Pengantin Jawa - Benjolan di Punggung Pengantin (Part 2)
Keesokan paginya, kampung Mojosari masih tampak mencekam. Para pemuda yang biasanya sepagi ini udah nongkrong di pos ronda memilih berdiam diri di rumah.
Mungkin karena semalam ada orang yang menikah di gubuknya si Kanti. Mereka yakin kalau pernikahan di kampungnya itu membawa sial. Jadi, biasanya mereka akan mengurung diri di rumah selama tiga hari.
Lain halnya dengan Ki Suratman, dia tidak percaya dengan mitos itu. Sepagi ini dia sudah berada di kandang kuda miliknya. Setiap pagi Ki Suratman memang rajin memandikan kuda kesayangannya.
Di rumahnya, Ki Suratman tinggal berdua dengan pembantunya, Mbok Hafsah. Walau sudah tua, Mbok Hafsah masih tampak lincah dan cekatan kalau diperintah oleh Ki Suratman. Selain membersihkan rumah majikannya, Mbok Hafsah juga rutin mengantarkan makanan untuk Kanti.
Tidak seperti warga kampung lainnya, Mbok Hafsah sama sekali tidak takut pada Kanti. Dia sudah terbiasa berinteraksi dengan perempuan malang itu.
“Mbok Hafsah…!” panggil Ki Suratman. Tangannya masih sibuk menggosok tubuh kuda dengan sikat.
“Iya, Ndoro,” sahut Mbok Hafsah. Dengan tergopoh-gopoh dia muncul dari dapur.
“Kanti udah dikasih makan?” tanya Ki Suratman tanpa menoleh ke arah Mbok Hafsah.
“Belum, Ndoro,” jawab Mbok Hafsah sambil tertunduk.
“Ya udah, sana kasih makan,” ujar Ki Suratman.
“Baik, Ndoro.”
Mbok Hafsah segera beranjak ke dapur lagi. Sesaat kemudian dia muncul kembali dengan membawa rantang nasi. Ia lalu pergi ke gubuknya Kanti. Mbok Hafsah sebenarnya kasihan melihat kondisi Kanti. Dia ingin sekali memandikan perempuan malang itu. Tapi Ki Suratman melarangnya.
Sesampainya di depan gubuk, Mbok Hafsah membuka rantai yang membelenggu pintu gubuk. Ia pun masuk ke dalamnya, dilanjutkan dengan membuka rantai pintu kamar Kanti.
Pintu itu perlahan dibuka menimbulkan suara derit yang nyaring. Seketika saja rantang yang dibawa Mbok Hafsah jatuh. Nasi dan tempe tumpah acak-acakan. Tanpa pikir panjang lagi, dia langsung lari sekuat tenaga untuk memberi tahu Ki Suratman.
Tidak sampai sepuluh menit, Mbok Hafsah sudah sampai di halaman kandang kuda Ki Suratman. Dia tidak langsung berbicara, napasnya tersengal. Mbok Hafsah memegang kedua lututnya. Dia kelelahan karena lari dengan seluruh tenaga yang ia punya.
“Ndoro… Kanti, Ndoro…,” kalimatnya terputus-putus.
“Kamu itu kenapa, Mbok? Ada apa sama si Kanti,” Ki Suratman juga ikut panik.
“Kanti hilang, Ndoro!” akhirnya kalimat itu keluar dari mulut Mbok Hafsah.
“Hah? Hilang? Yang benar kamu, Mbok?”
“Sumpah, Ndoro. Saya nggak lihat Kanti di kamarnya. Bahkan, balok pasungnya juga hilang.”
“Bangsat!” umpat Ki Suratman.
Dia masuk ke dalam rumahnya untuk mengambil sebuah keris. Pastilah itu keris sakti. Dulu keris itu pernah ia gunakan saat menangkap Kanti. Ki Suratman pergi ke gubuk Kanti. Dan, benar saja apa yang dikatakan Mbok Hafsah. Si Kanti menghilang. Bahkan, balok pasungannya juga hilang. Ini aneh!
