Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengantin Jawa - Istriku Hidup Kembali Setelah Berhari-hari Dikubur (Part 3)


Bima rela melewatkan banyak klien potensialnya demi merawat makam Anjani. Bisnis kopi yang dia kelola perlahan pendapatannya kian menurun. Sebab yang dilakukan Bima setiap hari hanya berdiam diri di kamar sambil mengelus-elus batu nisan istrinya.

Setiap pagi dan sore, Bima rajin menyiram makam istrinya itu. Walau pun dia sangat menyayangi makam istrinya, Bima tidak tidur di kamar itu. Melainkan mengisi kamar yang bersebelahan dengan makam. 

Suatu malam Bima terbangun, dia mendengar suara pintu kamar sebelah dibanting berkali-kali. Suara itu sangat mengganggu, Bima heran siapa yang melakukannya, padahal di rumah itu dia hanya tinggal sendirian. Pak satpam tidak mungkin masuk ke dalam rumah tanpa izin Bima. 

Terpikirlah oleh Bima kalau yang membanting pintu kamar sebelah itu adalah maling. Buru-buru ia bangun lalu mengambil sebuah pistol tipe Glock 20 yang ia beli dari pedagang ilegal. Sambil mengendap-endap, Bima mendekat ke pintu kamarnya. Dia harus hati-hati, takutnya maling itu juga bawa pistol. 

Dengan pelan, ia buka sedikit pintu kamarnya dan mengintip dari celah pintu itu. Tidak sampai sepuluh detik, Bima dengan cepat menutup kembali pintu kamarnya. Dia kaget dengan apa yang dilihatnya barusan. 

Di pintu kamar tempat Anjani dimakamkan, ia melihat sosok si Kanti sedang memainkan daun pintu. Wajahnya datar dan menakutkan, rambutnya menjuntai panjang, mungkin sampai sepuluh meter merambat di atas lantai. Bima masih mendengar suara pintu dibanting. Jantung Bima berdetak hebat, dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. 

Beberapa saat kemudian, suara itu hilang. Bima kembali mengintip dari celah pintu. Dan kali ini dia terjungkal saking kagetnya karena si Kanti berdiri tepat di depan pintu kamarnya sendiri. 

Pintu kamar Bima perlahan terbuka sedikit, mungkin hanya satu jengkal tangan orang dewasa. Masih dalam posisi duduk, Bima meringsut mundur sambil mengarahkan pistolnya ke pintu.

“Salah aku apa?! Kenapa kau terus mengangguku?!” bentak Bima. 

Tidak ada sosok yang muncul dari balik pintu itu. Bima bangkit sambil terus waspada dia mendekat ke arah pintu. Dari balik pintu itu, ada seseorang yang melempar sebuah kain kafan yang tampak kotor, masih ada butiran tanah pada kain kafan itu. 

Segera Bima ambil kain kafan itu, terpikirlah sesuatu di kepalanya. Buru-buru dia keluar lalu masuk ke dalam kamar tempat Anjani dikubur. Bima mematung di depan pintu kamar istrinya, kain kafan yang ia bawa seketika jatuh. 

Ada yang membongkar makam Anjani, mayatnya digeletakkan begitu saja di atas lantai tanpa kain kafan alias telanjang bulat! Bima lari keluar rumah untuk memanggil Mang Asep, satpam penjaga rumahnya. Ia mau minta bantuan untuk menguburkan kembali mayat Anjani. 

Mang Asep yang malam itu sedang mendengkur di posnya, seketika terbangun karena Bima menggedor kaca jendela pos satpam. 

“Mang…! Mang Asep, tolongin saya Mang,” kata Bima dengan nada tinggi. 

Mang Asep dengan sigap memakai topi satpamnya dan keluar dari dalam pos.

“Ada apa, Pak?” tanya Mang Asep, dia ikut panik. Dalam hatinya, Mang Asep menebak-nebak kalau rumah majikannya itu kemalingan. 

“Ayo ikut saya. Saya butuh bantuan Mang Asep sekarang.”

“Siap, Pak,” Mang Asep penasaran lantara jarang sekali malam-malam begini Bima membangunkannya. 

Bima menyuruh Mang Asep untuk menunggu di depan kamar, sementara Bima akan mengkafani lagi istrinya itu. Setelah selesai, Bima langsung menghampiri Mang Asep lalu menyuruhnya untuk mengambil cangkul di gudang. 

“Mang malam ini nggak lihat orang masuk ke rumah saya, kan?” tanya Bima sebelum Mang Asep mengambil cangkul. 

“Nggak lihat, Pak.”

“Oya, Mang Asep kan dari tadi tidur,” kata Bima kesal. 

