Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kualat Gunung Pulosari : Demit Pemakan Mayat (Part 11)

Ajeng masih bersama sosok yang menyerupai Bobi. Walaupun tingkah lelaki itu agak aneh, tapi Ajeng sama sekali tidak menaruh curiga. Kadang suara lelaki itu sangat besar, tidak mirip dengan suara Bobi. Tapi, sesekali suaranya mirip kembali seperti Bobi. 

Di tengah perjalanan, Ajeng menemukan jasad ketiga temannya terkapar di atas semak-semak. Jasad itu sudah membusuk. Tubuh mereka sedang digerogoti belatung.

Ajeng seketika menangis. Terakhir kali ia melihat teman-temannya itu saat berkemah di dekat kawah gunung Pulosari. Dari kawah itu biasanya para pendaki akan naik ke puncak pada jam tiga dini hari agar bisa melihat matahari terbit, termasuk Ajeng dan tiga orang temannya.

Sialnya tiga orang teman Ajeng itu tergelincir. Mereka mati terbentur bebatuan. Namun, saat Ajeng turun ke daerah kawah, ketiga jasad temannya itu hilang entah ke mana. Seperti ada yang muncuri mereka.

Semenjak itulah Ajeng tersesat di gunung ini. Dan, sekarang di hadapan Ajeng ada jasad ketiga temannya, satu orang perempuan dan dua lelaki yang tak lain adalah teman sekampus Ajeng. 

“Mereka temanmu?” tanya sosok lelaki itu. 

“Iya, Mas…,” Ajeng masih menangis meratapi teman-temannya. 

“Kasihan ya mereka,” sosok itu jongkok di samping Ajeng sambil memperhatikan ketiga mayat yang terkapar di hadapannya. 

Ajeng bangkit. Dia mencari kayu untuk menggali tanah. Ia akan mengubur teman-temannya itu di gunung ini. Sosok menyerupai Bobi itu kemudian membantu Ajeng. Dengan cepat ia menggali tiga buah lubang. 

“Sudah selesai nih,” kata sosok itu. Ajeng yang dari tadi sibuk menggali tanah seketika terheran-heran melihat tiga lubang yang digali dengan sangat cepat. 

"Cepat banget, Mas," kata Ajeng. 

"Iya, aku kan laki-laki," timpal sosok itu sambil tersenyum.

Ajeng pun mengubur ketiga jasad temannya. Dia lalu berdoa di atas kuburan teman-temannya, sementara sosok lelaki itu hanya berdiri sambil senyum-senyum sendiri. 

“Malam ini kita berkemah di sini saja,” ujar lelaki itu. 

“Terserah kamu, Mas,” timpal Ajeng. 

Tenda pun didirikan tidak jauh dari tempat teman-teman Ajeng dikubur. Dan, tengah malam sebelum tidur, Ajeng menceritakan kejadian tragis yang membuat temen-temannya itu meninggal. Namun, sosok lelaki itu tidak peduli dengan cerita Ajeng. Dia malah menatap wajah Ajeng dengan penuh birahi. 

Malam itu berlangsung seperti malam sebelumnya. Demit berotak mesum tersebut berhasil merayu Ajeng. Ajeng pun terkapar, dia tidur dengan nyenyak.

Tengah malam, tiba-tiba Ajeng terbangun. Dia mendengar ada suara orang yang sedang mengunyah. Ajeng menoleh ke sampingnya. Sosok lelaki yang menyerupai Bobi itu tidak ada di tenda.

Di luar tenda, malam itu bulan sedang bersinar terang sehingga dari dalam tenda Ajeng dapat melihat bayangan lelaki. Siluet lelaki itu sedang duduk sambil memakan sesuatu. Buru-buru Ajeng mengenakan kembali pakaiannya lalu mengintip dari celah pintu tenda. 

Di luar sana, Ajeng melihat sosok Bobi yang sedang memakan jasad teman-temannya. Ia mencabik-cabik bagian perut dan mengeluarkan isinya, lalu mengunyahnya dengan lahap.

Sosok Bobi itu menoleh ke Ajeng. Kedua matanya merah menyala, mulutnya penuh bercak darah. Seketika Ajeng menutup kembali pintu tendanya. Dia baru sadar kalau yang selama ini bersamanya bukanlah Bobi. Pantas saja tingkahnya aneh. 

Napas Ajeng terengah-engah. Keringat pun mulai membasahi dahinya. Dia tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Ajeng melihat bayangan lelaki itu mendekat ke arah tenda. Tapi, semakin mendekat bayangan itu berubah menjadi sosok yang sangat besar. 

