Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengantin Jawa - Kampung Ini Ditinggalkan Warganya (Part 4)

 

Menjelang magrib, Bima sudah sampai di Mojosari. Ia memperlambat laju mobilnya. Ia heran karena kampung Mojosari sangat sepi.

Kampung itu seperti ditinggalkan warganya. Kabut tebal menghalangi laju mobil Bima. Ia berusaha untuk menemukan seseorang di kampung itu. Tapi, yang dia lihat hanya kawanan anjing melintas di depan mobilnya. 

Setibanya di depan rumah Anjani, Bima keluar dari mobil. Ia harus menggunakan senter untuk menerangi jalannya karena kabut begitu pekat. Bima heran. Ada apa dengan kampung Mojosari ini? 

“Bu?” kata Bima sambil mengetuk pintu. Tapi tidak ada jawaban dari si pemilik rumah. 

“Pak?” Bima mengetuk kembali pintu itu. 

Ia lalu menggenggam gagang pintu rumah itu dan ternyata pintunya tidak dikunci. Perlahan Bima masuk sambil terus memanggil orang tua Anjani. 

Di lantai rumah itu ada genangan air dan daun sirih yang berserakan. Bima memeriksa setiap kamar. Tapi, ia tidak menemukan siapa pun. 

“Ke mana mereka?” gumam Bima. 

Dia pergi ke halaman belakang rumah sambil berteriak memanggil orang tua Anjani. Di belakang rumah itu, samar-samar cahaya senternya menyoroti seseorang yang sedang duduk sila membelakangi Bima. Itu seperti lelaki yang sedang bertapa. 

“Pak?” dengan hati-hati Bima mendekati lelaki itu. 

Semakin dekat wujud lelaki itu semakin jelas. Ia mengenakan baju dan celana panjang warna hitam. Ia juga mengenakan blangkon bermotif batik warna kuning. 

“Ke mana perginya warga kampung ya?” tanya Bima. Tapi, lelaki yang duduk sila di hadapannya itu tidak menjawab. Bahkan, bergerak pun tidak. 

Bima menyentuh pundak lelaki itu. Seketika tubuhnya lunglai dan jatuh terjatuh di atas semak-semak. Ternyata itu adalah bapak mertua Bima alias ayah Anjani. Lelaki itu sudah tidak bernyawa. Keadaannya sangat mengenaskan. Kedua bola matanya hilang. Ada lubang berukuran setelunjuk jari di bagian lehernya. 

Melihat kejadian itu, Bima kaget sampai terjungkal. Napasnya terengah-engah. Ia bergegas pergi dari sana. Dengan panik ia lari menuju rumah Ki Suratman. Bima agak kesulitan mencari jalan. Kabut itu membatasi jarak pandangnya. 

Dengan susah-payah, akhirnya Bima tiba di rumah Ki Suratman. Rumah itu juga tidak dikunci. Bima menerobos masuk sambil memanggil nama Ki Suratman dengan nada tinggi. Di lantai rumah Ki Suratman juga ada genangan air dan daun-daun sirih yang berserakan. Dengan tergesa-gesa, ia membuka pintu kamar Ki Suratman. 

Di dalam kamar itu ada Ki Suratman yang sedang khidmat melakukan sebuah ritual. Ia duduk sila sambil mengacungkan keris pusakanya ke langit. Kedua matanya terpejam, bibirnya bergetar mengucapkan mantra. 

“Ki?” sapa Bima sambil pelan-pelan mendekati Ki Suratman. 

Bima menyentuh pundak lelaki itu. Seketika saja Ki Suratman tersentak kaget.

“Kanti iblis!” kalimat itu otomatis keluar dari mulut Ki Suratman. 

Ia panik sambil mengamuk. Untung saja Bima bisa menenangkan Ki Suratman. 

“Tenang, Ki. Tenang! Ini saya, Bima.” 

“Bi… Bima. Ngapain kamu di sini?” tanya Ki Suratman.

