Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kualat Gunung Pulosari : Kematian Para Pendaki (Part 10)

Tanpa pikir panjang lagi, Bobi lari menghampiri Mira. Namun, saat ia akan menyentuh lengan Mira, tiba-tiba saja Mira dan sosok wanita berpakaian kerajaan itu hilang entah ke mana. Keramaian pasar juga lenyap begitu saja.

Pasar itu berubah menjadi lahan kosong yang berbatu. Sedangkan Ajeng masih berdiri di kejauhan sambil terheran-heran dengan apa yang dilihatnya.

“Mira! Mira!” Bobi berteriak ke segala arah mencari Mira. Tapi Mira tak menampakkan wujud lagi. 

“Mas! Kita dipermainkan setan. Ayo pergi dari sini!” teriak Ajeng dari kejauhan. 

Bobi pun menyerah. Ia merasa mungkin Ajeng benar kalau yang dilihatnya tadi hanya jelmaan Mira. Ia meraih kembali senapannya yang tergeletak di tanah, lalu berjalan menghampiri Ajeng. Tanpa berkata apa pun Bobi melanjutkan perjalanan. 

“Kita mau ke mana lagi?” Ajeng mempercepat langkahnya, mengejar Bobi. 

“Sudah kubilang aku mau cari Mira,” kini Bobi jengkel sama Ajeng yang banyak tanya. 

“Iya, tapi ke mana?” tanya Ajeng lagi. 

“Aku tidak tahu.”

Bobi berhenti. Dia membalikkan badan dan menatap Ajeng dengan tatapan marah. 

“Sudah kubilang, jangan ikuti aku! Aku nggak mau ada beban!” bentak Bobi. 

Setelah dibentak seperti itu, Ajeng langsung diam dan tertunduk. Bobi melangkah kembali. Kali ini ia mempercepat langkahnya. Ajeng tergopoh-gopoh mengejarnya dari belakang. 

Sampai sore, mereka malah semakin tersesat di tengah hutan. Bobi kelelahan. Persediaan makanannya sudah habis. Ia duduk di bawah pohon sambil memeriksa ranselnya, mencari-cari sisa makanan. 

“Aku udah kehabisan makanan. Air juga habis,” kata Bobi sambil melirik Ajeng. 

“Aku ada air minum nih,” Ajeng merogoh sebotol air minum dari dalam tasnya. Ia kemudian menyerahkan botol itu pada Bobi. 

“Dari mana kamu dapat air ini?” tanya Bobi. 

“Itu air hujan, Mas. Nama kamu siapa sih, Mas?” Ajeng malah balik tanya. 

“Bobi.”

Ajeng mengangguk-angguk. Tak lama kemudian terdengar suara petir dari kejauhan. Awan hitam pun perlahan mendekat membuat suasana menjadi mendung. 

“Sepertinya akan hujan. Kita bikin tenda di sini saja,” Bobi bangkit lalu mengeluarkan tenda dome miliknya. 

Tak sengaja Ajeng melihat seekor ular sanca yang melintas dari balik semak-semak. Wanita itu pun dengan sigap mengeluarkan pisau dari dalam tasnya. Ia mendekati ular itu pelan-pelan. 

“Kamu mau apa?” Bobi yang sedang sibuk mendirikan tenda, tiba-tiba perhantiannya tertuju pada Ajeng. 

“Ada makanan, Mas.”

Tanpa ancang-ancang lagi, Ajeng memegang kepala ular sanca itu lalu memotongnya. Tubuhnya sempat dililit, tapi Ajeng berhasil melepaskan diri. 

Malam itu ternyata hujan tak kunjung turun. Ajeng membakar potongan ular sanca hasil buruannya tadi sore, sementara Bobi tidak sanggup makan ular itu. Ia lebih baik menahan lapar daripada harus makan ular. 

“Enak, Mas. Cobain deh,” Ajeng menyodorkan sepotong daging ular pada Bobi. 