Segera Ajeng keluar dari tenda. Ia kemudian lari sekuat tenaga. Ia menerjang belukar yang menghalangi jalannya. Bahunya berdarah tergores ranting yang tajam. Ia terus berlari tanpa arah sambil memegangi bahunya.

Dari kejauhan Ajeng mendengar raungan demit yang semakin mendekat. Sosok itu mengejarnya.
--------
Menghancurkan Kerajaan Demit 
-------------------
Ajeng masih lari sekuat tenaga untuk menjauh dari genderuwo itu. Kini suara raungan itu seperti ada di atas kepala Ajeng. Wanita itu berteriak minta tolong, dia berharap ada seseorang yang muncul dan menyelamatkannya. Ketika Ajeng melewati akar pohon besar, kakinya tersandaung, dia pun jatuh dan bagian kepalanya membentur akar pohon dengan sangat keras. 

Masih dalam keadaan sadar, Ajeng terkapar tak berdaya di bawah pohon itu. Darah mengalir keluar dari kepalanya dan saat Ajeng berkedip, genderuwo itu sudah ada di hadapannya. Makhluk itu tidak lagi menyerupai Bobi, tubuhnya besar dan berbulu, kukunya panjang berwarna hitam pekat, taringnya menjulur hingga ke perut dan kedua matanya merah menyala. 

Genderuwo itu menjilati wajah Ajeng yang penuh darah. Ia ternyata suka dengan darah Ajeng. Ingin sekali Ajeng berteriak, tapi dia tidak sanggup. Suaranya seakan hilang begitu saja, Ajeng hanya bisa pasrah. Rasanya dia ingin mati saja sekarang juga. 

Genderuwo itu berhenti menjilati darah, pandangannya lurus ke depan seperti ada seseorang yang sedang berdiri di hadapannya. Tak lama kemudian, genderuwo itu kabur dia menguik seperti anjing yang sedang ketakutan. Ajeng mendengar suara dedaunan kering yang diinjak. Ada seseorang yang mendekat ke arahnya. Entah siapa. Ajeng tak dapat melihatnya.

Lain halnya yang terjadi dengan Bobi. Dia dibawa ke sebuah keraton yang megah. Di pintu keraton itu banyak sekali dayang-dayang cantik yang mengenakan selendang warna-warni. Para dayang itu juga beraroma harum sekali, Bobi tidak pernah mencium aroma seharum itu. 

Bobi masih diseret paksa oleh seseorang yang tidak bisa dilihatnya. Kedua tangan Bobi menahan ikatan tali di lehernya agar dia tetap bisa bernapas. Tali yang mengikat lehernya itu dihentakkan secara mendadak membuat tubuh Bobi terpental. Ia meringis kesakitan, di hadapannya ada perempuan yang pernah dilihatnya, perempuan itu mengenakan pakaian ratu kerajaan. Dia duduk di atas singgasana sambil tersenyum. 

Ratu itu melemparkan topi koboi ke arah Bobi. Segera Bobi meraih topinya itu. Kemudian wanita itu menengadahkan tangan kanannya dan muncullah sebuah pedang dari tangannya itu. Ia lalu berjalan mendekati Bobi, dua orang pengawal memegangi tubuh Bobi. Saat itu juga Bobi tahu kalau dia akan dipenggal. 

“Aku sudah memberimu kesempatan untuk pergi dari gunung ini,” kata sang ratu sambil mengayunkan pedang itu. 

Sesaat sebelum pedang menebas leher Bobi, tiba-tiba ratu dan pengawal dan para pengawalnya terpental ke belakang. Seperti ada angin besar yang mendorong mereka. 

Bobi…, lelaki itu ternyata punya kekuatan gaib yang sangat dahsyat. Dia sendiri bahkan tidak menyadarinya. Selama bertahun-tahun, Bobi tidak tahu kalau dia adalah keturunan orang yang sangat sakti. Di dalam keraton itu Bobi hanya berdiri dengan kedua matanya yang merah menyala, angin puting beliung memporak-porandakan keraton. 

Keraton itu hancur berkeping-keping, semua makhluk yang berwujud manusia telah berubah menjadi demit yang sangat menjijikan. Mereka semua terpental dan musnah begitu saja. Saat itulah Bobi melihat tubuh Mira melayang, tampaknya Mira tidak sadarkan diri. 

