Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Diteror Lelembut Gunung Karang : Sosok Hantu di Dalam Tenda (Part 3)


“Kak Faisal!” teriak Acong sangat kencang hingga membuat Faisal menoleh kepadanya. 

Dari kejauhan, Faisal tampak bingung. Sebab, dia melihat dua sosok Acong sekaligus.

“Kak Faisal, kembali! Jangan terpengaruh lelembut gunung ini!” Acong semakin mendekat. Dia mengambil batu sebesar genggaman tangan. 

“Lihat ini…!” kata Acong sambil melemparkan batu itu ke arah sosok lelembut. Batu itu pun menembus tubuh mereka seperti menembus kabut. 

Kedua sosok yang menyerupai Acong dan Nurul kemudian masuk ke dalam kegelapan. Mereka menghilang begitu saja, sedangkan Faisal masih terheran-heran dengan apa yang dilihatnya barusan.

Hampir saja dia dibawa oleh lelembut Gunung Karang. Mungkin karena Faisal buang air besar sembarangan di gunung. Jadinya jin di gunung itu marah. 

Untung saja Acong segera datang dan menyadarkan Faisal. Setelah itu Acong menuntun Faisal untuk pergi dari sana. 

“Ada apa, Bang?” tanya Nurul, dia juga panik karena barusan mendengar si Acong berteriak memanggil nama Faisal. 

“Nggak ada apa-apa, De. Ayo kita pergi dari sini,” jawab Faisal dengan ekspresi wajahnya yang tampak panik.

Malam semakin larut. Mereka akhirnya tiba di pos satu. Di sana ada sebuah gubuk kecil yang ukurannya hanya muat untuk dua orang saja. 

“Punten…,” Acong mengetuk pintu gubuk. 

Di dalam gubuk ada seorang lelaki tua yang sedang duduk sila. Lelaki itu mengenakan baju dan celana panjang warna hitam. 

“Mangga…,” jawab lelaki tua sambil menoleh pada Acong. Suaranya terdengar serak dan berat.

“Bah, kalau boleh kami ingin numpang menginap di area sini,” kata Acong dengan sangat sopan.

“Silakan saja asal jangan berisik,” ujar lelaki tua dari dalam gubuknya. 

Acong berterima kasih kepada lelaki tua itu. Dia lalu mendirikan sebuah tenda tepat di dekat gubuk si lelaki tua. 

“Tadi itu siapa?” tanya Faisal. 

“Dia Abah Munjid, juru kunci gunung ini. Dia orang sakti yang bisa berbicara dengan makhluk gaib,” jawab Acong. Faisal mengangguk-angguk.

Belum sempat Acong mendirikan tenda, tiba-tiba Abah Munjid keluar dari dalam gubuknya. Ekspresi wajahnya tampak panik. Napas Abah Munjid terengah-engah seperti habis dikejar-kejar setan. Dia juga menatap Nurul dengan tatapan tajam.

“Pergi kalian semua dari sini!” entah apa yang terjadi, Abah Munjid malah mengusir mereka. 

“Ada apa, Bah?” tanya Acong sambil mengerutkan keningnya. 

“Wanita itu terkutuk!” tunjuk Abah Munjid kepada Nurul. 

Faisal tidak terima adiknya dikatakan terkutuk. Dia pun langsung menarik lengan Nurul dan pergi dari sana. Tanpa memedulikan Abah Munjid, buru-buru Acong mengejar mereka.

“Kita nyari tempat kemah yang lain saja,” kata Faisal dengan nada kesal. 

Mereka menjauh dari pos satu untuk mencari tempat berkemah. Tak lama kemudian, Acong berhasil menemukan lokasi yang permukaan tanahnya datar. Ia pun mendirikan tenda di sana.

Faisal dengan cekatan membantu Acong. Tak sampai 20 menit tenda itu pun jadi. Acong tidur di samping kanan Faisal, sedangkan Nurul tidur di samping kirinya Faisal. 

Sekitar jam satu dini hari Acong terbangun karena mendengar suara seseorang di luar tenda. Suara itu terkesan seperti suara seseorang sedang salat. 

“Allah…,” itu suara Nurul yang terdengar begitu lirih. 

Dari dalam tenda, Acong melihat dengan jelas bayangan seorang wanita yang sedang salat di luar. Dia menoleh ke samping kiri Faisal, tak ada Nurul di sana. Yang sedang salat di luar itu pastilah si Nurul.

Lantaran saking ngantuknya Acong lantas tidur kembali. Namun, sebelum terlelap Acong mendengar suara Nurul berubah menjadi seperti suara lelaki tua yang begitu menggema. 

“Allah…,” suara itu terdengar lirih dan berat. 

Acong bangkit. Kini dia dalam posisi duduk. Diperhatikannya bayangan wanita yang mengenakan mukena itu sedang dalam posisi rukuk.

Karena penasaran, pelan-pelan Acong merayap mendekati pintu tenda. Dia membuka sedikit kain tenda. Tapi, anehnya sosok wanita yang sedang salat tadi malah menghilang entah ke mana. 

