Sejarah Perkembangan Kapal Perang Layar
Model kapal Trireme Yunani |
KompasNusantara - Kapal perang layar adalah kapal perang masa lampau yang tenaga penggeraknya dengan bantuan angin dan layar. lazim digunakan pada masa lampau pada abad abad tumbuhnya peradaban, abad pertengahan, perdagangan, sampai abad penjelajahan. Tercatat pertempuran-pertempuran terjadi pada masa lampau di antaranya perang laut antara armada Romawi dan Karthago, pertempuran Lepanto, pertempuran laut Inggris-Spanyol serta pertempuran Trafalgar.
Pada awalnya, kapal perang yang digunakan berbentuk seperti kapal yang digerakkan dengan dayung dengan satu buah tiang layar serta pada bagiannya dilengkapi dengan besi pengait seperti halnya kapal Yunani atau Romawi ataupun tidak seperti halnya kapal Viking ataupun kapal Mesir kuno. Kemudian dipersenjatai dengan pelontar panah, api ataupun batu. Pada pertempuran Romawi-Karthago, kapal kapal romawi dilengkapi dengan jembatan corvus yang dilengkapi paku pengait pada ujungnya sehingga kapal kapal karthago tidak dapat meloloskan diri dan dihancurkan oleh pasukan infantri laut romawi. Pada perkembangan berikutnya, kapal kapal dilengkapi dengan penyembur api serta meriam-meriam pada lambung kapalnya.
Karena meriam pada saat itu terletak pada lambung kapal, maka pertempuran saat itu adalah baku tembak antarsisi kapal serta perlu keahlian khusus. Kemenagan Admiral Nelson terhadap Prancis karena menggunakan taktik khusus yang dinamakan taktik Nelson.
Kapal penjelajah/penjajah (Portugis: Pangajava) orang Lanun
Umumnya kapal layar dan kapal dagang dahulu dilengkapi dengan meriam untuk perlindungan atas perompakan. Selain menggunakan kapal kapal khusus yang dinamakan brigantin, galiung atau kapal yang digunakan dalam istilah kapal perang sekarang yakni fregat dan korvet juga di daerah daerah tertentu digunakan Kapal Jung yang dipersenjatai yang dijumpai di Jawa maupun di Cina seperti yang digunakan laksamana Cheng Ho dalam pelayarannya ke Asia Tenggara.
Perkembangan kapal perang layar
Galai
Kapal perang pada awalnya menggunakan layar dan pendayung. Kapal perang ini sangat sederhana dan pertempurannya menggunakan pedang dan tombak dalam jarak dekat. Selain itu, kapal dilengkapi dengan alat pendobrak yang dipasang pada bagian haluan kapal. Sehingga, kapal tersebut, dengan kekuatan pendayung ditabrakkan pada kapal lawan sehingga bocor dan tenggelam. Kapal ini kemudian dikenal sebagai galai. Selain galai, pada masa itu, bangsa Viking dari Skandinavia memakai kapal yang dikenal sebagai "Viking Longship".
Selain menggunakan pendobrak pada haluan kapal, pada kapal tertentu menggunakan penyembur api, yang dikenal kemudian dikenal sebagai "api Yunani", dan pada masa peperangan antara Romawi-Karthago, kapal-kapal Romawi dilengkapi dengan jembatan yang disebut dengan corvus. Dalam perkembangan selanjutnya, kapal dilengkapi dengan bangunan di tempat yang agak tinggi sebagai pemanah, yang pada perkembangan selanjutnya dikenal sebagai bridge atau anjungan, yang nantinya berfungsi sebagai pusat komando. Selain bridge, kapal juga dilengkapi castle atau semacam benteng pada haluan dan buritan kapal. Tujuannya adalah agar para pemanah lawan tidak dapat melumpuhkan kapal baik dari haluan kapal maupun buritan kapal. Dari konsep inilah, kapal kemudian dipertebal dan diperkuat. Konsep ini diterapkan diawali oleh Angkatan Laut Kerajaan di kawasan Eropa Utara.
Selain Eropa, bangsa China juga menganut konsep kapal jenis ini termasuk masa Laksamana Cheng Ho yang melakukan ekspedisi pada abad ke-15. Berbeda dengan bangsa-bangsa Eropa. Bangsa China tidak mengembangkan kapalnya, yang masih berupa kapal jung tersebut menjadi kapal perang yang didesain khusus.
Perkembangan lain adalah masuknya senjata api dan meriam dalam kapal. Tercatat pada Pertempuran Lepanto, merupakan akhir penggunaan panah yang masih dipakai oleh angkatan laut Kekaisaran Utsmaniyah, dibandingkan pelaut Eropa yang sudah mulai menggunakan senjata api. Dipakainya senjata meriam, membuat kecepatan kapal menjadi relatif melambat karena kecepatan kapal tidak dapat mengimbangi kecepatan peluru meriam. Tenaga dayung akhirnya diganti dengan tenaga layar.