Bobi menengadahkan kedua lengannya, tubuh Mira perlahan melayang mendekat ke arah Bobi. Mira pun jatuh ke pangkuannya. Tepat di hadapan Bobi ada pusaran awan hitam. Ia pun masuk ke dalam pusaran itu sambil membopong Mira. 
--------------
Hati-hati Kalau di Gunung
-------------------------
Bobi masih membopong Mira. Senapannya diselendangkan, ia berusaha untuk mencari jalan keluar dari gunung itu. Dan tak lama berselang, Mira tiba-tiba siuman. Bobi pun menyenderkan keponakannya itu di bawah pohon besar. 

“Mira?” Bobi meriksa kondisi Mira. 

Mira tampak sangat lemas, tatapannya kosong. Dia seperti orang yang kehilangan akal. Dan saat itu juga dahan-dahan pohon bergetar seperti ada yang mengguncangkannya. Bobi mendongak, dia melihat sosok makhluk yang sangat tinggi dan besar. Itu tak lain adalah suaminya Mira. Dia sangat marah karena istrinya dicuri. 

Buru-buru Bobi membopong Mira lalu membawanya ke tempat yang aman. Setelah itu Bobi menghapiri makhluk besar itu. Makhluk itu meraung lalu mengayunkan tangan kirinya hendak menghantam Bobi. Bukannya membuat Bobi terpental, tangan kiri makhluk itu malah hancur berkeping-keping. Kekuatan gaib yang Bobi miliki sangat dahsyat, maklum dia keturunan kepala desa sakti yang pernah menaklukan ratu gunung Pulosari. 

Makhluk raksasa itu meraung seperti kesakitan. Lalu Bobi menghentakkan kaki kanannya dan seketika makhluk raksasa itu lenyap begitu saja. Bobi kembali menghampiri Mira. Perempuan itu sama sekali tidak bisa berbicara apa pun. 

“Sini Om bantu,” Bobi membantu Mira untuk bangun. Ternyata Mira memang sudah bisa jalan walau masih harus dipapah. 

Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan. Sebenarnya, dia sempat memikirkan Anjeng. Entah bagaimana nasib wanita itu. Sangat tidak memungkinkan kalau Bobi harus mencari Ajeng, tujuan dia ke gunung ini hanya untuk mencari Mira. 

Tengah malam, Bobi dan Mira tiba di sebuah jalan raya. Tidak ada perkampungan warga di sana. Sejauh mata memandang hanya ada pepohonan yang berjejer di pinggir jalan. Mereka berdua duduk di pinggir jalan itu berharap ada mobil yang melintas. 

Tidak lama berselang, dari kejauhan terlihat sebuah mobil pikap yang tengah mengangkut sayuran. Segera Bobi berdiri lalu melambaikan tangannya. Mobil itu berhenti tepat di hadapannya. Mereka pun numpang ke mobil pikap itu. Ternyata mobil yang ditumpangi Bobi berbeda tujuan, ia pun turun di depan hotel dan menginap di sana semalam. Di hotel itu ia sempat menghubungi istrinya dan ternyata istrinya baik-baik saja di rumah. Demit yang menyerupai dirinya sudah pergi. 

Lain halnya yang terjadi dengan Ajeng. Wanita itu berhasil diselamatkan oleh Suha, dia seorang kiai muda yang tinggal di kaki gunung Pulosari. Sebelum dia mendaki gunung itu, Suha beberapa kali mendengar ada yang berteriak minta tolong di gunung. 

Dia juga mendapat isyarat dari mimpi kalau masih ada wanita yang terjebak di gunung Pulosari. Suha bersama tiga orang santrinya mendaki gunung itu dan mencari sumber suara yang selalu ia dengar setiap malam. 

Tak butuh waktu lama bagi Suha untuk menemukan Ajeng. Malam itu dia mendengar wanita yang berteriak minta tolong. Suha melihat Ajeng sedang dijilati oleh genderuwo. Kiai muda itu pun membaca ayat-ayat suci membuat demit lari ketakutan. Ajeng di bawa ke pesantren dan dirawat selama berhari-hari di sana. 

Setelah dua hari tinggal bersama keluarga Suha, Ajeng pun diantarkan pulang ke rumahnya. Begitulah kisah sederhana dari kualat gunung Pulosari. Setiap orang yang naik gunung haruslah menjaga sikap dan perkataan sebab kita tak hidup sendirian. Ada makhluk gaib yang tak kasat mata dan mereka ada di sekeliling kita. 

TAMAT
close