“Kamu saja. Aku tidak biasa makan ular,” jawab Bobi. Ia melamun, tatap matanya kosong memandangi api unggun. Ia masih memikirkan nasib istrinya di rumah.

“Ya sudah kalau nggak mau,” Ajeng pun memakan potongan daging ular itu. 

Malam semakin larut. Api unggun dibiarkan menyala. Bobi dan Ajeng masuk ke dalam tenda, mereka tidur dengan posisi saling membelakangi satu sama lain.

Namun, tengah malam entah jam berapa, ada bayangan seorang lelaki yang melintasi tenda mereka. Lelaki itu berlalu-lalang, membuat suara berisik di semak-semak.

Bobi pun bangun. Ia seketika menyadari kalau ada seseorang di luar tenda. Buru-buru ia meraih senapannya. Dengan hati-hati dia mengintip dari celah pintu tenda. Di luar, Bobi melihat ada lelaki yang sangat ia kenal. Itu adalah Eldi. Dia berdiri tepat di depan tenda. 

“Eldi?” tanya Bobi. 

“Om, tolongin Mira, Om!” kata Eldi, raut wajahnya tampak panik.

Segera Bobi keluar dari dalam tenda. 

“Mira?! Di mana dia?” 

“Di sana, Om!” Eldi menunjuk ke Barat. 

“Ayo antar aku,” pinta Bobi sambil merogoh senter dari dalam kantong celananya. Ia tidak curiga sedikit pun pada Eldi. Bobi kira Eldi memang masih hidup. Padahal si Eldi ini udah meninggal. 

Bobi mengikuti Eldi dari belakang. Mereka berdua pun tiba di sebuah tempat yang asing bagi Bobi. Ini masih di tengah hutan, banyak pohon-pohon besar di sekeliling Bobi. 

“Di sana, Om,” tunjuk Eldi ke atas pohon. 

Bobi mengarahkan cahaya senternya ke atas. Di sana ia melihat ada puluhan orang yang lehernya digantung. Mereka semua mati mengenaskan, matanya melotot dan lidahnya terjulur. 

“Mereka siapa? Siapa yang melakukan ini? Dan, di mana Mira?” dengan ekspresi wajah terkejut Bobi menoleh kepada Eldi. 

Tampak wujud Eldi yang sangat menyeramkan. Kepalanya hanya sisa sepotong. Lidahnya menjulur keluar, darahnya juga tercecer ka tubuhnya. Bobi terkejut dan langsung lari tunggang-langgang tanpa arah. 

***

Sementara itu, di dalam tenda, ada yang memeluk tubuh Ajeng. Wanita itu pun bangun. Dia membalikkan badan. Dengan mata terpicing, ia melihat Bobi sedang memeluknya. 

“Kamu bangun,” kata Bobi sambil menatap Mira dalam-dalam. 

Ajeng benar-benar gugup. Bobi semakin meringsut mendekatinya. 

“Jangan, Mas…,” kata Ajeng pelan. 

“Kamu kedinginan kan?” tanya Bobi sambil tersenyum.

Ajeng berusaha melepas pelukan lelaki itu. Namun, keadaan semakin tak terkendali. Ajeng kesulitan melepas pelukan lelaki yang menyerupai Bobi. Ajeng pun pasrah begitu saja. Demit itu meniduri Ajeng. 
------------
Begini Caraku Masuk ke Alam Gaib
--------------------
Bobi kesulitan mencari lokasi tendanya. Dia benar-benar disesatkan jin yang menyerupai Eldi. Sampai esok pagi, Bobi tidak mampu menemukan tendanya itu. Dia terus berteriak memanggil nama Ajeng. Namun, tidak ada tanda-tanda keberadaan Ajeng. 

Bobi jelas saja kebingungan karena semua peralatan campingnya ada di dalam ransel itu. Yang ia punya sekarang hanya senapan angin yang sudah kehabisan peluru. 