Tidak butuh waktu lama, kabar tentang hilangnya Kanti langsung menyebar ke seluruh warga kampung Mojosari. Kabar itu membuat mereka panik dan ketakutan. Jadi, selama Kanti dikabarkan hilang, kampung itu seketika tambah sepi. Hanya orang-orang pilihan Ki Suratman saja yang berkeliaran setiap malam untuk mencari keberadaan Kanti.
Tidak terkecuali dengan Bima dan Anjani, sudah beberapa hari ini mereka berdiam diri di rumah. Bima sudah punya rencana akan membawa Anjani ke kota. Dia yakin kehidupan mereka di sana akan lebih nyaman ketimbang di Mojosari.
Malam itu Anjani sedang mematut diri di depan cermin sambil menyisir rambutnya yang panjang. Bima masuk ke dalam kamar dan langsung menyentuh kedua pundak istrinya itu. Dari pantulan cermin, Bima memperhatikan paras istrinya yang cantik. Anjani pun tersenyum.
Bima memeluk istrinya lalu membaringkannya di atas kasur. Namun, baru saja Bima hendak merangkul istrinya, tiba-tiba Anjani berteriak. Ia melihat bayangan Kanti terpantul di cermin.
“Kenapa, Sayang?” tanya Bima kaget.
“Tadi ada Kanti di cermin,” napas Anjani terengah-engah. Raut wajahnya sangat ketakutan.
“Mana? Nggak ada kok,” kata Bima.
Bayangan itu menghilang. Padahal, jelas-jelas Anjani baru saja melihat Kanti berpakaian pengantin sedang berdiri di cermin. Anjani juga melihat kalau kedua kaki Kanti masih dipasung.
Sesaat setelah Anjani melihat bayangan Kanti, tiba-tiba ia meringis kesakitan. Tangannya mencoba menggapai-gapai punggungnya yang terasa ada sesuatu.
“Ada apa sayang?”
“Punggung aku sakit,” jawab Anjani sambil meringis.
Bima memeriksa punggung istrinya. Ia menemukan benjolan kecil sebesar biji kelereng di punggung istrinya sebelah kanan.
“Ada benjolan. Besok kita periksa ke dokter ya,” Bima menutup kembali baju istrinya.
Semalaman suntuk, Anjani tidak bisa tidur. Benjolan di punggungnya seakan bergerak-gerak, bikin ngilu dan perih. Beberapa kali ia membangunkan suaminya karena rasa sakit itu semakin parah.
Keesokan paginya, wajah Anjani pucat. Tubuhnya juga sangat lemas. Tanpa pikir panjang lagi, Bima meminta izin kepada orang tua Anjani untuk membawanya ke kota. Benjolan di punggung Anjani harus diperiksa oleh dokter spesialis.
Jam 9 pagi, Bima dan Anjani sudah berkemas. Mereka berangkat menggunakan mobil SUV. Sambil menyetir sesekali Bima memperhatikan istrinya yang semakin pucat itu. Dia khawatir kalau nanti benjolan itu tidak bisa disembuhkan secara medis.
Sesaat sebelum mobil mereka keluar dari kampung Mojosari, tiba-tiba Bima melihat Kanti berdiri di antara pohon bambu di pinggir jalan. Bima menelan ludah. Dia mencoba untuk tenang dan tetap fokus menyetir mobil.
Aku Mengubur Istriku di Kamarku Sendiri
Bima punya rumah di kota metropolitan. Rumah itu ia beli dua tahun lalu dari seorang pengusaha tambang batubara. Setelah resmi menjadi miliknya, Bima mengubah rumah itu menjadi nuansa Jawa.
