Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Diteror Lelembut Gunung Karang : Pendakian Selepas Maghrib (Part 2)


Kyai Muntaqo beserta para santrinya berhamburan ke belakang asrama. Semua orang yang ada di sana panik melihat Ririn menggantung di dahan pohon mahoni. Kiai Muntaqo membaca kalimat-kalimat ruqiah sambil mengacungkan telunjuknya ke arah Nurul. Saat itu juga Nurul mulai terlihat kesakitan. Lima orang santri muncul dengan menggotong sebuah spring bed besar untuk menahan tubuh Ririn.

Nurul menjatuhkan Ririn dan untung saja wanita itu jatuh tepat di atas spring bed, sementara Nurul masih bertengger di atas dahan pohon mahoni. Kalimat-kalimat ruqiah terus dilantunkan oleh Kiai Muntaqo, Nurul pun terjungkal ke belakang. Dia juga jatuh tepat di atas spring bed sehingga tidak ada luka sedikit pun. Faisal memeriksa keadaan adiknya itu, dia menangis karena tak tega melihat adiknya yang sering sekali kesurupan.

Satu Minggu Kemudian.

Sudah lima kali Faisal bermimpi tentang sumur tujuh yang ada di puncak gunung Karang. Dalam mimpinya itu, Faisal didatangi kakeknya sendiri. Kakenya Faisal memberitahu kalau yang nempel di dalam tubuh Nurul itu adalah lelembut gunung Karang. Satu-satunya cara agar Nurul bisa sembuh adalah mandi di sumur tujuh. Semur itu terletak di puncak gunung karang, Faisal dan Nurul harus mendaki gunung itu. 

Faisal yakin mimpi itu merupakan sebuah petunjuk. Dia harus membawa adiknya ke sumur tujuh, itu bukan hal yang sulit. Lagi pula, lokasi gunung Karang dekat dengan pondok pesantrennya. Faisal bahkan bisa melihat gunung itu dari balik jendela asramanya. 

Yang membuat Faisal bingung adalah soal perizinan. Kiai Muntaqo pasti tidak akan mengizinkan Faisal mendaki gunung itu, apalagi dengan membawa Nurul. Jadi tidak ada pilihan lain, dia harus membawa adiknya kabur dari pondok. 

Faisal memang belum pernah mendaki gunung Karang, tapi dia pernah baca di internet kalau medan pendakian di sana tidak terlalu ekstrim. Faisal yakin bisa membawa adiknya dengan selamat. 

Faisal sudah merencanakan dengan matang skema kabur dari pondok. Saat para santri sedang berjamaah Magrib, Faisal mengendap-endap ke asrama adiknya. Kemarin Faisal sudah memberi tahu Nurul agar tidak ikut jamaah Magrib. Nurul keluar dari kamarnya melalui jendela, dia membawa tas gendong warna hitam, begitupun Faisal dia juga membawa tas yang di dalamnya berisi pakaian dan bebrapa bungkus mie instan. Mereka tidak bawa tenda karena tidak punya. Faisal hanya berharap di tengah pendakiannya nanti dia bisa menemukan saung untuk berteduh. 

Mereka berdua berhasil kabur dari pesantren. Sebenarnya Faisal tidak tahu jalur pendakian gunung Karang, dia cuma modal nekat. Di pertigaan, Faisal memberhentikan dua pengendara motor yang sedang melintas. Ia minta diantarkan ke kaki gunung Karang. 

“Mau masuk jalur mana? Kaduengang?” tanya lelaki gendut yang mengendarai motor bebek.

“Iya jalur mana saja yang penting bisa sampai ke puncak,” jawab Faisal, nada bicaranya terburu-buru. Sesekali dia menoleh ke belakang untuk memastikan kalau tidak ada santri yang mengikutinya. 

“Ya sudah kita antar ke Kaduengang saja,” kata lelaki yang satu lagi, dia berbadan kurus.

“Bayarannya berapa dulu?” tanya lelaki berbadan gendut. 