“Maap Pak saya ketiduran. Memangnya ada apa ya, Pak?”

“Makam istri saya ada yang bongkar.”

“Hah, serius Pak?!” kedua mata Mang Asep melotot saking kagetnya.

“Iya Mang cepat ambil cangkul. Bantu saya menguburkannya lagi.”

“Ba…, baik Pak.”

Tidak lama berselang, Mang Asep muncul membawa dua buah cangkul. Dia memberikan satu cangkul itu pada majikannya. Tangan Mang Asep bergetar saat menyentuh mayat Anjani yang mulai membusuk. Wajah Anjani keriput dan lembek, di bagian mata dan hidungnya menetes darah hitam yang kental, mayat itu baru akan mengalami proses pembusukan. 

Mang Asep turun ke dalam liang lahat, dia menyambut mayat yang disodorkan Bima dari atas. Setelah itu, Bima ikut masuk ke dalam liang lahat. Sebelum mayat Anjani dihadapkan ke arah kiblat, tiba-tiba Mang Asep melihat kedua mata Anjani melotot, mayat itu lalu tersenyum dingin pada Mang Asep. 

Jelas saja Mang Asep kaget lalu berteriak. Refleks dia keluar dari liang lahat itu. Anehnya, yang melihat kejadian mengerikan itu hanya Mang Asep, sementara Bima tidak melihat keanehan apa pun pada mayat Anjani. 

“Ada apa Mang?!” tanya Bima kaget. 

“Bu Anjani hidup lagi!” tunjuk Mang Asep ke arah mayat Anjani.

Mang Asep masih melihat kalau Anjani itu melotot sambil tersenyum. Ia pun lari keluar dari kamar, meninggalkan Bima seorang diri di dalam liang lahat. 

“Mang Asep! Tunggu! Mau ke mana Mang?!” panggil Bima dari dalam liang lahat.

 Pengalaman Menjaga Rumah Angker

Ini masih jam tiga dini hari, hujan turun begitu deras membasahi kota metropolitan. Sepagi itu, pasar dekat rumah Bima mulai sibuk. Banyak mobil pikap yang keluar masuk pasar untuk mengangkut barang dagangan. Koloni gelandangan yang tidur di emper pertokoan mulai berlarian mencari tempat yang aman dari cipratan air hujan.

Di emper masjid dekat pasar, seorang pemuda berpakaian hitam putih masih tertidur pulas berbantalkan tas gendong miliknya, dia adalah seorang pengangguran yang seharian mencari kerja, namun nasib baik belum memihak padanya. 

Berbeda dengan orang-orang itu, apa yang dilakukan Bima di jam tiga dini hari sangat tidak lazim. Ia sedang susah payah mengubur kembali istrinya. Kedua tangannya gemetar membetulkan ikatan kain kafan. Kain itu lembab dan seringkali mudah copot. Keringat membasahi wajah Bima, sesekali menetes ke wajah istrinya yang mulai membusuk. 

Setelah berhasil menghadapkan jenazah ke arah kiblat, ia menutupnya dengan papan lalu menguburkannya kembali. Setelah selesai, Bima terkapar di samping kuburan istrinya. Dia sangat kelelahan hingga akhirnya tertidur pulas. 

Jam sepuluh pagi, Bima tergeragap bangun. Kamar itu sangat kotor, tanah berserak di mana-mana. Cangkul bekas semalam tergeletak di samping Bima, ia mengucek kedua matanya lalu beranjak ke kamar mandi. Langkah Bima terhenti saat melihat tapak kaki berlumur tanah di atas lantai, tapak itu mengarah ke kamar mandi. Perlahan Bima mengikutinya.

Setibanya di kamar mandi, tapak kaki misterius itu merambat ke dinding dan berhenti di dekat lampu. Di sana ada sebuah tulisan menggunakan noda tanah. Itu adalah tulisan Anjani, Bima sangat kenal gaya tulisan istrinya.

“Pergilah ke Mojosari, Mas.” Begitulah pesan yang tertulis di sana. 

Sesaat setelah Bima membacanya, tulisan itu lenyap begitu saja. Ada apa di Mojosari? Kenapa Anjani menyuruhnya untuk pergi ke sana? Karena pensaran, hari ini juga Bima akan berangkat ke Mojosari. Lagipula, memang ada yang belum terpecahkan dari semua kejadian ini. Apalagi tentang Kanti yang selalu menerornya. 

Tapi Bima tidak akan membiarkan rumah ini kosong. Dia akan membayar seorang asisten rumah tangga untuk menjaga rumahnya selama Bima pergi. Selesai mandi, Bima langsung menelepon sebuah yayasan penyalur asisten rumah tangga. 

