Pengantin Jawa - Menikah Tengah Malam (Part 1)
Sebenarnya tidak ada yang terlalu istimewa dari kampung Mojosari. Penduduknya mayoritas bertani, para pemudanya kebanyakan pengangguran yang setiap hari hanya nongkrong di pos ronda. Kampung itu sama sekali tidak terkenal, bayi yang lahir di sana seakan sudah ditentukan garis hidupnya, ya apalagi kalau bukan menjadi orang melarat.
Namun, ada hal yang tidak lazim di kampung Mojosari. Pernikahan di kampung itu hanya bisa dilakukan tengah malam. Tidak ada keramaian apalagi pesta meriah. Orang-orang di kampung Mojosari malah takut kalau ada yang menikah di kampung mereka.
Seperti yang terjadi malam itu, semua orang menutup pintu rumah mereka rapat-rapat karena tahu kalau akan ada orang yang menikah. Di sebuah rumah kayu yang lebih pantas disebut gubuk digelar sebuah pernikahan sederhana. Gubuk itu bukanlah rumah si mempelai wanita atau pria, tapi memang pernikahan di kampung itu hanya boleh dilakukan di dalam gubuk tersebut.
Hanya ada satu kamar di sana yang tidak boleh dibuka oleh siapa pun kecuali Ki Suratman, tetua di kampung itu. Setiap ada yang menikah maka di dalam gubuk itu akan terdengar suara jeritan wanita yang pasti membuat siapa pun yang mendengarnya bergidik ngeri.
Anjani seorang mempelai wanita sudah didandani dengan sangat cantik. Ia memakai gaun adat jawa berwarna hitam dengan pernak-pernik berwarna emas yang menghiasi pakaiannya. Bima sang mempelai pria juga tidak kalah gagah, ia juga memakai pakaian adat jawa.
Tubuhnya tinggi besar, kulitnya sawo matang, dia bukan orang Mojosari, dia seorang pebisnis kopi dari kota yang awalnya hanya mencari hasil panen kopi di Jawa Timur. Hingga akhirnya Bima sampai di Mojosari dan bertemu dengan Anjani.
Di dalam gubuk itu hanya ada kedua mempelai, orang tua mereka, dan seorang penghulu yang tak lain adalah Ki Suratman. Sebelum akad dilangsungkan, Ki Suratman yang juga berpakaian adat Jawa berjalan ke arah kamar. Dia membawa semangkuk air garam di tangan kanannya, bibirnya bergetar mengucapkan mantra yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.
Ia letakkan mangkuk itu di depan pintu yang terlihat sudah sangat usang, tangan kanannya merogoh sebuah kunci. Pintu itu dikunci menggunakan rantai, Ki Suratman membukanya. Dia masuk seorang diri ke dalam kamar itu.
Di dalam sana tampak gelap sekali, bau busuk menguar menusuk hidung Ki Suratman. Lampu lima watt yang berkedap-kedip dinyalakan, dan tampaklah sesosok wanita berpakaian pengantin yang kedua kakinya dipasung menggunakan balok kayu berukuran besar.
Kedua pergelangan kakinya lecet dan berdarah. Rambutnya kusam dan sangat panjang seperti sudah bertahun-tahun tidak dipotong. Tubuhnya kurus kering, giginya hitam, mulutnya juga bau busuk. Wajahnya kotor sekali, maklum wanita itu tidak pernah dimandikan.
“Kanti…, doakan warga kita mau menikah,” kata Ki Suratman sambil menatap si Kanti.
Kanti malah tersenyum dingin. Perlahan ia mendongak ke wajah Ki Suratman.
“Salah siji soko wonge mesti mati (salah satu dari mereka pasti mati)," katanya.
“Ojo ngomong koyo ngono (jangan ngomong begitu). Anjani kuwi isih ono hubungan keluarga karo aku (Anjani itu masih ada hubungan keluarga denganku),” timpal Ki Suratman memberitahu Kanti kalau sang mempelai wanita masih ada hubungan keluarga dengannya.
Setelah itu, ia menaburkan air garam dari mangkuk pada luka di pergelangan kaki Kanti. Hal tersebut membuat wanita itu berteriak kesakitan. Itu merupakan salah satu ritual agar kedua mempelai selamat dari marabahaya.
