Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kualat Gunung Pulosari: Mereka Masih di Gunung (Part 8)

Aku Bobi, om-nya Mira. Apa yang harus aku katakan kepada ibunya Mira kalau ia tahu Mira hilang di gunung? Seharusnya aku tidak mengizinkannya naik gunung. Mira sudah kuanggap sebagai anak sendiri. Apalagi ketika ayahnya meninggal. Semenjak itu aku bertekad akan menjadikannya seorang sarjana. 

Aku Bobi, om-nya Mira. Apa yang harus aku katakan kepada ibunya Mira kalau ia tahu Mira hilang di gunung? Seharusnya aku tidak mengizinkannya naik gunung. Mira sudah kuanggap sebagai anak sendiri. Apalagi ketika ayahnya meninggal. Semenjak itu aku bertekad akan menjadikannya seorang sarjana. 

ADVERTISEMENT

Aku punya firasat kalau Mira dan teman-temannya masih hidup. Mereka masih ada di gunung. Dan, aku tidak menyangka kalau si Ori yang selama ini kupercaya malah mengecewakan. Di situasi seperti itu, dia kuanggap sangat egois karena meninggalkan Mira dan teman-temannya begitu saja. 

Hari ini aku mendatangi rumah Ori. Dia harus menemaniku naik Pulosari untuk mencari Mira. Sebenarnya, istriku tidak memperbolehkanku naik Gunung Pulosari. Terlalu berbahaya katanya. Ditambah, semua akses ke sana sudah ditutup karena ada longsor.

Aku harus mencari jalan alternatif agar tidak ketahuan warga yang bermukim di sekitar gunung. Semua peralatan pun sudah aku siapkan. Mulai dari tenda dome, kantung tidur, karpet, persediaan makanan, pisau kecil, dan alat-alat lain. Semua sudah kukemas ke dalam tas gunung. Aku juga membawa senapan angin untuk jaga-jaga. 

“Ada apa ya, Om?” Ori tampak terkejut saat tiba-tiba aku datang ke rumahnya. 

“Temani aku naik ke Pulosari untuk mencari Mira,” pintaku. Ori gelagapan. I mungkin bingung mau ngomong apa.

“Anak saya enggak akan saya biarkan naik ke gunung itu lagi,” dari dalam kamar muncul seorang lelaki tua. Itu bapaknya Ori. 

“Anak Bapak harus tanggung jawab. Dia yang membiarkan Mira hilang begitu saja.” 

“Anak saya juga korban. Dia bukan pelaku. Mau sampai kapan Anda menuduh anak saya, hah?!” lelaki tua itu menunjuk wajahku. Ia tampak marah. 

“Maaf, Om. Aku enggak bisa naik ke gunung itu lagi. Mira enggak bakal bisa balik. Dia ada di alam jin,” ujar Ori. Dia duduk di hadapanku. 

“Bullshit! Aku enggak percaya sama cerita fiksimu itu. Mana ada alam jin? Mira pasti masih hidup!"

“Terserah, Om, mau percaya atau enggak. Dulu aku juga seperti om yang enggak percaya sama setan. Tunggu saja setelah Om naik gunung itu. Om pasti tidak akan meremehkan hal-hal gaib lagi,” Ori meyakinkanku. 

Aku menarik paksa lengan Ori. Aku memaksanya menemaniku ke Pulosari. Bapaknya marah. Ia pergi ke dapur dan kembali dengan membawa golok. 

“Kau bawa anakku, kugorok lehermu!” Ancamnya, sambil mengacungkan golok. 

Aku mengembuskan napas berat. Kulepas genggamanku, lalu menoleh ke wajah Ori yang ketakutan. 

“Mira masih hidup. Dan, akan aku buktikan itu,” kataku di telinga Ori. 

“Semoga selamat, Om,” jawabnya.

Aku lalu pergi tanpa pamit dari hadapan mereka. 

“Mah... bangun, Mah...,” kuguncangkan tubuh istriku. 

“Jadi berangkat, Pah?” ia bangun. Kedua matanya masih terpicing. 

Kukecup kandungannya yang sudah lima bulan itu. Dia tengah mengandung anak kedua kami. 