“Ajeng! Ajeng!” teriaknya, memanggil nama Ajeng. Ia berteriak sambil mendongak ke langit agar suaranya menggema.

Keringat mulai membasahi wajahnya. Kondisi Bobi semakin lemah. Dari kemarin dia belum makan apa pun. Bobi terus berjalan tanpa arah, dia tidak tahu mau ke mana.

Baginya pendakian ini malah semakin rumit. Belum lagi nasib istrinya di rumah. Bobi tidak tahu apa yang terjadi dengan istrinya yang sedang hamil. 

“Ampun, Nyai…,” tiba-tiba Bobi mendengar lirih suara perempuan. 

Ia langsung waspada. Senapan angin yang ujungnya sudah diberi pisau ia arahkan ke depan. Bobi siap menusuk siapa pun yang mengganggunya lagi. 

“Ampun, Nyai!”

Bobi meruncingkan daun telinganya dengan telapak tangan kanan untuk mencari sumber suara itu. Ia pun melangkah pelan ke arah sumber suara. Semakin Bobi melangkah ke arah Barat, suara itu semakin terdengar jelas.

Ia menyibakkan semak belukar yang menghalangi pandangannya. Dari balik semak itu, Bobi melihat seorang nenek tua sedang sujud di atas tanah. 

Penampilan nenek itu kacau sekali. Rambutnya yang penuh uban sangat acak-acakan. Ia mengenakan kain jarik dan berbaju kebaya yang sudah usang. Warnanya juga pudar. 

Nenek itu menyadari kalau ada seseorang yang datang. Ia bangun dari sujudnya, lalu menoleh ke arah Bobi. Seketika saja Bobi mengarahkan moncong senapan ke wajah nenek itu. 

“Jangan mendekat!” ancam Bobi. 

Namun, tatapan nenek itu kosong. Seolah tak memedulikan Bobi, dia justru terus meminta ampun kepada seseorang yang disebutnya 'Nyai'. 

Bobi mundur beberapa langkah. Sebab, nenek itu terus mendekat ke arahnya.

“Semua orang di gunung ini kualat!” kata nenek itu. 

Dia adalah Nyi Amah, wanita tua yang dulu pernah mengingatkan rombongan Mira agar tidak mendaki gunung Pulosari. Nyi Amah memang terkenal sebagai orang gila yang berkeliaran di kaki gunung Pulosari. 

Bobi menurunkan senapannya. Ia merasa nenek yang sedang berdiri di hadapannya itu tidaklah berbahaya. 

“Kualat? Kualat kenapa?” Bobi mengerutkan dahi. 

“Ada yang buang darah haid sembarangan di Curug Puteri,” bentak Nyi Amah dengan ekspresi wajah mengancam. Tapi, Bobi tidak menimpali apa pun. 

“Nyai ratu gunung ini marah,” lanjut Nyi Amah. 

“Nenek tahu di mana Mira? Keponakan saya hilang di gunung ini,” tanya Bobi. 

Nenek itu malah tersenyum sambil tertawa cekikikan. 

“Mira…, dia ada di alam gaib,” 

“Kalau gitu saya mau masuk ke alam gaib. Bagaimana caranya?” tanya Bobi. 

Seketika raut wajah Nyi Amah menjadi muram. Dia menggelengkan kepala sambil balik badan. Ia lalu pergi dari hadapan Bobi. 

Bobi mengejar Nyi Amah. Tapi wanita tua itu tak peduli. Dia terus jalan sambil tertawa sendiri. Sesekali Nyi Amah memohon ampun kepada Nyai penguasa gunung Pulosari.

Setelah cukup jauh mengikuti nenek itu, akhirnya Bobi menyerah. Dia pun membiarkan Nyi Amah pergi begitu saja. 

