Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kualat Gunung Pulosari : Istriku Dalam Bahaya (Part 9)

Malam pun tiba. Hujan mengguyur dengan sangat deras. Petir berkelebatan menyambar pohon-pohon besar di gunung Pulosari. Bobi mendirikan tenda di tengah hutan. Dari luar tenda, bayangan Bobi terlihat jelas, ia sedang sibuk mengotak-atik smartphone-nya agar dapat sinyal. Dia mau meghubungi istrinya di rumah dan mengabarkan kalau kondisinya saat ini baik-baik saja. 
Akhirnya Bobi berhasil mendapatkan sinyal. Ia coba menghubungi nomor telepon istrinya, namun tidak akatif. Lalu ia coba menghubungi telepon rumah dan akhirnya tersambung. Bobi meletakkan smartphone dan power bank di dekat pintu tenda dome agar sinyalnya stabil. Tak lama kemudian istrinya Bobi mengangkat telepon itu. 

“Halo?” terdengar suara dari seberang telepon.

“Halo Mah. Ini papah, kamu baik-baik aja kan?” nada bicaranya terburu-buru. 

"Papah?" 

"Iya ini aku Mah. Gimana kandungan kamu, baik-baik aja kan?" tanya Bobi.

"Pah bukannya dua hari lalu papah udah pulang dari gunung?" tanya istrinya Bobi dengan nada bicara seperti orang yang sedang kebingungan.

Jelas saja Bobi kaget mendengar pernyataan istrinya. 

“Aku belum pulang Mah. Aku masih di gunung! Aktifkan smartphone kamu, kita video call,” pinta Bobi. 

Tak lama berselang, Bobi melakukan video call dengan istrinya. Sinyalnya sangat lemah dan kadang buffering.

“Ini aku Mah. Lihat aku masih di gunung,” jelas Bobi. 

“Astagfirullah Pah! Terus yang sekarang di rumah sama aku siapa?” wanita itu tampak panik.

“Kamu tenang Mah, jangan berisik. Di mana lelaki itu sekarang?”

“Di kamarku Pah. Lagi tidur…,” jawab wanita itu. 

“Coba kamu ke kamar. Papah mau lihat,” kata Bobi. 

“Aku takut Pah,” wanita itu malah menangis.

“Kamu jangan nangis Mah. Nanti dia bangun. Coba papah mau lihat sosok lelaki itu Mah,” pinta Bobi. 

Layar di smartphone-nya bobi bergerak tidak stabil, istrinya Bobi melangkah perlahan ke kamarnya sambil mengarahkan kamera ke depan. 

“Aku takut Pah,” rengek wanita yang sedang hamil itu.

“Jangan berisik Mah,” Bobi tetap fokus ke layar smartphone. 

Dari layar smartphone itu Bobi melihat sosok yang menyerupai dirinya sedang tertidur pulas. 

“Itu Pah…,” bisik istrinya Bobi. 

Bobi merinding dengan apa yang dilihatnya, lelaki itu benar-benar menyerupai wajah Bobi.

“Kamu tenang Mah. Papah mau minta bantuan ustadz buat usir makhluk gaib itu,” ujar Bobi.

Wanita itu mengarahkan kembali kamera ke wajahnya sendiri. 

“Aku harus bagaimana sekarang Pah?” tanya wanita itu sambil menangis kecil. 

Belum sempat Bobi menjawabnya, tiba-tiba ia melihat ada sesuatu yang sedang berdiri di belakang istrinya. Sosok itu bertubuh besar dan menjulang tinggi sampai kepalanya menyentuh langit-langit kamar.

“Mah lari Mah!” teriak Bobi.

Seketika video call itu terputus seperti ada yang memukul smartphone istrinya Bobi. 

“Mah! Mah!”

Ia coba menghubungi kembali istrinya, tapi tidak bisa. Nomor istrinya tidak aktif. Dia coba menghubungi telepon rumah, tapi tidak ada yang mengangkatnya. 

“Bangsat!” Bobi marah, napasnya terengah-engah. 

Dia lalu keluar dari dalam tenda. Menerobos hujan yang begitu lebat. Bobi mendongak ke langit sambil berteriak. 

“Bangsat kalian semua! Kalian akan tahu akibatnya kalau berani menyakiti istriku!” 

Tak lama setelah Bobi berteriak, petir menyambar sebatang pohon yang dekat sekali dari tempat Bobi berdiri. Ia pun terpental jauh, tubuhnya menabrak batang pohon sampai akhirnya dia pingsan. Bobi tidak melihat kalau di atas batang pohon itu banyak sekali dedemit yang bergelantungan. Dari tadi kawanan dedemit itu memperhatikan Bobi yang sedang marah-marah. 