Setelah itu, Ki Suratman memadamkan kembali lampu kamar dan mengunci pintunya. Ia duduk di hadapan kedua mempelai, Bima dan kedua orangtuanya tampak tegang sekaligus ketakutan dengan apa yang mereka dengar saat ini. Kanti masih berteriak kesakitan sambil menceracau tidak jelas.
“Itu siapa. Ki?” tanya Bima.
“Dia Kanti.”
“Kenapa dia dikurung, Ki?” tanya ayahnya Bima.
“Ceritanya panjang. Lain kali akan aku ceritakan. Sekarang kita lanjutkan saja pernikahan ini,” kata Ki Suratman.
“Tapi kami berdua sudah aman kan, Ki?” tanya Anjani si mempelai wanita.
“Tentu saja. Aku sudah melakukan semua ritualnya,” jawab Ki Suratman.
“Kenapa kita harus menggelar pernikahan tengah malam seperti ini, Ki?” tanya ibunya Bima.
“Di Mojosari memang harus kayak gini. Kalau nikahnya siang, salah satu dari mempelai bisa celaka,” Ki Suratman menjawabnya sambil senyum ramah.
Kedua orang tua Bima mulai tidak tenang. Dia takut kalau terjadi sesuatu pada anaknya. Kalau tahu begini, mungkin saja mereka tidak akan mengizinkan Bima menikah dengan orang Mojosari.
Sesaat setelah Bima mengucapkan akad nikah, pintu kamar Kanti bergetar hebat. Dari dalam kamar itu terdengar suara Kanti tertawa terbahak-bahak.
“Dekne bakal dadi koncokuk (dia bakal jadi temanku),” Kanti berteriak.
Siapa yang akan menjadi temannya? Apakah itu sebuah ancaman bagi kedua mempelai?
Semua orang yang ada di dalam gubuk itu ketakutan kecuali Ki Suratman. Ia bangkit lalu mendekat ke arah kamar Kanti.
Alasan Kanti Dipasung
Pintu itu berhenti bergetar. Suara Kanti juga tidak lagi terdengar. Ki Suratman kembali duduk di hadapan kedua mempelai. Ia berkata kepada mereka kalau semuanya masih aman terkendali. Tapi, mereka tetap saja ketakutan dan sangat cemas.
“Tolong ceritakan yang sebenarnya, Ki. Apa yang terjadi di kampung Mojosari ini?” Tanya Bima.
Bima menatap wajah Ki Suratman. Pertanyaan itu cukup mewakili rasa penasaran kedua orang tua Bima.
Sebelum Ki Suratman bercerita, ia menoleh ke arah Anjani dan kedua orang tuanya yang sudah sepuh. Anjani malah tertunduk lesu.
“Ceritakan saja, Ki,” kata bapak Anjani. Ibu Anjani juga mengangguk kepada Ki Suratman.
Ki Suratman menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Ia mulai bercerita.
“Dulu di Mojosari ini ada seorang dukun yang sangat disegani. Dia bisa menyembuhkan berbagai penyakit, membuat penglaris usaha, bahkan bisa mendatangkan jodoh seseorang,” ujar Ki Suratman. Dia mengubah posisi sila terlebih dahulu sebelum melanjutkan cerita.
“Lalu, Ki?” tanya ayah Bima, penasaran.
Ki Suratman menarik napas. “Sayangnya dukun itu malah melakukan ritual terlarang yang menyebabkan kampung kami dikutuk.”
“Ritual apa, Ki?” tanya Bima.
“Muji Setan,” jawab Ki Suratman.
“Itu ritual untuk apa, Ki?” Bima semakin penasaran.
“Awet muda. Dukun itu percaya dengan janji-janji setan dan ingin hidup abadi. Akibatnya, kampung kami terkutuk. Setiap ada orang kampung Mojosari yang menikah, beberapa hari kemudian salah satu mempelai pasti akan mati. Kami sudah coba untuk melangsungkan pernikahan di luar Mojosari, tapi tetap saja sama. Salah satu mempelai pasti mati, entah itu sakit atau kecelakaan," jelas Ki Suratman.