Maksudnya biar dia merasa ada di kampung halaman. Bagian depan rumah itu dibuat seperti rumah joglo dengan hiasan lampu khas Jawa di depannya. Di beranda rumah itu, ada kursi dan meja yang terbuat dari kayu jati.
Sebenarnya, rumah ini jarang sekali Bima tempati. Maklum dia itu adalah seorang pebisnis kopi. Jadi, ia lebih sering tinggal di luar kota ketimbang di rumah mewahnya itu. Selama Bima berada di luar kota, rumah itu hanya dijaga oleh seorang satpam. Itu pun hanya menjaga keamanannya saja. Urusan bersih-bersih itu bukan tanggung jawabnya.
Oleh karena itu, saat pertama kali Anjani menginjakkan kaki di rumah Bima, ia terkejut karena tidak menyangka kalau suaminya punya rumah sebesar ini di kota. Dia juga bingung bagaimana cara membersihkan rumah sebesar itu. Debu menempel di mana-mana, juga banyak sarang laba-laba.
“Mas, rumah ini sudah berapa tahun nggak kamu tempati?” tanya Anjani.
“Dari pertama beli sekitar dua tahun lalu. Habisnya aku selalu sibuk di luar kota.”
“Sayang sekali ya, Mas. Padahal rumahnya bagus banget,” Anjani masih memperhatikan ruang tamu di rumah itu.
“Aku sengaja beli rumah ini buat persiapan aja. Biar kalau udah berkeluarga, aku nggak bingung nyari rumah. Dan, mulai dari sekarang, kita akan tinggal di rumah ini,” Bima merangkul pundak istrinya sambil tersenyum.
“Aku bingung cara bersihin rumah sebesar ini, Mas,” ucap Anjani.
“Jangan khawatir. Kamu istirahat aja. Nanti biar aku suruh orang buat bersihin rumah kita, ya.”
Bima dan Anjani menempati kamar yang dekat dengan ruang tamu. Kamar itu juga bernuansa etnik Jawa. Di bagian dipannya ada ukiran kata-kata menggunakan bahasa sanskerta yang Bima sendiri tidak tahu artinya.
Satu minggu sudah Anjani tinggal bersama Bima di rumah itu. Tapi, benjolan di punggungnya tidak kunjung sembuh. Sekali pun Anjani sudah dioperasi, benjolan itu tetap tumbuh lagi. Sekarang benjolannya malah bertambah menjadi tiga. Bengkaknya terus membesar seperti akan pecah.
Bima sudah membujuk Anjani untuk dirawat di rumah sakit, tapi dia tidak mau. Anjani tidak mau menjadi orang pesakitan. Dia ingin tetap mendampingi suaminya di rumah. Akhirnya setiap hari, dokterlah yang berkunjung ke rumah Bima untuk memeriksa secara rutin kondisi Anjani.
Sayangnya, semakin lama kondisi Anjani semakin memburuk. Benjolan itu memang sudah agak kempes, tapi warna kulit punggungnya seperti memar dan busuk. Sekarang Anjani hanya bisa berbaring di tampat tidurnya.
Di saat seperti itu, Anjani meminta sesuatu pada Bima. Itu adalah permintaan pertamanya dari semenjak menikah dengan Bima. Walau Bima ini terbilang kaya-raya, tapi Anjani tidak pernah minta apa pun kepada suaminya. Baginya, hidup bersama Bima sudah lebih dari cukup.
“Mas, aku boleh minta sesuatu?” tanya Anjani dengan nada bicara yang pelan.
Ia menoleh perlahan ke arah suaminya yang sedang duduk di tepi tempat tidur.
“Boleh, Sayang. Kamu mau minta apa?”
“Aku minta dibelikan balon berbentuk hati warna merah jambu. Mas masih ingat kan? Pertama kita ketemu di pasar malam itu, Mas ngasih aku balon berbentuk hati.”
“Iya, Sayang. Hari ini juga akan aku belikan,” kata Bima sambil mengecup kening istrinya.