“Seratus ribu cukup?” tanya Faisal. 

“Ya sudah ambil saja,” lelaki berbadan kurus menyetujuinya. 

Mereka pun berangkat ke kampung Kaduengang. Kaduengang ini memang menjadi jalur favorit bagi para pendaki gunung Karang. Tak sampai tiga puluh menit, mereka akhirnya tiba di kampung Kaduengang, hari sudah gelap, Faisal dan Nurul berdiri di pinggir jalan. 

“Kita sebenarnya mau ke mana, Bang?” tanya Nurul. 

“Abang mau ngobatin kamu ke puncak gunung Karang, De. Nanti Adek mandi di sumur tujuh biar lelembut di tubuh adek hilang,” jawab Faisal. 

“Abang tahu jalan ke puncak?” tanya Nurul lagi. 

“Kita tanya-tanya saja ke orang kampung sini De, ayo,” Faisal menuntun lengan adiknya. 

Sebelum mereka masuk ke perkampungan, dari semak-semak muncullah seorang anak lelaki yang umurnya kisaran lima belas tahun. Dia menuntun seekor kambing, anak laki-laki itu tersenyum saat melihat Faisal dan Nurul. 

“Kalian dari mana?” tanya anak itu. 

“Dari pesantren, kami mau mendaki gunung Karang,” jawab Faisal. 

“Malam-malam begini?” tanya anak itu. 

“Iya. Kamu tahu jalur pendakian di sebelah mana?” Faisal kembali bertanya. 

Anak itu menunjuk ke arah Barat.

“Di sana…, untuk sampai ke puncak, kalian harus melewati tiga pos.” 

Faisal menelan ludahnya sendiri, dia sadar mendaki tanpa pemandu pasti nyasar. 

“Begini…, aku punya uang tiga ratus ribu. Kalau kamu mau nganterin kami ke puncak, kami akan kasih kamu upah tiga ratus ribu. Bagaimana?” tawar Faisal. 

“Wah serius?” anak itu malah senang. 

Faisal mengeluarkan uangnya, “Ini kau pegang uangnya.”

Dia menyerahkan uang itu. 

“Okay, aku mau. Kenalkan dulu aku Acong. Aku asli orang sini."

"Aku Faisal dan ini adikku Nurul," ucap Faisal tanpa tersenyum. 

"Kalian bawa tenda?" tanya Acong.

Faisal dan Nurul menggelengkan kepala.

“Nggak apa-apa, ayo ikut aku. Kita ambil tenda dulu di rumah,” ujar Acong. 

Acong ini memang sering mengantarkan para pendaki ke puncak. Saking seringnya dia bahkan pernah dikasih tenda bekas oleh salah seorang pendaki dari Jakarta. Memang tenda itu sudah jelek, tapi masih layak pakai.

--------------------
Akibat Buang Air Besar di Gunung 
-------------------------

Setelah mengambil tenda di rumah Acong, mereka pun memulai pendakian. Acong membawa senter yang lumayan besar sehingga cukup untuk menerangi jalan. Medan yang mereka tempuh mulai menanjak. Acong jalan di barisan depan, Nurul kedua, sementara Faisal di baris paling belakang. Dari kejauhan terdengar suara dengkur babi membuat Nurul ketakutan. 

“Suara apa itu, Bang?” tanya Nurul sambil menoleh ke belakang. 

“Tenang saja, itu hanya suara babi,” yang jawab malah Acong. 

Faisal menoleh jam tangannya. Dia lalu menyuruh Acong untuk berhenti. 

“Sudah waktunya salat isya, kita berhenti dulu di sini,” ujar Faisal. 

Faisal lalu mengeluarkan dua botol air dari dalam ranselnya. Ia serahkan satu botol pada Nurul, mereka berdua berwudu. Air di botol itu masih ada sisa, Faisal menyerahkannya pada Acong. 

“Mau wudu?” tanya Faisal. 

“Nggak, kalian saja. Aku tak pernah salat,” jawab Acong. 