“Batalkan saja pernikahan ini, Ki. Bima ayo kita pulang!” mendengar cerita Ki Suratman, ayah Bima langsung menarik lengan anaknya.
“Caraikan istrimu malam ini, juga!” tambah ibu Bima.
Anjani tertunduk sambil menangis sesenggukan di pelukan kedua orang tuanya. Yang dia takutkan ternyata terjadi. Dari awal, Anjani sengaja tidak memberi tahu Bima soal rahasia kampung Mojosari. Ia takut Bima tidak mau menikahinya.
“Enggak, Bu. Aku udah telanjur sayang sama Anjani,” tutur Bima. Ia menatap ibunya dalam-dalam.
“Cari perempuan lain saja. Ini kampung setan. Nanti kamu celaka,” bentak ayah Bima.
“Cukup!” Ki Suratman berdiri. Wajahnya kini penuh emosi. Itu membuat semua orang di ruangan terdiam dan hanya menyisakan suara tangis Anjani. Kedua orang tua Anjani tidak banyak cakap karena mereka sudah sangat tua.
“Mojosari bukan kampung setan. Kalau kalian tidak mau menikahkan anak kalian dengan Anjani, ya silakan ceraikan. Tapi ingat, Bima sudah pernah melakukan akad dengan orang Mojosari. Dan, aku akan lepas tangan kalau nanti ada hal buruk yang menimpa anak kalian,” ujar Ki Suratman.
“Bajingan!” ayah Bima merenggut baju Ki Suratman.
Buru-buru Bima menahan ayahnya itu.
“Dengarkan Bima, Ayah!” Nada suara Bima meninggi. “Apa pun yang terjadi, Bima tidak akan menceraikan Anjani. Lagi pula Ayah sama Ibu tenang saja, selama kita menuruti arahan Ki Suratman, Bima yakin semua akan baik-baik saja. Iya kan, Ki?” Bima menoleh ke arah Ki Suratman.
Dengan tenang, Ki Suratman menganggukkan kepalanya. "Ceritaku belum selesai kalian sudah marah saja. Dengarkan dulu sampai selesai," Ki Suratman kembali duduk sila.
"Kalian semua jangan khawatir. Selama kita melakukan ritual pernikahan ini dengan benar, aku yakin kedua mempelai akan baik-baik saja."
Ayah Bima mengatur napasnya. Ia sebisa mungkin menahan emosi. Ia lalu bertanya kepada Ki Suratman soal dukun yang membuat petaka kampung Mojosari.
“Di mana dukun itu sekarang?”
Ki Suratman menoleh ke arah kamar Kanti. Ia lalu berkata dengan perlahan.
“Dukun itu adalah Kanti. Ia ada di dalam kamar itu,” tunjuk Ki Suratman.
“Kalau memang dia dukunnya, kenapa warga kampung ini tidak langsung membunuhnya saja?” semakin lama, semakin banyak pertanyaan yang bermunculan di kepala Bima.
“Kalau kami membunuhnya, kami khawatir Kanti malah jadi setan dan meneror warga kampung. Jadinya kami biarkan dia hidup dan kami pasung agar dia tidak bertindak macam-macam,” jelas Ki Suratman.
Tidak lama setelah Ki Suratman berbicara, terdengar suara derit balok kayu seperti diseret. Disusul dengan suara ketukan dari dalam pintu kamar Kanti.
“Sebaiknya kita pergi dari gubuk ini,” saran Ki Suratman.
Kedua orang tua Bima keluar lebih dulu dari gubuk itu tanpa berkata apa pun kepada anaknya. Bima, Anjani, dan kedua orang tuanya menyusul dari belakang. Dan, Ki Suratman yang paling terakhir keluar dari gubuk. Ia memadamkan lampu gubuk dan mengunci pintunya dengan rantai.
Di dalam kamar Kanti gelap-gulita. Perempuan itu menggerak-gerakkan kedua kakinya. Ia juga menggoyangkan tubuhnya perlahan, lalu tersenyum mengerikan. Air liurnya menetes ke sembarang arah. Kemudian Kanti berkata dengan suara serak dan pelan.
"Anjani...," desis Kanti.
BACA JUGA : Haru Mahameru