Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kualat Gunung Pulosari: Kerajaan Jin Curug Putri (Part 7)

Aku tidak tahu kenapa sang Ratu malah menyelamatkan kami berdua. Berbeda dengan para pendaki lainnya yang mati dengan sangat mengenaskan. Aku dan Uswah malah diberi makan sampai kenyang dan sekarang dikasih jalan untuk pulang. Itu sangat aneh. 

satu pun pendaki yang kami temui. Jalan setapak itu sepi, padahal kata Riki orang-orang lebih suka mendaki di malam hari ketimbang siang. Aku curiga kalau akses ke gunung ini sudah ditutup. 

Uswah berhenti, ia memegang lutut, tampak sangat kelelahan. Dari tadi kami memang berlari kecil agar cepat tiba di perkampungan warga. Aku rasa perjalanan ini masih jauh, kami bahkan belum sampai ke perkebunan pisang warga. 

“Biar gua yang bawa tas lu,” aku membuka tasnya. 

Kami kembali melanjutkan perjalanan. Namun, kali ini tidak berlari. Aku kasihan pada Uswah yang seolah tidak sanggup lagi untuk jalan. Tidak lama berselang, akhirnya kami tiba di perkebunan warga. Kulihat banyak sekali kawanan babi yang menyerang kebun itu. 

Kami tidak mau mengambil risiko dan membiarkan kawanan babi itu merusak kebun pisang. Semakin lama, akhirnya aku melihat gemerlap cahaya lampu dari rumah-rumah warga. Kami berdua sangat senang sampai meneteskan air mata. Aku tidak menyangka kalau aku bisa bertahan hidup selama berhari-hari di gunung ini.

Sekitar jam 3 dini hari, kami akhirnya tiba di parkiran motor. Kudapati masih banyak motor yang terparkir di sana, tapi anehnya pos itu sepi. Tidak ada satu orang pun yang berjaga di sana. Segera kukeluarkan motorku dari parkiran lalu pergi dari pos itu. 

Saat tiba di perbatasan kampung, kami dicegat oleh tiga orang lelaki berbadan kurus tinggi. Aku kira mereka sedang ronda, tapi ternyata bukan. Mereka sengaja menutup akses jalan itu, kami disuruh turun dari motor. 

“Pendaki, ya?” tanya salah satu dari mereka. 

“Iya Pak, teman-teman kami tewas. Hanya kami yang selamat,” kataku dengan hati-hati. 

“Namamu Tubagus?” tanyanya lagi.

“Iya Pak, saya Tubagus Asrori.”

“Dan kamu Ratu?”

“Iya saya Ratu Uswah Khasanah,” jawab Uswah, suaranya parau. Dia sudah sangat kelelahan. 

Mereka mengangguk-angguk, aku tidak mengerti apa maksudnya.

“Boleh kami pergi, Pak?” tanyaku. Aku sudah tidak tega melihat Uswah yang semakin kelelahan. 

“Tunggu dulu. Mari ikut kami,” lelaki yang mengenakan peci hitam menarik tanganku. 

“Ke mana, Pak?”

“Menghadap tetua kampung ini.”

“Untuk apa, Pak?” tanya Uswah. 

“Kaliah harus dibersihkan dulu sebelum pulang. Di gunung banyak dedemit. Kami hanya ingin membantu kalian,” lelaki itu memaksa. 

“Kami tidak merasa perlu dibersihkan Pak. Kami harus pulang sekarang,” aku merogoh kembali kunci motor. 

Kulihat salah satu dari mereka menyentuh golok yang diikatkan pada pinggang. 

Uswah berhus, ia menyuruhku untuk menuruti saja kemauan mereka. 

“Kalian jangan khawatir. Di rumah tetua ada tiga pendaki lainnya yang selamat. Kami tidak ada niatan jahat dan hanya mau membantu kalian,” ujar lelaki itu lalu menyalakan rokok kreteknya. 

Kami dibawa ke sebuah rumah panggung, di dalam rumah itu ada tiga orang pendaki yang kondisinya semrawut. Wajah mereka tampak sangat kelelahan, jaketnya penuh noda lumpur, mereka terdiri dari dua orang perempuan dan satu orang lelaki. 