Tidak butuh waktu lama, Bima bisa menemukan balon gas warna merah jambu dan berbentuk hati. Balon itu ia ikatkan di tempat tidur Anjani dan dibiarkan melayang di atas. Malam itu mereka tidur bersama. Bima memeluk tubuh istrinya yang semakin kurus. Ia sangat mencintai Anjani.
Tengah malam, Anjani membangunkan suaminya. Wanita itu terlihat segar, wajahnya juga tidak pucat lagi. Dalam kondisi mengantuk, Bima bangun. Ia terkejut saat melihat Anjani bisa bangun.
“Mas, aku sembuh,” kata Anjani sambil tersenyum.
“Wah, Alhamdulillah kalau begitu,” Bima sangat senang melihat wajah istrinya yang tampak segar.
“Mas, temani aku yuk,” ajak Anjani, ia turun dari tempat tidur.
“Ke mana?” Bima melirik jam dinding, masih jam 2 dini hari.
“Ke kolam renang belakang rumah kita.”
Bima mengiyakan ajakan istrinya. Dia pun turun dari tempat tidur. Lengan Bima ditarik oleh Anjani. Wanita itu terlihat gembira sekali. Malam-malam begini, Anjani berendam di kolam renang. Bima sudah melarangnya, tapi Anjani memang bandel. Sesekali dia malah mencipratkan air ke arah Bima.
Tepat jam tiga dini hari, mereka berdua kembali ke tempat tidur. Bima memeluk tubuh istrinya, dan itu menjadi pelukan terkahir. Sebab, keesokan paginya, Anjani meninggal dunia. Dia tidur untuk selamanya.
Bima menangis. Bahkan, ia berteriak di samping jasad Anjani. Ia tidak menyangka kalau kebahagiaannya sesingkat ini.
Orang tua Anjani dijemput. Begitupun dengan orang tua Bima. Mereka semua berkumpul di kamar Anjani. Sementara itu mayat Anjani dibaringkan di atas tempat tidur dan sudah dikafani oleh Bima sendiri.
“Bu, Pak, aku mau memakamkan Anjani di kamarku sendiri,” kata Bima dengan suara yang parau. Jelas saja itu membuat orang tua Anjani kaget.
“Nggak bisa. Anjani akan kami bawa ke Mojosari,” kata bapak Anjani yang sudah tua itu.
“Aku masih sayang sama dia, Pak. Kumohon izinkan aku memakamkannya di kamar ini. Aku janji akan merawat makam Anjani dengan baik.”
“Udah gila kamu, Bim. Biarkan Anjani dikubur di kampung halamannya,” timpal ibu Bima.
“Aku belum siap kehilangan Anjani,” Bima tertunduk sambil menangis.
“Menurut ayah, biarkan saja Bima mengubur istrinya di kamar ini,” kini ayahnya Bima membela.
Kedua orang tua Anjani terdiam. Mereka seperti tengah mempertimbangkan permintaan Bima.
“Ya sudah kalau itu mau kamu. Tapi, kamu harus jaga kuburan anak kami dengan baik,” kata ayah Anjani yang akhirnya mengiyakan keinginan Bima.
“Kalian sudah gila! Mana mungkin ada kuburan di dalam kamar?” bentak ibunya Bima.
“Biarkan saja, Mah. Itu kemauan anak kita,” ayahnya Bima tetap membela anaknya.
Maka, malam itu juga lantai kamar Bima dibongkar. Anjani dikuburkan di dalam kamar itu. Balon gas berbentuk hati, diikatkan di batu nisan Anjani. Mereka tidak menyadari satu hal bahwa di sudut ruangan kamar Bima yang remang, Kanti berdiri menyaksikan pemakaman Anjani.
Kanti sudah sejak lama da di kamar itu. Dari awal dia memang mengikuti Anjani.
BACA JUGA : Haru Mahameru