“Saya mau cari ibu mertua saya, Ki. Mereka ke mana? Ada apa dengan Mojosari ini, Ki? Kenapa bapak mertua saya mati?” tanya Bima bertubi-tubi. 

“Si Kanti, ini semua gara-gara Kanti!" jawab Ki Suratman dengan getir.

“Selama ini si Kanti juga menerorku, Ki," kata Bima.

Ki Suratman tidak bisa berkata apa-apa lagi. Tatap wajahnya kosong. 

“Apa warga kampung ini semuanya mati, Ki?” Bima masih berusaha mencari tahu tentang Mojosari. 

“Sebagian mati, tapi masih ada yang selamat. Mereka semua sudah mengungsi.”

Sebelum Bima bertanya kembali, tiba-tiba terdengar suara rombongan orang. Mereka menyanyikan lagu berbahasa Jawa.

“Mereka datang,” kata Ki Suratman. Wajahnya sangat cemas. 

“Mereka siapa?” Bima mengerutkan dahi.

Karena penasaran, ia tengok rombongan orang itu dari balik jendela. Betapa terkejutnya Bima saat melihat ada sebuah arak-arakan tanpa wujud. Di atas arak-arakan itu ada saung kecil yang hanya muat satu orang. Di saung itu ada si Kanti yang sedang duduk sambil menatap lurus ke depan.

Bima heran. Arak-arakan itu berjalan sendiri tanpa ada yang menggotong. Kanti menoleh ke arah Bima. Wanita itu tidak tersenyum sedikit pun. Tatapannya datar dan begitu dingin. Itu membuat Bima menjauh dari jendela.

“Jangan dilihat!” bisik Ki Suratman.

 Menyisir Rambut Orang yang Sudah Mati

Arak-arakan itu sudah pergi. Bima dibawa oleh Ki Suratman menuju kampung tetangga. Warga Mojosari yang masih hidup mengungsi di sana. Kata Ki Suratman, ibu mertua Bima juga ikut mengungsi di kampung tersebut.

“Aku turut berduka atas kematian istrimu,” kata Ki Suratman membuka obrolan sambil berjalan.

“Ini masih ada hubungannya dengan Mojosari, Ki. Anjani mati dengan cara yang tidak wajar," timpal Bima.

“Ternyata saat kau menikahi Anjani di gubuk itu, si Kanti sudah bukan manusia lagi. Dia sudah menjadi sekutu setan dan istrimu adalah tumbal kelima. Dengan begitu, Kanti sudah menyempurnakan ilmu hitamnya,” jelas Ki Suratman.

“Jadi sudah ada pengantin yang meninggal sebelum aku menikahi Anjani?” tanya Bima. Ia menghentikan langkahnya. 

“Iya. Sebelum Kanti dipasung sudah ada empat pengantin wanita yang mati. Sebelum kau menikahi Anjani, aku sempat menikahkan pasangan janda dan duda di gubuk si Kanti. Sampai sekarang mereka masih hidup. Dugaanku, Kanti ini hanya menumbalkan pengantin yang masih perawan saja,” kata Ki Suratman. Mereka berdua berjalan kembali melewati jalan setapak.

“Kalau memang Kanti sudah menyempurnakan ilmu hitamnya, kenapa dia masih menggangguku, Ki?" 

“Kalau itu, aku tidak tahu,” jawab Ki Suratman, singkat. 

Bima tidak menimpali lagi. Ia mengarahkan cahaya senter ke jalan setapak. 

“Setelah pernikahan kalian, Mojosari dilanda penyakit.”

“Penyakit apa, Ki?” Bima mengerutkan dahi.

“Ada benjolan di punggung mereka. Semakin lama semakin besar. Setelah itu kempis dan mereka mati satu persatu dengan mengenaskan."

"Penyakit itu sama persis dengan yang dialami istriku, Ki."

Ki Suratman mengangguk, "Awalnya kami warga kampung mengobati benjolan itu dengan daun sirih, tapi tetap tidak berhasil. Dokter pun tidak sanggup menyembuhkan penyakit itu," lanjut Ki Suratman.

