Syeikh Abdul Muhyi berjalan ke arah timur, terdengarlah suara air terjun dan kicauan burung yang keluar dari dalam lubang. Dilihatnya ia ke dalam lubang besar itu. Keadaannya hampir sama dengan gua yang digambarkan oleh gurunya.

Seketika itu beliau kedua tangannya diangkat, memuji kebesaran Allah dan bersyukur. Telah ditemukan gua bersejarah yang konon katanya (perlu rujukan), di tempat ini dahulu Wali Quthub Syeikh Abdul Qodir Al Jailani menerima ijazah ilmu agama dari gurunya yang bernama Imam Sanusi.

Di daerah Lebaksiuh inilah Syekh Abdul Muhyi menemukan gua yang dikeramatkan dan wingit. Gua ini dinamakan Pamijahan, karena tempat berkembang biaknya banyak ikan.

Gua Pamijahan ini berbatu karang dan penuh dengan hutan lebat, dan karenanya juga sering disebut juga sebagai gua karang. Sejak saat itu, meski kadang-kadang masih tinggal di Lebaksiuh, Abdul Muhyi ini lebih dikenal sebagai Haji Karang. Gua ini menjadi tempat ‘uzlah dan khalwat-nya beliau.

Gua yang sekarang dikenal dengan nama Gua Safar Wadi Pamijahan adalah konon, warisan dari Syeikh Abdul Qodir Al Jailani yang hidup kurang lebih 200 tahun sebelum Syeikh Abdul Muhyi. Gua ini terletak di antara kaki Gunung Mujarod.

Sejak gua ditemukan, Syeikh Abdul Muhyi bersama keluarga beserta santri-santrinya bermukim di sana. Di samping mendidik murid santrinya dengan ilmu agama, beliau juga menempuh jalan tarekat.

Setelah sekian lama bermukim dan mendidik para santrinya di dalam gua, ia dan para pengikutnya berangkat menyebarkan agama Islam di kampung Bojong (sekitar 6 km dari gua, sekarang lebih dikenal sebagai kampung Bengkok) sambil sesekali kembali ke Gua Safar Wadi. Sekitar 2 km dari Bojong ia mendirikan perkampungan baru yang disebut kampung Safar Wadi. Di kampung itu ia mendirikan masjid (sekarang menjadi kompleks Masjid Agung Pamijahan) sebagai tempat beribadah dan pusat pendidikan Islam. Di samping masjid ia mendirikan rumah tinggalnya. Sementara itu, para pengikutnya aktif menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat bagian selatan. Melalui para pengikutnya, namanya terkenal ke berbagai penjuru jawa Barat.

Menurut tradisi lisan, Syeikh Maulana Mansur berulang kali datang ke Pamijahan untuk berdialog dengan Syeikh Haji Abdul Muhyi. Syeikh Maulana Mansur adalah putra Sultan Abdul Fattah Tirtayasa dari kesultanan Banten. Sultan Tirtayasa sendiri adalah keturunan Maulana Hasanuddin, sultan pertama kesultanan Banten yang juga putra dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati, salah seorang Wali Songo di Cirebon. 

Sebagai guru rohani, Syekh Haji Abdul Muhyi dihormati masyarakat dan keraton Mataram. Desanya diakui sebagai desa perdikan, yang artinya berhak mengurus urusannya sendiri secara mandiri, meskipun ada di wilayah Mataram, hubungan dengan Keraton Cirebon dan Banten juga dibangun, termasuk setuju sebagian anak-anaknya menikah dengan para bangsawan dari Cirebon. Hubungan dekat juga terjadi dengan Kesultanan Banten, termasuk dengan guru rohani di Banten, yaitu Syekh Yusuf Tajul Khalwati al-Maqassari, yang merupakan temannya di Mekah. Ketika Syekh Yusuf bergerilya di hutan-hutan melawan Belanda akibat keberhasilan Belanda memecah Keraton Banten, Syekh Yusuf bersembunyi di tempat Syekh Abdul Muhyi.