“Papah berangkat, ya? Doakan supaya Papah berhasil membawa tantemu pulang,” kukecup lagi perut istriku, lalu mengelus anak pertamaku yang sedang tidur pulas. 

“Berapa hari, Pah?” tanya istriku. 

“Paling lama tiga hari.”

“Hati-hati, Pah. Pulang saja kalau tidak ketemu. Nanti kita ngomong baik-baik saja ke ibunya Mira.”

“Papah yakin Mira dan teman-temannya masih hidup. Papah pasti bisa menemukan mereka.”

Kulirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Jam jam satu dini hari. Segera kuraih tas ransel dan senapan angin. Juga topi koboi yang langsung kukenakan layaknya aktor Jeff Bridges. Aku berangkat dengan mengendarai motor Scorpio yang sudah kumodif sedemikian rupa. 

Tadi siang, aku sudah mencari tahu mengenai jalur pendakian yang jauh dari permukiman warga. Jadi tidak akan ada satu pun warga yang tahu tentang pendakian ini. Setelah menempuh perjalanan selama satu jam, akhirnya aku tiba di lokasi pendakian. 

Motor kugembok di bagian lubang cakramnya. Aku sengaja menempatkannya tersembunyi di semak-semak. Dari kejauhan terdengar suara burung hantu berkukuk. Itu membuat suasana menjadi mencekam.

Kuarahkan cahaya senter ke jalan setapak yang sudah dirimbuni rumput. Jalan ini seperti sudah lama sekali tidak dilintasi manusia. Medan yang kutempuh pun semakin menanjak. Senter kupasangkan di moncong senapan. Aku harus siaga, kalau tiba-tiba ada binatang buas yang tiba-tiba menyerang.

Tak lama kemudian, aku berhenti melangkah. Terdengar suara menelisik di balik semak-semak. Suara itu diikuti dengan dengkur babi. Dengan panik kuarahkan moncong senapan ke semak-semak itu, lalu menembakkannya. Babi itu lari terbirit-birit.

“Om...,” seseorang memanggilku. Aku sangat mengenali suara itu. Ya, itu suara Mira. Suaranya menggema di langit.

“Mira! Mira!” aku mendongak sambil memanggil namanya. 

Entah dari mana datangnya, di hadapanku muncul seorang wanita cantik yang berpakaian layaknya ratu kerajaan. Dia tersenyum mengerikan ke arahku. Kulihat kakinya tidak menapak tanah. Ia melayang dan perlahan mendekat ke arahku mematung. 

Beberapa kali kutembakkan senapan anginku ke arah wanita itu, tapi tidak mempan. Dia terus mendekat ke arahku. Aku semakin terdesak. Kakiku seperti keram dan tidak bisa digerakkan. 

“Siapa kau?” tanyaku, parau sebelum suaraku tercekat di pangkal tenggorokan.
-------------
Pendakian Kedua
---------------‐-----
Bobi terkapar tak sadarkan diri di bawah pohon besar. Pakaiannya penuh dengan bercak lumpur. Topi koboinya hilang entah ke mana. Senapannya tergeletak tak jauh dari tubuhnya.

Terakhir kali Bobi sadar dia dibawa oleh sosok wanita yang berpakaian layaknya ratu kerajaan. Entah apa yang selanjutnya terjadi, tiba-tiba sekarang dia malah terkapar di bawah pohon besar ini. 

Kelopak mata Bobi bergerak. Dalam satu hentakan, kedua matanya membelalak. Bobi menarik napas dalam-dalam seperti orang yang baru saja tenggelam. Kemudian napasnya terengah-engah, telinganya berdengung hebat. Ia mengerang-erang sambil menutup kedua telinganya dengan telapak tangan. 

Semakin lama telinganya berdengung semakin keras. Bobi berteriak kesakitan. Dengan terburu-buru, dia merogoh botol air minum dari dalam tasnya lalu menyiram telinganya sendiri.

Perlahan rasa sakit itu reda. Bobi kembali berbaring. Dia menatap dahan-dahan pohon yang rindang, tapi tatapan itu kosong. 