Faisal kembali menutup botolnya. “Kau tahu arah barat sebelah mana?” tanya Faisal ke Acong. 

Acong pun menunjuk ke sebuah arah. Saking seringnya ke puncak Gunung Karang, Acong sampai hafal di sebelah mana matahari terbit dan tenggelam. Tak lama kemudian, Faisal dan Nurul menggelar sajadah.

Mereka berdua salat berjemaah, sementara Acong hanya berdiri di samping mereka. Sesekali ia menyorotkan cahaya senter ke belakang untuk memastikan kalau tidak ada babi hutan yang mendekat.

Saat Acong menoleh ke Faisal yang sedang sujud, tampak Nurul berdiri di belakang Faisal. Dia tidak mengikuti gerakan imam. Nurul malah menghadap pada Acong sambil tersenyum dingin. Tatap matanya kosong dan terkesan menakutkan.

Jelas saja Acong kaget dan membuat senter yang digenggamnya jatuh seketika. Buru-buru Acong mengambil kembali senter itu dan saat dia menoleh lagi ke arah Nurul, kini wanita itu sedang dalam posisi sujud. Aneh sekali.

Padahal jelas-jelas tadi Acong melihatnya berdiri dengan wajah yang mengerikan. Tak lama kemudian mereka berdua menyelesaikan salatnya. Faisal dan Nurul memasukkan kembali peralatan salatnya ke dalam ransel. 

“Tadi apa yang jatuh?” tanya Faisal. 

“Oh…, senterku. Gagangnya licin benget, Kak,” kata Acong berbohong. Dengan wajah gugup, sesekali dia melirik Nurul.

Perjalanan dilanjutkan kembali. Cuaca semakin dingin. Faisal menyuruh adiknya untuk mengenakan jaket. Acong sepertinya sudah biasa dengan cuaca seperti ini. Walaupun hanya mengenakan kaus, Acong sama sekali tidak kedinginan. 

Di tengah-tengah perjalanan, Acong mendengar seorang wanita yang berbisik di belakangnya. “Acong…,” desis wanita itu. 

Sontak saja Acong berhenti lalu menoleh ke Nurul. 

“Iya?” tanya Acong. 

“Kenapa ya?” Nurul malah balik tanya. 

“Tadi ada yang panggil namaku,” kata Acong. 

“Salah dengar kali. Ayo lanjut saja,” sahut Faisal dari belakang.

Medan semakin curam. Acong mengeluarkan sebuah tali berwarna putih dari dalam tasnya. 

“Kalian pegang ini,” perintah Acong. 

“Buat apa?” tany Nurul. 

“Biar nggak ada yang hilang. Kita semakin masuk ke wilayah hutan lebat,” jawab Acong. 

Mereka bertiga saling memegang tali. Tak lama kemudian, Faisal minta berhenti. 

“Aku sakit perut nih. Boleh buang air besar nggak, Cong?” tanya Faisal sambil meringis memegangi perutnya. 

“Ya sudah sana ke semak-semak aja, Kak,” kata Acong. 

Faisal pun lari ke semak-semak dengan membawa botol air minum. Tinggallah Acong dan Nurul. Mereka berdua sama-sama diam. Sebenarnya Acong masih takut dengan apa yang dilihatnya barusan. Wajah Nurul begitu datar dan menakutkan. 

Dua puluh menit berlalu, tapi Faisal tak kunjung muncul. Acong benar-benar heran kenapa buang air besar lama sekali. Karena bosan menunggu Acong menghampiri semak-semak tempat Faisal buang air besar.

Namun, Faisal tidak ada di sana. Acong panik. Dia lalu menggerakkan cahaya senternya ke sembarang arah sambil berteriak memanggil Faisal. 

Tanpa disengaja, cahaya senternya menyinari tiga sosok manusia yang sedang berjalan ke timur. Tak salah lagi itu adalah Faisal. Sedangkan dua orang lainnya adalah sosok yang menyerupai Acong dan Nurul. Sambil berteriak, buru-buru Acong lari mengejar Faisal.


close