Berita tentang ketinggian ilmunya itu sampai juga ke telinga sultan Mataram. Sultan kemudian mengundang Syeikh Haji Abdul Muhyi untuk menjadi guru bagi putra-putrinya di istana Mataram. Sultan Mataram Paku Buwono II (1727-1749) ketika itu bahkan menjanjikan akan memberi piagam yang memerdekakan daerah Pamijahan dan menjadikannya daerah “perdikan”, daerah yang dibebaskan dari pembayaran pajak. Undangan sultan Mataram itu tidak pernah dilaksanakannya, karena pada tahun 1151 H (1730 M) Syeikh Haji Abdul Muhyi meninggal dunia karena sakit di Pamijahan. Berdasarkan keputusan sultan Mataram itulah, oleh pemerintah kolonial Belanda, melalui keputusan Residen Priangan, Pamijahan sejak tahun 1899 dijadikan daerah “pasidkah”, daerah yang dikuasai secara turun temurun dan bebas memungut zakat, pajak, dan pungutan lain untuk keperluan daerah itu sendiri.

Makam Syeikh Haji Abdul Muhyi yang terdapat di Pamijahan diurus dan dikuasai oleh keturunannya. Makamnya itu ramai diziarai orang sampai sekarang karena dikeramatkan. Sampai saat ini desa Pamijahan dipimpin oleh seorang khalifah, jabatan yang diwariskan secara turun-temurun, yang juga merangkap sebagai juru kunci makam dan mendapat penghasilan sedekah dari para peziarah.

Karya tulis Syeikh Haji Abdul Muhyi yang asli tidak ditemukan lagi. Akan tetapi ajarannya disalin oleh murid-muridnya, di antaranya oleh putra sulungnya sendiri, Syeikh Haji Muhyiddin yang menjadi tokoh tarekat Syattariah sepeninggal ayahnya. Syeikh Haji Muhyiddin menikah dengan seorang putri Cirebon dan lama menetap di Cirebon. Ajaran Syeikh Haji Abdul Muhyi versi Syeikh Haji Muhyiddin ini ditulis dengan huruf pegon (Arab Jawi) dengan menggunakan bahasa Jawa (baru) pesisir. Naskah versi Syeikh Haji Muhyiddin itu berjudul Martabat Kang Pitutu (Martabat Alam Tujuh) dan sekarang terdapat di museum Belanda, dengan nomor katalog LOr. 7465, LOr. 7527, dan LOr. 7705.

Ajaran “martabat alam tujuh” ini berawal dari ajaran tasawuf wahdatul wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi. Tidak begitu jelas kapan ajaran ini pertama kali masuk ke Indonesia. Yang jelas, sebelum Syeikh Haji Abdul Muhyi, beberapa ulama sufi Indonesia sudah ada yang menulis ajaran ini, seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani (tokoh sufi, w. 1630), dan Abdur Rauf Singkel, dengan variasi masing-masing. Oleh karena itu sangat lemah untuk mengatakan bahwa karya Syeikh Haji Abdul Muhyi yang berjudul Martabat Kang Pitutu ini sebagai karya orisinilnya, tetapi besar kemungkinan berupa saduran dari karya yang sudah terdapat sebelumnya dengan penafsiran tertentu darinya.

Menurut ajaran “Martabat Alam Tujuh”, seperti yang tertuang dalam "Martabat Kang Pitutu," wujud yang hakiki mempunyai tujuh martabat, yaitu :

(1) Ahadiyyah, hakikat sejati Allah Swt.
(2) Wahdah, hakikat Muhammad Saw.
(3) Wahidiyyah, hakikat Adam As.
(4) Alam arwah, hakikat nyawa.
(5) Alam misal, hakikat segala bentuk.
(6) Alam ajsam, hakikat tubuh, dan 
(7) Alam insan, hakikat manusia. 
Kesemuanya bermuara pada yang satu, yaitu Ahadiyyah, Allah SWT. 