***

Keesokan paginya, seorang wanita muda yang umurnya kisaran 25 tahun mengguncangkan bahu Bobi. 

“Mas….”

“Mas….”

Kata wanita itu. 

Perlahan Bobi membuka kedua matanya. Samar-samar ia melihat seorang wanita berambut hitam sebahu sedang memperhatikan Bobi. 

“Astaga!” Bobi terperanjak kaget, dia menjauh dari wanita asing itu. 

“Setan kau ya?!” bentak Bobi. 

“Hah? Setan? Bukan Mas. Saya orang hilang. Akhirnya saya ketemu manusia di gunung ini. Tolongin saya Mas. Bawa saya keluar dari gunung ini,” wanita itu malah merengek. 

Bobi masih terdiam. Dia sangat waspada terhadap wanita asing di depannya itu. 

“Masih nggak percaya kalau aku manusia?” wanita itu berdiri lalu menghentak-hentakkan kakinya. 

“Tuh lihat kakiku nggak ngambang, kan?”

Sambil tetap waspada Bobi perlahan berdiri. Ia masuk ke dalam tenda lalu kembali dengan membawa senapannya. Ada pisau yang diikatkan pada ujung moncong senapan itu, mirip seperti senapan tentara Jepang. 

“Ampun Mas! Sumpah saya bukan setan, saya pendaki yang nyasar di gunung ini dan teman-teman saya semuanya mati,” wanita itu melindungi wajahnya dengan kedua tangan. 

Dia kira senapan itu masih ada pelurunya. Padahal Bobi hanya menggertak wanita itu. 

“Siapa nama kamu?” 

“Ajeng Mas,” jawab wanita itu singkat. 

“Balik badan,” pinta Bobi sambil menggerakkan senapannya. 

“Ampun Mas jangan bunuh saya,” wanita itu malah nangis. 

Bobi menyentuh punggung wanita itu. Ternyata dia benar-benar manusia. Bobi kembali ke tendanya, dia merobohkan tenda dome lalu memasukkan kembali ke dalam ransel. 

“Maap aku tidak bisa menolongmu. Aku sedang mencari keponakanku,” kata Bobi sambil terus membereskan peralatan kemahnya. 

“Aku ikut Mas," pinta Ajeng.

“Nggak bisa, aku nggak mau ada beban. Kamu cari bantuan orang lain saja,” Bobi menggendong ranselnya lalu beranjak pergi begitu saja. 

Wanita itu malah mengikuti Bobi. 

“Pokoknya aku ikut. Aku takut sendirian.”

Bobi tidak menanggapi wanita yang sedang mengikutinya dari belakang. Dia terus berjalan tanpa arah sambil berteriak memanggil nama Mira. Tidak ada pilihan bagi Bobi, dia juga sekarang tersesat. Bobi tidak tahu jalan pulang. 

Sesekali Bobi menghubungi nomor telepon istrinya, sialnya tidak ada sinyal. Smartphone itu ia acungkan ke arah kanan untuk mencari sinyal. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada istrinya semalam.

Kualat Gunung Pulosari 2: Terjebak di Pasar Setan (Part 3)

Bobi masih sibuk mencari sinyal. Dia berusaha menghubungi istrinya di rumah. Sayangnya smartphone Bobi mulai kehabisan daya baterai dan mati seketika. Bobi berdecak kesal. Dia merogoh power bank dari dalam ranselnya dan ternyata power bank itu juga sudah kehabisan daya. 

“Kamu bawa hp?” Bobi menghentikan langkahnya. Dia menoleh kepada Ajeng. 

“Bawa, tapi baterainya habis,” Ajeng mengeluarkan hp dari dalam saku celananya. 

Bobi menggelengkan kepala. Tak ada cara untuk mengubungi istrinya. Dia pun kembali melanjutkan perjalanan. 

“Kita mau ke mana?” tanya Ajeng. 

“Sudah aku bilang kalau aku mau cari keponakanku.”

“Mas yakin dia masih hidup? Bertahan hidup di hutan nggak mudah,” timpal Ajeng. 

“Lalu kenapa kau masih hidup?” tanya Bobi sambil terus jalan. 

“Aku bisa berburu. Selama tersesat di gunung ini, aku makan hewan apa pun yang kujumpai, termasuk monyet,” kata Ajeng. 

“Jorok kau, makan monyet,” kata Bobi tanpa menoleh pada Ajeng.