***

Di kota ini, Yayasan Rajin Bersahaja punya reputasi yang baik dalam hal penyalur asisten rumah tangga. Mereka merekrut para perempuan lalu menyalurkannya ke seluruh kota. Dan pagi ini, yayasan itu menerima telepon dari Bima. Setelah sepakat soal gaji, pengelola yayasan itu pun memanggil Zulfa. Dia adalah salah satu pegawai baru di yayasan ini. 

Zulfa berasal dari kampung, umurnya 23 tahun. Dia baru tiga hari tinggal di yayasa. Dan hari ini adalah gilirannya untuk disalurkan sebagai asisten rumah tangga. 

“Zulfa, hari ini kamu dapat pekerjaan. Lokasinya nggak jauh dari yayasan,” kata Bu Rani, dia adalah pengelola yayasan ini. 

“Iya Bu,” wajah Zulfa berbinar, dia senang karena akhirnya mendapatkan pekerjaan. 

“Kerjaannya nggak ribet. Orangnya mau pergi selama beberapa hari. Kamu cukup jaga rumah itu saja.” 

“Baik, Bu,” Zulfa mengangguk. 

“Kalau kerja kamu bagus, bisa jadi si pemilik rumah akan terus mempekerjakan kamu.” 

“Saya akan bekerja sebaik mungkin, Bu,” kata Zulfa. 

Hari itu juga Zulfa diantar oleh mobil yayasan menuju rumah Bima. Ia turun di depan gerbang, tidak ada satu orang pun yang menyambut kedatangan Zulfa. Pintu gerbang itu dibiarkan terbuka sedikit, pos satpamnya sepi. Zulfa celingukan dan dengan ragu-ragu dia masuk ke halaman rumah Bima. Dia terus berjalan melewati pepohonan mangga yang rindang. Zulfa lalu berhenti di beranda rumah. 

“Permisi…,” kata Zulfa.

Tidak ada jawaban dari si pemilik rumah. Ia lalu mengetuk pintu rumah itu. 

Seketika pintu dibuka, Bima akhirnya muncul, ia sudah berpakaian rapi hendak berangkat ke Mojosari. 

“Ayo masuk,” kata Bima. 

“Pekerjaan kamu mudah saja. Cukup jaga rumah ini, kamu tidak perlu membersihkan seluruh ruangan. Kerja semampu kamu saja yang penting kamu harus selalu awasi rumah ini. Jangan sampai ada orang asing masuk. Aku sudah pasang CCTV di gerbang dan di halaman rumah. Kamu bisa cek setiap saat di layar CCTV. Ini uang cash buat makan kamu sehari-hari.” 

Bima menyerahkan sejumlah uang. Tanpa berkenalan terlebih dahulu, Bima mencerocos tanpa jeda membuat Zulfa harus fokus mendengarkan semua arahannya. 

“Dan yang paling penting,” Bima menoleh ke arah Zulfa.

“Kamu lihat kamar itu,” Bima menunjuk ke kamar tempat Anjani dikubur. 

“Iya Pak,” Zulfa mengangguk. 

“Jangan sekali pun masuk ke kamar itu ya. Apa pun yang terjadi, kamu nggak boleh masuk ke sana,” ujar Bima, wajahnya terlihat sangat serius bahkan terkesan mengancam. 

“Ba…, baik Pak,” timpal Zulfa dengan terbata-bata. 

“Ini kunci rumahnya dan ini kunci gerbang. Aku mau pergi untuk beberapa hari,” kata Bima. 

Dia mengambil koper dan bergegas ke garasi mobil. Zulfa mengikutinya dari belakang. Ia menawarkan bantuan untuk membawa koper, tapi Bima menolak. Setelah Bima pergi, Zulfa masuk kembali ke dalam rumah. Ia mengunci pintu dan jendela rumah itu rapat-rapat. 

Sekarang tinggal Zulfa sendirian di rumah. Ia berdecak kagum melihat interior rumah bernuansa jawa. Zulfa melangkah mendekat ke sebuah foto pernikahan Bima dan Anjani yang cukup besar. Foto itu dipajang di ruang tamu. 

“Cantik…,” gumam Zulfa. 

Ia tersentak ketika mendengar seseorang membuka pintu kamar. Zulfa mengerutkan dahi, ia memperhatikan wajah wanita yang muncul dari kamar itu. Wajahnya sama seperti di foto. 

“Istrinya Pak Bima, ya?” tanya Zulfa.

Wanita itu mengangguk sambil tersenyum. 

“Saya Zulfa asisten rumah tangga baru di rumah ini….”

BACA JUGA : Haru Mahameru 
close