“Cari saya ya?” entah dari mana datangnya, Nurul tiba-tiba duduk di dalam tenda. Dia masih memakai mukena. Wajahnya sangat pucat. Kedua bola matanya hitam semua. 

Melihat wajah Nurul yang menakutkan, seketika saja Acong kencing di celana. Dia ingin teriak, tapi tidak bisa. Suaranya seakan tercekat di tenggorokan.

-------------------

 Kenapa Dia Bunuh Nurul?

---------------------------

Acong buru-buru membangunkan Faisal. Dia sangat ketakutan melihat wajah Nurul seperti itu. Faisal yang saat itu masih dalam keadaan kantuk langsung merogoh ranselnya dan mengeluarkan sebuah Al-Quran kecil.


Dia mengarahkan kitab suci itu ke wajah adiknya sambil membaca ayat kursi. Bukannya takut, Nurul malah semakin brutal. Dia mencekik leher kakaknya sendiri.

Acong panik. Dia coba menghentikan serangan Nurul, tapi Acong sendiri malah terjungkal. Tenaga Nurul sangat tidak wajar. Faisal semakin tercekik dan kesulitan bernapas. 

“Jurig, mabur dia kaditu (setan, pergi kau sana)!” tiba-tiba terdengar suara Abah Munjid dari luar tenda. Dia mengacungkan goloknya ke langit, disambut riuh angin kencang. 

Nurul mendongak ke atas sambil berteriak lalu pingsan begitu saja. Abah Munjid menyuruh mereka untuk keluar dari dalam tenda. Nurul dibopong oleh kakaknya. Tampak di luar, Abah Munjid sangat marah.

Penampilan Abah Munjid ini sangat khas. Dia punya jenggot juga berewok yang tebal dan berwarna putih.

“Apa tujuan kalian naik gunung ini?” tanya Abah Munjid.

“Saya mau sembuhkan adik saya, Bah, di sumur tujuh,” jawab Faisal dengan terbata-bata. Dia masih menahan sakit di lehernya. 

“Siapa yang menyuruhmu?” tanya Abah Munjid lagi. 

“Seseorang dalam mimpi saya, Bah,” kini Faisal menunduk. 

“Cuih! Percaya sama perintah setan,” Abah Munjid meludah. Dia kesal lantaran malam ini pertapaannya diganggu. 

“Adikmu tidak akan sembuh di sumur tujuh. Kalau mau sembuh ayo ikut dengan abah,” katanya. 

Acong dan Faisal saling tatap. Sebenarnya Faisal itu tidak gampang percaya sama orang asing. 

“Ikuti saja, Kak. Abah Munjid ini orang sakti,” saran Acong. 

Dengan ragu-ragu, Faisal pun menuruti saran Acong. Sambil membopong adiknya, Faisal masuk ke dalam hutan, mengikuti Abah Munjid. Acong juga ikut ke sana, dia jalan di barisan paling belakang.

Tak lama kemudian mereka tiba di sebuah lokasi yang sangat asing bagi Acong. Itu seperti sebuah lahan kosong. Di tengah-tengah lahan itu ada tiga batang pohon pisang yang diletakkan berdempetan. 

“Baringkan adikmu di sini!” pinta Abah Munjid. Faisal nurut saja. 

“Adik saya mau diapakan, Bah?” tanya Faisal. 

“Aku akan mencabut lelembut yang nempel di tubuh adikmu,” jawab Abah Munjid. 

Faisal dan Acong diminta menjauh beberapa meter dari tempat Nurul dibaringkan. Abah Munjid lalu berjalan ke semak-semak. Dia mengambil sesuatu dari sana. Ternyata itu adalah kain kafan yang sudah sangat kotor.

Abah Munjid mengafani Nurul. Entah ritual apa yang akan dilakukannya. Sebenarnya Faisal sempat protes dan tidak mau adiknya dikafani seperti itu. Tapi, lagi-lagi Acong meyakinkan Faisal untuk percaya saja pada Abah Munjid. 

Bulan mengambang dengan tenang di langit. Setelah mengafani Nurul, Abah Munjid mulai berkomat-kamit membaca mantra. Dia juga melakukan beberapa gerakan seperti sedang memeragakan jurus pencak silat. Abah Munjid bergumam. 

“Sukanta. Ini pembalasanku untukmu,” Abah Munjid mengeluarkan goloknya seperti hendak menusuk perut Nurul. 

Faisal buru-buru lari menerjang Abah Munjid. Namun, seperti ada dinding pembatas yang tak kasat mata. Dia malah terpental beberapa meter ke belakang. Acong tidak berani berbuat apapun. Dia hanya mematung dari kejauhan menyaksikan Nurul yang hendak dibunuh. 

“Kumohon jangan bunuh adikku…,” lirih Faisal sambil terkapar di tanah. 

Pandangan Faisal kabur. Samar-samar dia menyaksikan Abah Munjid mengacungkan goloknya dan hendak menusuk Nurul yang sudah dikafani seperti orang mati.
close