“Daripada mati kelaparan,” timpal Ajeng. 

Bobi menghentikan langkahnya, “Ssstt…, berhenti!” pinta Bobi. 

“Ada apa?” Ajeng penasaran. 

Bobi melihat ada bekas telapak kaki di atas lumpur. Tapak itu mengarah ke sebelah kanan. Dengan hati-hati Bobi dan Ajeng mengikuti tapak itu. Dari ukurannya, bekas telapak kaki itu pasti milik orang dewasa. 

“Ada orang ya?” Ajeng memang banyak tanya. 

“Jangan banyak tanya!” desis Bobi sambil menoleh dengan kesal pada Ajeng. 

Semakin mereka mengikuti bekas telapak kaki itu, semakin terdengar sayup-sayup suara keramaian. 

“Kau dengar itu?” Bobi berhenti dan menoleh pada ajeng.

“Iya, itu pasti petugas tim SAR. Asyik kita selamat!” Ajeng sumringah. Dia tak sabar ingin cepat keluar dari gunung ini. 

“Jangan gegabah, kita cek dulu!” saran Bobi.

Dengan sangat hati-hati mereka kembali mengikuti tapak kaki itu. Saat Bobi menyibakkan sebuah daun besar, dari sana ia melihat ada pasar yang ramai pengunjung. 

“Ada pasar,” kata Bobi tanpa menoleh pada Ajeng. 

“Hah!? Di tengah hutan seperti ini ada pasar?” Ajeng terheran-heran sambil mengerutkan dahi.

Kemudian Ajeng ikut mengintip dari balik daun besar, seketika Ajeng terkejut. Di pasar itu dia melihat ada tiga orang temannya yang sudah mati. Mereka sedang bertransaksi di pasar misterius itu. Dengan raut wajah ketakutan Ajeng bersembunyi lagi di belakang Bobi. 

“Kenapa?” tanya Bobi. 

“Ada teman saya yang udah mati, Mas. Itu pasti pasar setan.” 

Dan saat Bobi mengintip kembali, pandangannya terhalang oleh sebuah kaki. Ternyata ada seseorang yang berdiri di hadapan Bobi, tapi anehnya kaki itu hanya ada satu. 

“Mas! Lihat, Mas!” Ajeng menepuk pundak Bobi sambil menunjuk ke atas. 

Saat Bobi mendongak, dilihatnya ada sebuah kaki yang menjulang tinggi. Entah berapa meter, kaki itu hanya satu dan tanpa tubuh. Ukurannya seperti kaki orang dewasa, tapi tingginya tak wajar. 

“Lari!” teriak Bobi. 

Ajeng pun lari sekuat tenaga, sedangkan Bobi mengikutinya dari belakang. Bobi merasa mereka sudah jauh dari pasar setan itu. Tapi, anehnya mereka malah balik lagi ke tempat semula.

Bobi kesal. Dia sudah bosan dipermainkan seperti ini. Dia malah sengaja lari ke tengah-tengah keramaian pasar sambil menenteng senapannya. 

“Mas, jangan, Mas!” teriak Ajeng dari kejauhan. 

Bobi sekarang berada di tengah kerumunan orang yang sedang melakukan transaksi jual-beli. Napas Bobi terengah-engah, keringat membasahi wajahnya. Bobi heran kenapa siang bolong seperti ini ada pasar setan. 

“Kalian dengarkan ini! Aku tidak takut sama kalian!” Bobi menceracau, tapi orang-orang di pasar itu tidak ada yang peduli sama sekali. 

Bobi menyentuh salah seorang lelaki yang sedang berdiri di dekatnya. Dan, ternyata Bobi tidak dapat menyentuh lelaki itu. Tubuh lelaki itu membias seperti embun. Bobi lalu menyentuh setiap orang yang ada di sana. Ternyata orang-orang itu juga tidak dapat Bobi sentuh. 

Bobi menyerah. Dia malah menangis sambil mendongak ke langit. Wajahnya kumal dan penuh bercak lumpur. 

“Aku mohon tolong kembalikan Mira dan jangan ganggu keluargaku.”

Bobi merengek di tengah keramaian pasar setan. Dan, saat itu juga dari kejauhan, Bobi melihat sosok wanita yang berpakaian layaknya ratu kerjaan. Bobi ingat kalau wanita itu yang pernah ia jumpai beberapa hari lalu.

Tepat di samping wanita itu ada Mira yang sedang berdiri menatap Bobi. Mira tersenyum. Tapi, wajahnya pucat seperti orang yang sudah mati. 

“Mira…,” desis Bobi. 
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya
close