Dalam menjelaskan ketujuh martabat ini Syeikh Haji Abdul Muhyi pertama-tama menggaris bawahi perbedaan antara Tuhan dan hamba, agar sesuai dengan ajaran Syeikh Abdur Rauf Singkel, "Orang tidak terjebak pada identiknya alam dengan Tuhan." 
Ia mengatakan bahwa wujud Tuhan itu Qadim (azali dan abadi), sementara keadaan hamba adalah Muhdas (baru). Dari tujuh martabat itu, yang Qadim itu meliputi martabat Ahadiyyah, Wahdah, dan Wahidiyyah, semuanya merupakan martabat-martabat “keEsaan” Allah SWT yang tersembunyi dari pengetahuan manusia. Inilah yang disebut sebagai Wujudullah. Empat martabat lainnya termasuk dalam apa yang disebut Muhdas, yaitu martabat-martabat yang serba mungkin, yang baru terwujud setelah Allah SWT. memfirmankan “Kun” (jadilah).

Selanjutnya melalui martabat tujuh itu Syeikh Haji Abdul Muhyi menjelaskan konsep insan kamil (manusia sempurna). Konsep ini merupakan tujuan pencapaian aktivitas sufi yang hanya bisa diraih dengan penyempurnaan martabat manusia agar sedekat-dekatnya “mirip” dengan Allah SWT.

Melalui usaha putra dari Syeikh Haji Andul Muhyi yaitu Syeikh Haji Muhyiddin, ajaran martabat tujuh yang dikembangkan Syeikh Abdul Muhyi tersebar luas di Jawa pada abad ke-18.

Menurut pendapat yang masyhur sampainya Syeikh Haji Abdul Muhyi ke derajat kewalian melalui Thoriqoh Mu’tabaroh Satariyah, yang silsilah keguruan atau kemursyidannya sampai kepada Rasulullah SAW. 

Berikut silsilahnya: 
Rasululah SAW, Ali Bin Abi Tholib, Sayyidina Hasan, Sayyidina Zainal Abidin, Imam Muhammad Bakir, Imam Ja’far Shodiq, Sultan Arifin, Yazidiz Sulthon, Syeikh Muhammad Maghribi, Syeikh Arabi Yazidil Asyiq, Sayyid Muhammmad Arif, Syeikh Abdulah Satari, Syeikh Hidayatullah Syarmad, Syeikh Haji Hudori, Sayyid Muhammmad Ghoizi, Sayyid Wajhudin, Sayyid Sifatullah, Sayyidina Abdi Muwhib Abdulah Ahmad, Syeikh Ahmad Bin Muhammmad (Ahmad Qosos), Syeikh Abdul Rouf, Syeikh Haji Abdul Muhyi.

Sekian lama mendidik santrinya di dalam goa, maka tibalah saatnya untuk menyebarkan agama Islam di perkampungan penduduk.
Di dalam perjalanan, sampailah beliau di salah satu perkampungan yang terletak di kaki gunung, bernama kampung Bojong. Selama bermukim di Bojong dianugerahi beberapa putra dari istrinya, Ayu Bakta.[butuh rujukan] Di antara putra dia adalah Dalem Bojong, Dalem Abdullah, Media Kusumah, Pakih Ibrahim.

Beberapa lama setelah menetap di Bojong, atas petunjuk dari Allah, Syeikh Abdul Muhyi beserta santri-santrinya pindah ke daerah Safarwadi. Di sini dia membangun Masjid dan rumah sebagai tempat tinggal sampai akhir hayatnya. Sedang para santri menyebar dengan tugasnya masing-masing yaitu menyebarkan agama Islam, seperti Sembah Khotib Muwahid yang makamnya di Panyalahan, Eyang Abdul Qohar bermukim di Pandawa sedang Sembah Dalem Sacaparana (Mertua Syeikh Abdul Muhyi) tetap di Bojong sampai akhir hayatnya yang kini makamnya terkenal dengan nama Bengkok.

Di sebelah utara Makam Kidul terdapat kompleks makam Syekh Abdul Muhyi. Kompleks ini merupakan objek ziarah utama di seluruh situs Pamijahan.