“Ah, masih ada yang selamat. Silakan duduklah.”

Seorang kakek berbadan kurus kering dan rambutnya sudah putih semua, menyambut kedatangan kami. Tidak ada kursi di ruang tamu, kami duduk di atas tikar pandan. 

“Seperti yang sudah kukatakan tadi kalau kalian adalah orang-orang yang beruntung bisa selamat dari gunung itu.” 

Aku mengerutkan dahi sambil menatap kakek itu. 

“Nama kalian Tubagus dan Ratu itu adalah nama dari keturunan kesultanan Banten. Jadi dedemit tidak akan berani menyakiti kalian, tapi tetap kalian harus dibersihkan. Takutnya ada saja jin yang nempel di tubuh kalian.” 

Kakek itu berbicara sambil tersenyum ramah. 

Aku mengangguk paham, pantas saja saat di kraton kami disuruh berziarah pada Sultan Maulana Hasanuddin.

"Pantas kami disuruh berziarah pada Sultan Maulana Hasanuddin," kataku.

"Kalian berziarah secara gaib. Makam sebenarnya ada di Banten, sesekali berziarahlah ke sana," kata kakek itu.

Lanjutnya, “Dulu Sultan Maulana Hasanuddin pernah tingal di Gunung Pulosari dan berhasil menebarkan ajaran Islam di sekitar pegunungan.”

Aku tidak pernah menyangka kalau nama Tubagus yang disisipkan di depan Asrori adalah penanda bahwa aku masih ada hubungan darah dengan kesultanan Banten. Pantas saja, nama Tubagus itu selalu ada turun temurun di keluargaku. Dari kakek, bapak, dan sekarang aku dan adik-adikku mempunyai nama berawalan Tubagus. 

“Aku tahu kalian semua pasti pernah masuk ke kerajaan jin Curug Putri. Sebelum pulang ke rumah, tubuh kalian harus dibersihkan terlebih dahulu. Takutnya ada jin yang masih menempel.” 

Kakek itu menyuruh kami untuk mandi bergantian di sumurnya. Sumur itu sudah ditaburi bermacam-macam kembang. Aku merasa sangat segar ketika air itu menyentuh tubuhku. 

Setelah itu, satu persatu kami dibacakan doa. Semua tampak baik-baik saja hingga tibalah giliran Uswah yang dibacakan doa. Tangan si kakek menyentuh ubun-ubun Uswah, ia pun mengerang kesakitan, kedua tangannya mengapal, ia mengamuk. 

“Tuh, masih ada jin dalam tubuhnya yang ikut pulang,” kata kakek itu sambil terkekeh. 

“Kau jangan macam-macam sama keturunan Sultan. Keluar!” bentak kakek itu. 

Uswah semakin mengamuk. Ia tertawa lalu menangis tidak karuan. 

“Ini jin yang masih kanak-kanak. Kalau tidak dikeluarkan biasanya mengganggu pas tidur,” jelas si kakek. 

Air disemburkan ke wajah Uswah, ia pun lunglai lalu pingsan.
-----------------
Aku Masih Hidup
-----------------------------
Sekitar jam tujuh pagi, Uswah siuman. Kami diperlakukan dengan sangat baik oleh warga kampung. Banyak dari mereka yang menjenguk dan memberi kami makanan. Bahkan, kami tidak diperbolehkan untuk mengendarai motor. Salah satu petugas desa mengantar kami ke rumah masing-masing. Sementara motorku diangkut pakai mobil pikap. 

Sekitar jam tujuh pagi, Uswah siuman. Kami diperlakukan dengan sangat baik oleh warga kampung. Banyak dari mereka yang menjenguk dan memberi kami makanan. Bahkan, kami tidak diperbolehkan untuk mengendarai motor. Salah satu petugas desa mengantar kami ke rumah masing-masing. Sementara motorku diangkut pakai mobil pikap. 

ADVERTISEMENT

Di hari yang sama, Gunung Pulosari longsor. Pemerintah daerah kemudian menutup secara resmi jalur pendakian ke gunung itu. Om Bobi, yang tak lain adalah Om-nya Mira sangat marah kepadaku. Bahkan, dia membawa perkara ini ke pengadilan. Ia menganggapku lalai menjaga Mira. 

