Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

AKIBAT KURANG AJAR DI GUNUNG MERAPI. DICULIK BANGSA LELEMBUT HINGGA MENGALAMI GANGGUAN JIWA (Part1)

Cerita ini bersumber dari salah seorang pendaki senior bernama Om Heru saat beliau mendaki gunung Merapi senior, dengan banyak banyak gunung yang telah didaki. Tentunya, semoga kisah ini bias menjadi pelajaran bagi kita semua. Seperti apa ceritanya langsung saja berikut..

MULAI CERITA

Assalamualaikum wr,  wb.. Salam sejahtera untuk kita semua, Semoga kita masih dilindungi oleh Tuhan yang maha esa, diberikan kesehatan dan dimudahkan  segala urusannya. Amin.. YRA. Salam lestari dan salam sehat untuk kita semua. Perkenalkan cerita ini dikisahkan oleh OM HERU beliau adalah seorang Pendaki senior “Survival”, asal Jakarta, beliau merupakan generasi mapala old era tahun 90an.

Namu sekarang, om Heru mulai aktif mendaki lagi di tahun 2019 sampai saat ini, setelah 20 tahun absen dalam kegiatan petualangan. Pada kesempatan kali ini, saya ingin menceritakan kejadian mistis, nyata, dan sulit diterima akal oleh  manusia dalam pendkian om Heru waktu itu ke Gunung Merapi Jawa Tenggah di tahun 1992. Di cerita ini, tokoh sentralnya adalah temanom Heru yang bernama(sebut saja) Dion.

Kisah ini terjadi saat om Heru menaki gunung merapi dulu tahun 1992 melalui jalur pendakian Kinahrejo.

Waktu itu om Heru tidak sendiri. Om Heru bersama 3 orang temannya, yang bernama(sebut saja) Dion, Kamal dan Andri. Waktu itu om Heru masih kuliah tahun kedua dan belum masuk komunitas mahasiswa pecinta alam (mapala). Pendakian itu meraka lakukan saat masa liburan semester kuliah. Pada waktu mereka mendaki, pendakian ini disponsori (dibayarin) oleh temen yang bernama Dion itu. Kebetulan Dion ini memang seorang anak dari orang kaya, atau lebih tepatnya anak pejabat, tetapi dia suka mendaki gunung. Dion adalah teman om Heru dari SMP dan SMA. Namun waktu itu dia berkuliah di Amerika.

Pada saat waktu itu juga, om Heru baru pertam kali mendaki gunug merpi.

Peralatan pendakian yang mereka bawah hanyalah ala kadarnya (merk local alpine). Hanya dion yang mempunyai tas carrier merk karrimor, dan tak hanya itu, dia membawa kompor gas (sangat mewah di waktu itu untuk pendaki Indonesia).

Singkat cerita,mereka melakukan perjalanan dari Jakarta hingga ke Jogja. Setelah dari Jogja, mereka melanjutkan perjalanan menuju jalur pendakian Gunung Merapi di Kinahrejo.Waktu itu, Gunung Merapi belum memiliki ranger (Jagawana/Polisi Hutan), adanya adalah seorang kuncen, yang sangat terkenal, yakni Mbah Maridjan. Rumah beliaulah yang menjadi basecamp jalur pendakian ini.

Di basecamp, kami mempersiapkan segala kebutuhan logistik untuk pendakian nantinya. Mereka pun beramah tamah dengan san kuncen, tapi entah mengapa sejenak kemudian, mata sang kuncen meliah om Heru dengan pandangan sangat tajam, seolah-olah beliau menerawang.. dan tiba-tiba saja sang kuncen bersikap menghormat kepada om Heru. Om Heru kaget, karena melihat beliau seperti hendak “sungkem” kepada om  Heru. Om Heru terbengong karena om Heru tidak mengerti bahasa jawa halus yang beliau ucapkan.

Lalu kata teman om Heru,, saya masih ada keturunan dari trah kerajaan, begitu kurang lebih arti kata yang diucapkan oleh Mbah Maridjan.

Sebagai orang yang jauh lebih muda pada waktu itu, tentu om Heru hanya diam saja dan merangkulsang kuncen agar tidak menghormat pada om Heru. Tentunya tak enak kalau dilihat sama orang-orang karena om Heru adalah orang yang biasa saja.

Tetapi selanjutnya yang menjadi perhatian dari semua pendaki, sang kuncen, dan termasuk om Heru, adalah si Dion ini. Tanpak Dion mengalungi sebuah KETAPEL BESI. Memang om Heru sudah lama tau kalau Dion itu hobinya berburu dan jago menembak selama hidup di Amerika sana. Tetapi piker om Heru, buat apa ini anak membawa ketapel untuk mendaki gunug?

Mbah Maridjan,sang kuncen, lalu mengatakan kepada kami, agar lebih baik kami mendaki di pagihari, jangan mala mini. Tetapi si Dion bersikeras,, kenapa kita tidak naik mala mini aja? Kan kalau mala mini naik, saat kita sampai pasti dapat sunrise. “Ah gunungnya nggak seberapa tinggi ini” celetuk Dion saat itu. Memang, kami yang sudah lama berkawan dengan Dion mengetahui kalau dia ini termasuk sombong karena anak seorang pejabat. Tetapi disisi lain, dia baik dengan teman-temannya dan tidak pelit. Om Heru juga merasa tidak enak hati, karena biar bagaimanapun, Dion lah yang membiayai mereka semua dalam perjalanan kali ini. Tetapi om Heru lalu mencoba memberanikan diri untuk memberikannya pengertian.