Bobi mendongak ke atas pohon. Di dahan-dahan itu ada koloni monyet yang sedang bergelantungan. Bobi lalu mengembuskan napas berat dan menunduk. Perutnya semakin lapar, tenggorokannya juga kering.

Namun, saat itu juga terlintas di benaknya sebuah cara agar dia bisa masuk ke alam gaib. Ya sebuah cara yang sebenarnya cukup gila.

“Aku harus kualat,” gumam Bobi. “Ya aku harus kualat. Dengan begitu penghuni gunung ini akan membawaku ke alam gaib.”

Yang menjadi pertanyaan di benak Bobi adalah bagaimana dia bisa kualat. Ia ingin membuat makhluk halus penghuni gunung ini marah. 

“Curug Puteri,” gumam Bobi, teringat sebuah tempat yang sempat disebutkan Nyai Amah. 

Dia harus mencari lokasi curug itu. Tapi bagaimana dia bisa menemukan lokasi Curug Puteri? Pertanyaan bermunculan di benak Bobi.

Dia pun mendongak ke langit. Di atas sana Bobi melihat kawanan burung cekakak melintas ke arah barat. Setahu Bobi, kalau burung terbang berkoloni seperti itu pasti mereka sedang menuju sumber air.

Dengan sisa tenaga yang ada, Bobi pun mengikuti arah burung itu. Ternyata cara Bobi berhasil. Tepat sebelum matahari terbenam, Bobi tiba di Curug Puteri. Dia pun mandi dan minum di curug itu. Tanpa ragu-ragu lagi Bobi sengaja buang hajat di sana. 

Anehnya, setelah dia buang hajat tidak ada apa pun yang terjadi dengan dirinya. Bahkan, dia sampai berteriak menantang semua demit yang ada di curug itu. Namun, usaha Bobi nihil. Tak ada demit yang mendatanginya. 

Di dekat Curug Puteri ada sebuah saung kecil. Bobi berbaring di saung itu sambil menunggu demit yang mau membawanya ke alam gaib. Tak terasa Bobi ketiduran di saung itu.

Namun, saat bangun… Bobi mendapati dirinya berada di sebuah perkampungan gaib. Dia melihat orang-orang berwajah pucat sedang berlalu-lalang. Suasananya seperti di zaman kerajaan. Di sana, Bobi juga melihat kereta kuda mondar-mandir membawa penumpang. 

Ia meraba lehernya. Ada tali yang melingkar di sana. Tak lama kemudian, tali itu ditarik paksa oleh seseorang. Ia memegangi ikatan tali di lehernya.

Bobi tidak dapat melihat siapa yang menyeretnya dengan paksa. Ia juga tidak tahu mau di bawa ke mana. Ia diseret melewati kerumunan orang. Dan, saat itulah mata Bobi melihat Mira sedang berdiri di pinggir jalan bersama sosok genderuwo.

***

Lain halnya yang terjadi dengan Ajeng. Pagi-pagi sekali dia sudah bangun, sedangkan sosok yang menyerupai Bobi masih tertidur pulas. Tidurnya aneh lantaran liurnya banyak sekali sampai-sampai pakaian Ajeng basah. Ajeng pun mengguncangkan punggung lelaki itu. 

“Mas, bangun udah siang,” kata Ajeng. 

Lelaki itu bangun. Kedua matanya merah sekali. 

“Kamu sakit mata, Mas?” tanya Ajeng. 

“Nggak, kok,” sosok itu malah tersenyum. 

“Ayo kita harus cari keponakanmu lagi, Mas. Dan, kita harus keluar dari gunung ini.” 

Sosok lelaki itu bangkit. Layaknya Bobi, dia pun dengan apik membereskan kembali tenda dome, lalu memasukkannya ke dalam ransel.

Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan, tapi bukan untuk mencari Mira. Demit yang menyerupai Bobi itu punya maksud tersendiri. Malangnya Ajeng, dia diikuti demit berotak mesum.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya
close