Ki Suratman menghentikan langkahnya. Dari kejauhan, ia melihat ada seseorang yang mendekat. Ia pun menarik tangan Bima, mengajaknya untuk bersembunyi di balik pohon. Dengan hati-hati, Ki Suratman dan Bima mengintip dari balik pohon itu. 

“Itu Burhan, salah satu warga kampung Mojosari.” 

Burhan berjalan sempoyongan sambil menggapai-gapai benjolan di punggungnya. Ia meringis kesakitan, lalu jatuh tersungkur. Bima hendak menolong lelaki itu. Tapi, Ki Suratman menahannya. 

“Jangan! Kau lihat itu,” Ki Suratman menunjuk ke pohon yang menjadi sandaran Burhan. 

Dari atas pohon, perlahan merayap sosok wanita berjubah hitam. Kukunya juga hitam dan panjang. Ia mendekati Burhan yang sedang kesakitan di bawah pohon.

Sosok wanita itu melilit leher Burhan dengan rambutnya yang panjang. Ia kemudian menarik tubuh lelaki itu ke atas pohon. 

Wanita itu mencongkel kedua mata Burhan dengan kukunya yang hitam dan panjang. Burhan berteriak kesakitan. Sesaat kemudian, suara Burhan tidak terdengar lagi. Lehernya ditusuk menggunakan kuku oleh wanita itu. Setelah Burhan mati, tubuhnya dijatuhkan begitu saja dari atas pohon. 

“Ayo kita pergi dari sini!” ajak Ki Suratman. 

Di kamar Bima ada sebuah lemari besar yang ada cerminnya. Malam itu, Anjani duduk menghadap lemari. Ia minta rambutnya disisir oleh Zulfa. Seharian bersama Zulfa, Anjani tidak banyak bicara. Dia terkesan selalu murung dengan wajahnya yang amat pucat. 

“Rambut Bu Anjani bagus ya,” puji Zulfa sambil tersenyum memandangi wajah majikannya di cermin. 

Anjani tidak menimpalinya. Ia menatap cermin dengan tatapan kosong. 

“Kalau boleh tahu, Bu Anjani ini asli mana ya?” tanya Zulfa.

“Mojosari,” jawabnya singkat. 

“Itu di Jawa ya?” 

Anjani mengangguk pelan. 

“Eh... Bu Anjani kok di rambutnya banyak tanah,” Zulfa membersihkan butiran tanah yang menempel di rambut Anjani.

"Aku bersihkan dulu ya, Bu," lanjut Zulfa. Ia meniup butiran tanah yang menempel di sela-sela rambut Anjani. 

Tidak lama berselang, terdengar suara seseorang mengetuk pintu. 

“Bu, ada yang ngetokin pintu. Zulfa cek dulu ya,” Zulfa pun beranjak dari kamar Bima. 

Setelah ditelusuri, ternyata suara itu bersumber dari kamar tempat Anjani dikuburkan. Zulfa ingin sekali memeriksa kamar itu. Tapi, ia tidak diizinkan masuk oleh Bima. 

“Halo! Ada orang di dalam?” tanya Zulfa.

Tidak ada jawaban sama sekali. Tapi suara ketukan pintu masih terdengar. Kemudian pintu itu terbuka sedikit. Suara deritnya terdengar nyaring. Zulfa mundur tiga langkah. Ia menjauh dari pintu itu. Apa pun yang terjadi, ia tidak akan masuk ke dalam kamar itu. 

“Kamu siapa?” tanya Zulfa tanpa melihat seorang pun yang muncul dari kamar itu. Zulfa yakin masih ada seseorang yang menghuni rumah ini. 

“Kanti…,” jawab seorang perempuan dari balik pintu kamar. Suara itu terdengar parau, seperti orang yang sedang sakit.

NEXT PART5

BACA JUGA: Haru Mahameru 

close