Terletak ditebing sebelah utara Cipamijahan, makam ini seolah berada di atas bukit yang dikelilingi hamparan sawah yang subur. Di sekitar kompleks makam tumbuh pepohonan besar yang memberi kesan rindang dan teduh; suatu kondisi alamiah yang sangat mendukung fungsi kekeramatannya. Berbeda dengan kompleks makam lain, makam Syekh Abdul Muhyi mendapat perlakuan sangat khusus.Di samping bangunannya sangat megah dari konstruksi beton permanen juga tersedia berbagai fasilitas yang menunjang aktivitas ziarah seperti masjid, kolam dan sarana air bersih serta balai-balai yang dapat digunakan para peziarah melakukan zikir. 

Diyakini sebagai waliyullah dan dihormati masyarakat pesantren. Ia merupakan mata rantai dan pembawa tarekat Syathariyah yang pertama ke Pulau Jawa. Lebih dikenal dengan Haji Karang, karena pernah ‘uzlah dan khalwat di Gua Karang. Di pintu gerbang makamnya yang terletak di Pamijahan Tasikmalaya, tertera tulisan Sayyiduna Syekh al-Hajj Waliyullah Radhiyallahu.

Selain Syekh Abdul Muhyi, pada kompleks ini terdapat makam lain, yaitu Raden Subamanggala Wiradadaha IV, yang dikenal sebagai Dalem Pamijahan, yang ditempatkan di sebelah timur makam Syekh Abdul Muhyi ditandai oleh sebuah payung. Ia adalah anak sulung Raden Tumenggung Anggadipa Wiradadaha III, salah seorang Bupati Sukapura selain itu juga terdapat Makam Sembah Khotib Muwahid, Sembah Kudrot, Sembah Dalem Yudanegara, dan Sembah Dalem Sacaparana.

Makam ini banyak diziarahi oleh kaum muslimin. Masih banyak lagi santrinya yang tersebar hingga pelosok- pelosok kampung di sekitar Jawa Barat untuk menyebarkan agama Islam. Dalam menyebarkan agama Islam Syeikh Haji Abdul Muhyi mengunakan metode Tharekat Nabawiah yaitu dengan akhlak yang luhur disertai tauladan yang baik.[butuh rujukan] Salah satu contoh metode dalam mengislamkan seseorang adalah sewaktu dia melihat seseorang yang sedang memancing ikan. Namun orang itu kelihatan sedih karena tidak mendapat seekor ikanpun. Lalu dihampirinya dan disapa, "Bolehkah saya meminjam kailnya ?" Orang itu memperbolehkannya. Syeikh Haji Abdul Muhyi mulai memancing sambil berdo'a, "Bismillaah hirroh maa nir roohiim, Asyhadu Allaa ilaaha illallaah, Wa asy hadu anna Muhammaddur Rasulullah."

Setiap kail dilemparkan ke dalam air, ikan selalu menangkapnya. Tidak lama kemudian ikan yang didapat sangat banyak sekali sampai membuat orang tersebut keheranan dan bertanya, "Apa do’a yang dibaca untuk memancing? Dia menjawab, "Basmalah dan Syahadat". Akhirnya orang tersebut tertarik dengan do’a itu dan masuk Islam.

Disamping ahli dalam llmu agama Syeikh Haji Abdul Muhyi juga ahli dalam ilmu kedokteran, ilmu hisab, ilmu pertanian dan juga ahli seni baca AI Qur’an. Maka pada saat itu banyak para Waliyullah yang datang ke Pamijahan untuk berdialog masalah agama, seperti waliyullah dari Banten Syeikh Maulana Mansyur, putra Sultan Abdul Patah Ageng Tirtayasa keturunan Sultan Hasanuddin bin Sunan Gunung Jati, juga Syeikh Ja’far Shodiq yang makamnya di Cibiuk, Limbangan.

Wallahu'aklambhishowab...

WA ILAA HADROTI JAMII-IL AULIA ALLAH FIL JAWI KHUSUSON "SYEIKH HAJI ABDUL MUHYI", WA AHLI BAITIHI WA ASH-HAABIHI WA DZURRIYATTIHI AJ-MA'IIN SYAI-UN LILLAAHI LAHUMUL AL- FATIHAH..


Dari berbagai sumber :
▪︎ Pustaka Islam-Sunda
▪︎ Suplemen Ensiklopedi Islam Jilid I, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, cet-9, 2003, hal. 5-8.
▪︎ Wikipedia

close