Untung saja aku bebas dari tuntutan karena aku termasuk korban yang ikut hilang dalam pendakian. Tidak ada bukti kuat kalau aku menyakiti, bahkan membiarkan Mira celaka. Om Bobi yang keras kepala malah berniat mendaki Pulosari untuk mencari Mira. Dia tidak rela kehilangan orang yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri.

Setelah kejadian di gunung, aku mengalami trauma. Aku sering berdiam diri di rumah. Aku tidak menyangka kalau aku masih hidup. Andai saja namaku bukan Tubagus, mungkin saja aku sudah mati di gunung itu.

Tak ada kabar tentang pencarian Mira. Juga para pendaki lain yang hilang. Walau tim SAR sudah berusaha, tapi sampai saat ini pencarian itu masih belum membuahkan hasil. 

Aku tahu kalau Mira memang masih hidup di sana. Ia berdampingan dengan jin. Dan, aku yakin roh Eldi dan Riki juga terperangkap di sana. Mereka mati dengan tidak tenang. Aku tidak menyangka sebuah kecerobohan kecil bisa berakibat sangat fatal. 

Walau aku sudah berhasil keluar dari gunung itu, tapi mimpi buruk tentang gunung itu kerap kali menghampiriku. Dalam mimpi, aku pernah bertemu dengan Mira. Dia terlihat sangat bahagia dan sudah punya lima puluh anak. 

Aku selalu membujuknya untuk pulang. Tapi, dia tetap tidak mau. Dalam mimpi juga aku pernah bertemu dengan Eldi. Ia menjadi budak para jin gunung. Aku melihatnya sedang bekerja memecah bebatuan besar menggunakan palu besar. Kalau dia lelah dan berhenti maka sosok makhluk dengan lidah yang menjulur ke tanah akan mencambuk punggung Eldi. Aku menangis melihatnya seperti itu. 

Aku juga bertemu dengan Riki dalam mimpi. Yang terjadi dengannya sangat berbeda. Kulihat rohnya sepanjang hari dan malam selalu duduk di bawah pohon besar. Tatapnya kosong, wajahnya terlihat sedih. Bahkan, ia masih mengenakan jaket dan tas gunung. Dalam mimpi itu aku sempat menyapanya.

“Riki!” sapaku.

Dia tidak menjawab. Menoleh pun tidak sedikit pun. 

“Rik!” aku menyentuh pundaknya. 

Tiba-tiba ada air liur yang menetes ke tanganku dari atas pohon. Aku mendongak. Di dahan pohon besar, ada sosok wanita yang badannya mungkin sebesar kerbau. Ia mengenakan jubah merah, wajahnya hitam, serta air liur menetes-tetes dari mulutnya. 

Sosok wanita itu lalu menjulurkan rambutnya yang panjang. Ia melilit leher Riki dengan rambut itu kemudian mengangkatnya ke atas pohon. Aku menggapai-gapai tubuh Riki, tapi tidak berhasil. Dia menjadi mainan makhluk penghuni pohon. Riki diciumi oleh makhluk itu. Air liurnya yang bau dan lengket membasahi wajah Riki. 

Mimpi-mimpi buruk itu terus datang hampir setiap malam. Bahkan, aku pernah melihat para pendaki yang rohnya menjadi kawanan monyet. Mereka berlarian dari dahan ke dahan pohon lainnya. Dari semua mimpi itu dapat kusimpulkan kalau para pendaki di Gunung Pulosari yang tidak selamat akan menjadi budak jin di sana.

Suatu sore, saat aku sedang termangu di jendela kamar, seseorang mengetuk pintu rumah. Segera kubukakan pintu.

“Ori!”

Aku terkejut saat melihat lelaki yang berdiri di hadapanku. Dia Om Bobi. Tanpa dipersilakan masuk, ia menerobos dan langsung duduk di sofa. Ada yang aneh dengan penampilannya. Ia seperti hendak naik gunung. Ia juga menenteng senapan angin di tangan kanannya. 

“Ada apa ya, Om?”

“Temani aku naik ke Pulosari untuk mencari Mira,” pintanya.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya
close