“Bro,, gini bro,, Dion,, kita,, disinikan,, belum tahu medan. Apalagi , Mbah Maridjan ini, sosok kuncen disini, yang mana beliau tahu persis kondisi alam yang ada disini. Kalau beliau bilang jangan naik malam ini, lebih baik kita nggak naik mala mini.” Ujar om Heru setengah berbisik kepada Dion.

Dan untunglah, akhirnya setelah om Heru bujuk, Dion lalu mau menuruti sarannya, untuk mengikuti anjuran sang kuncen. Kami pun berniat untuk mendaki di pagi hari. Lalu singkat cerita di malam itu, kita pun beristirahat di basecamp rumah Mbah Maridjan ini,, dengan tidur yang cukup nyenyak. Pagi harinya, di hari Rabu, kit terbangun di basecamp rumah Mbah Maridjan. Setelah intu kitapun sarapan, dan singkatnya sekitar jam 7-8 pagi, kita mulai pendakian  Gunung Merapi di jalur Kinahrejo ini. Tak lupa kita pun berpamitan kepada Mbah Maridjan. Pada saat berpamitan ini Mbah Maridjan berpesan, “Di atas hati-hati ya, jangan urakan(sembarangan), jangan kurang ajar, harus jaga sikap.” Namun pada saat itu Dion seoalah –olah mengabaikan kat-kata Mbah Maridjan. Dion sepertinya tidak menjaga adab dan sopan santun ala jawa di hadapan sosok Mbah Maridjan ini.

Lalu singkat cerita, pendakian pun dimulai. Di perjalanan, kami bertemu dengan rombongan pendaki lain. 

Ada 2 rombongan pendaki yang kami temui, yang pertama berasal dari Jogja, dan yang kedua berasal dari Boyolali. Kebetulan kami semua sama-sama naik menuju ke atas. Tidak apalah, makin ramai makin asyik tentunya.

Pos demi pos kita lewati, mulai dari medan landai sampai medan terjal. Vegitasi hutan waktu itu masih relative rapat, mulai dari berpasir dan berbatu. Tentunya pendakian kami diselingi dengan beberapa kali istirahat untuk merokok serta minum. Tetapi sepanjang perjalanan, Dion ini sering memainkan ketapelnya untuk ditembakan ke sembarang arah yang tidakjelas. Ia berharap ada burung atau binatang yang terkena tembakan ketapelnya.

Om Heru bilang kepadanya, “Dio,, jangan ngawur, ini gunung, kamu harus jaga sikap.” Tetapi dia justru malah marah ke om Heru, “apaain sih lu, percaya banget ama mistis! Di Amerika, gue naik gunung nggak ada serem-seremnya sama sekali! Gua di Amerika juga ngetapel-ngetapel, nggak pernah ada kejadian apa-apa tuh.” Om Heru terkejut mendengar  perkataanya. Padahal maksud om Heru sebagai teman tentu baik, karena om Heru sudah mendengar cerita-cerita yang berbau misteri, mistis, dan mitos di Gunung Merapi ini. Tetapi om Heru hanya menghela nafas untuk bersabar. Setidaknya Kamal dan Adri juga sepemikiran dengan om Heru. Kita hanya saling bergumam, “Ya udahlah yah,, kan dia bosnya”. Kita mencoba untuk berpikir positif.

Lalu singkat cerita, sampailah kami di pasar bubrah jam 1-2 siang. Buat sekedar informasi, pasar bubrah adalah nama salah satu pos di jalur pendakian Gunung Merapi, dimana pos ini adalah hamparan medan berbatu yang cukup luas. Konon katanya juga disini adalah lokasi Pasar Ghaib Gunung Merapi.

Di tempat ini, kami lalu mendirikian tenda.  Setelah tenda terpasang, kami semua mulai masak-masak serta ngopi-ngopi bersama 2 rombongan pendaki lain yang bersama kita. Tentu saja acara itu diselingi dengan obrolan santai kepada para pendaki lain yang berkemah sembari merokok.

Tetapi di saat kita semua sedang beristirahat dan bersantai dengan para pendaki lain, tiba-tiba saja si Dion ini mengungkapkan keinginannya untuk segera melanjutkan pendakian naik ke Puncak Garuda Merapi. Usut punya usut, hal ini ia lakukan karena ia ingin mendapat foto sunset puncak yang  indah di sore hari itu. “ayolah, kita muncak paling Cuma sejam-an doing, udah kliatan tuh puncak merapinya dari sini!,” sahut Dion. Kita semua yang mendengarnya pun hanya terpana dengan omongan Dion barusan. Kami pun berkata, “Udah deh Dion, jangan sekarang, besuk pagi aja, kita istirahat dulu nih”. Tapi perkataannya dijawab Dion dengan ketus dan angkuh,”Ah kalian semua cemen! Itu kan udah kelihatan puncaknya”!

Tetapi sejenak kemudian,ada salah seorang pendaki rombongan lain yang berada di pasar bubrah, yang kebetulan baru saja turun dari puncak, karena kawah merapi sedang mengeluarkan uap beracun. Begitu mendengar hal itu, akhirnya Dion pun hanya terdiam saja. Dia lantas melanjutkan jalan-jalan keliling pasar bubrah sembari memainkan ketapel besinya. Dion ini sepertinya begitu terkesima sejak melihat pasar bubrah yang bermedan lapangan luas itu. Dia pun mengatakan, ”waah enak nih lapangan luas! Kita bias main bola disini”. Dia pun tampak mengambil batu gunung dan menendang-nendangnya! Sementara itu, om Heru dan yang lainnya masih asyik berkumpul untuk ngopi-ngopi.      

close