Bobi masih bingung dengan apa yang telah dialaminya. Siapa wanita yang berpakaian seperti ratu kerajaan itu? Apakah dia penguasa gunung Pulosari? Tak lama kemudian terdengar suara sesuatu yang mendekat dari balik semak-semak. 

Bobi dengan sigap meraih senapannya. Sebenarnya senapan itu sudah kehabisan peluru. Tapi, setidaknya Bobi bisa menggunakannya untuk memukul kepala babi hutan. 

"Siapa kamu?" tanya Bobi sambil tetap waspada. 

Dari balik semak-semak muncul seorang anak lelaki yang umurnya kisaran 9 tahun. Dia menjinjing lima botol air yang kosong. Pakaiannya kumal, wajahnya pucat seperti orang yang sedang sakit. 

"Fatih," kata anak kecil itu dengan suara pelan. 

"Fatih...," Bobi mengulang jawaban si anak kecil. 

"Kenapa kamu ada di sini?" tanya Bobi lagi. 

"Aku penjual air minum buat para pendaki dan aku tersesat. Aku nemuin banyak mayat pendaki di sana Om," kata Fatih sambil menunjuk ke arah Selatan. 

"Antar aku ke sana," Bobi mendekati anak itu. 

"Aku lapar, Om," anak itu mendongak, menatap wajah Bobi. 

Bobi pun langsung merogoh biskuit dari dalam tasnya. 

"Ini makan dulu. Jangan khawatir kita pasti keluar dari gunung ini," kata Bobi. 

"Tapi sebelum itu, aku harus menemukan keponakanku dulu. Dia hilang di gunung."

"Namanya Mira, bukan?" tanya anak kecil itu sambil mengunyah biskuit. 

Bobi terkejut. Dia langsung memegang pundak Fatih. 

"Iya namanya Mira. Kamu lihat dia? Di mana dia sekarang?"

"Tadi malam aku ketemu sama Mbak Mira. Dia orangnya baik banget," Fatih mengambil kembali sekeping biskuit dari dalam kemasan. 

"Iya kamu ketemu sama Mira di mana? Aku Om-nya. Dia hilang di gunung ini," nada bicara Bobi meninggi. Dia tidak sabar ingin segera menemukan Mira. 

"Aku lupa tempatnya, Om. Tapi Mbak Mira nggak sendirian. Dia sama suaminya."

"Hah, suami!?" Bobi mengerutkan dahi. 

Bobi curiga. Jangan-jangan itu bukan Mira yang dia cari. 

"Miranya sudah tua atau masih muda?" tanya Bobi. 

"Masih muda, Om."

Bobi mengambil sebuah foto dari dalam tasnya, "Apa wajahnya seperti ini?" 

"Iya, betul itu Mbak Mira."

"Tolong ingat-ingat lagi, semalam kamu ketemu dia di mana?" tanya Bobi. 

Fatih berhenti mengunyah. Matanya melirik ke atas. Dia sedang berusaha mengingat tempat semalam. 

"Oh... ya, aku lihat ada kuburan. Mbak Mira sama suaminya berziarah di kuburan itu. Kalau nggak salah lokasinya di sebelah sana," Fatih menunjuk ke sebuah arah. 

"Ayo kita ke sana sekarang," Bobi memegang lengan anak itu. 

Kini dalam pencariannya Bobi tidak sendirian. Dia ditemani Fatih, anak kecil si penjual air yang juga tersesat di gunung Pulosari. Mereka terus berjalan menembus semak belukar. Sesekali Bobi menebas pohon-pohon kecil yang rantingnya menghalangi jalan. 

"Kamu yakin jalannya ke arah sini?" tanya Bobi. 

"Iya, Om. Seingatku ke sini," kata Fatih. 

"Tapi ini semak belukar. Fatih?" tiba-tiba Fatih menghilang. Bobi menoleh ke segala arah mencari keberadaan anak itu. 

"Om..., hahaha," Fatih sudah ada di atas dahan pohon besar. Wujudnya berubah, ia telanjang bulat. Tubuhnya putih semua, matanya besar dan juga bertaring. 

"Sini main, Om!" 

Melihat kejadian itu, Bobi langsung lari tanpa arah. Ia menerjang semak belukar. Bobi tak menyangka kalau anak kecil itu adalah jelmaan setan.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya
close