Galiung
Penggunaan meriam pada kapal perang membuat ukuran kapal menjadi semakin besar dan berat, karena harus mengangkut meriam yang cukup jumlahnya untuk menambah daya gempur kapal. Sekaligus juga harus meningkatkan daya jelajah kapal, karena mengimbangi jarak jangkau meriam sekaligus pertemputan laut yang semakin jauh dari kawasan pantai atau coastal. Kapal-kapal layar tersebut perlu dibangun dengan rancangan baru untuk menyesuaikan dengan keadaan.
Pada abad ke-16 dirancanglah kapal-kapal untuk menjawab keperluan tersebut. Kapal tersebut memiliki tiga tiang utama untuk layar dan dek berlapis untuk memuat lebih banyak meriam. Kapal jenis ini kemudian diberi nama Galiung, dan kemudian merajai pelayaran abad ke 16 hingga sesudahnya, yang kemudian digunakan sebagai sarana menjelajah, perdagangan sekaligus untuk memperluas daerah jajahan.
Jung Jawa
Kepulauan Nusantara memiliki kapal pengangkut besar yang disebut dengan jong (dari bahasa Jawa kuno yang artinya kapal). Jung Jawa ini berbeda dengan jung Cina (keterangan lebih lanjut lihat halaman kapal jung). Kapal ini bisa digunakan untuk perang maupun komersial pada abad ke-14, 15, dan 16, umumnya sebagai pengangkut penumpang. Ukurannya sangat besar bahkan kapal Portugis yaitu Flor de la Mar dan Anunciada terlihat kecil saat berada di sampingnya.
Giovanni da Empoli (pedagang Florentine) mengatakan bahwa jung Jawa tidak berbeda kekuatannya dibanding benteng, karena ia memiliki tiga dan empat lapis papan, satu di atas yang lain, yang tidak dapat dirusak dengan artileri. Mereka berlayar bersama dengan wanita, anak-anak, dan keluarga mereka, dan semua orang menjaga kamarnya sendiri.
Fregat
Sejarah kemudian mencatat, negara-negara maritim seperti Spanyol, Belanda, Inggris, Portugal memerlukan kapal-kapal perang yang lebih lincah, lebih gesit dan lebih ringan dibandingkan dengan galiung. Hal ini diperlukan untuk menjaga atau patroli di wilayah jajahan sekaligus untuk menjaga kehadirannya di perairan dengan jumlah kapal yang lebih banyak. Untuk itu pada abad ke-17 hadirlah kapal-kapal fregat atau frigatte.
Kapal fregat memiliki ukuran lebih kecil daripada galiung namun memiliki tiga tiang layar. Kapal ini kemudian diangap sebagai kapal tempur utama atau ship of the line dalam suatu armada. Pada abad ke 18 dan 19 frigatte kemudian dimodifikasi dan ditambahkan tempat komando yang kemudian ditambahkan pada kapal galiung.
Taktik dan strategi pertempuran dengan kapal perang layar
Pada masa itu, kapal perang dibagi tingkatannya menjadi beberapa kelas sesuai dengan tingkat persenjataannya di mana fregat menjadi kapal kelas lima, selain itu ada kapal lebih kecil yakni untuk pengintaian atau sloops/sloops of war yang digolongkan menjadi kapal kelas enam.
Pada abad ke-17 digunakan teknik baru dalam pertempuran laut. Pada masa sebelumnya kapal-kapal membentuk gugus tempur dan menyerang secara acak ke posisi lawan. Maka sejak itu digunakan formasi berbaris tunggal di mana kekuatan diatur sedemikian rupa. Sehingga satu kapal bisa memproteksi kapal lain di belakangnya. Demikian pula bagian haluan dan buritan menjadi terlindungi, utamanya kapal-kapal yang berada di barisan belakang.
Konsep ini yang kemudian disebut sebagai line-of -battle. Kapal-kapal perang yang dikerahkan dalam formasi ini, dipilih dari yang terkuat. Teknik ini bertahan hingga akhir abad ke-18 hingga para laksamana Inggris menemukan taktik baru yang lebih dahsyat. Taktik ini sesuai dengan kapal-kapal yang memiliki turret atau kubah meriam putar pada kapal perangnya. Teknik ini sangat digemari dan digunakan oleh banyak angkatan laut di dunia.
Pada masa ini juga dikenal dengan istilah "di atas angin" dalam hal ini kapal-kapal perang layar mendapat posisi yang cukup baik, dari segi angin untuk kapal layarnya sekaligus juga untuk menembak. Kapal kapal layar yang mendapat posisi yang cukup baik ini umumnya akan memenangkan pertempuran.
Sumber:
• ^ da Empoli, Giovanni (2010). Lettera di Giovanni da Empoli. California.
• The Great Sea Warfare, pertempuran laut paling menentukan di dunia, Edisi Koleksi Angkasa XXIV