Bima tiba di kampung tetangga. Ternyata para pengungsi dari Mojosari tidak tinggal di rumah warga, melainkan dibuatkan tenda dari terpal. Warga kampung di sana awalnya takut kedatangan pengungsi dari Mojosari. Mereka takut penyakit itu menular. Namun, setelah berunding, akhirnya pengungsi Mojosari dibuatkan tenda yang letaknya jauh dari permukiman warga. Tenda pengungsi itu bersebelahan dengan permakaman umum.
Tidak butuh waktu lama bagi Bima untuk menemukan ibu mertuanya. Rusmanah, ibu Anjani, saat itu sedang duduk di atas kursi plastik di luar tenda. Ia mendongak ke langit yang mulai gelap.
“Bu…!” sapa Bima.
Rusmanah menoleh. Seketika saja ia menangis dan menubruk Bima untuk memeluknya. Sambil tersedu, Rusmanah lalu menceritakan kembali apa yang terjadi di Mojosari. Juga tentang suaminya yang mati di kampung itu.
“Ibu sendiri baik-baik aja, kan?” tanya Bima dengan wajah khawatir.
“Di sini sakit,” Rusmanah menggapai punggungnya menunjuk titik yang ia rasa sakit.
Bima meraba punggung ibu mertuanya. Ternyata ada sebuah benjolan persis dengan yang dialami Anjani. Bima mengembuskan napas berat. Ia tertunduk lesu. Bima tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk menyelamatkan ibu mertuanya itu.
Ketika Bima masuk ke dalam tenda, ia melihat keadaannya sangat memperihatinkan. Ada yang sedang mengobati keluarganya dengan daun sirih, ada juga yang berteriak kesakitan sambil menggapai-gapai punggungnya.
Bima juga menyaksikan seorang kakek yang ditangisi keluarganya. Kakek itu sudah tidak bernyawa. Tampaknya dia baru saja mengembuskan napas terakhirnya beberapa menit lalu. Sementara Ki Suratman membantu keluarga itu untuk mengurus jenazahnya.
Tengah malam Bima tidak bisa tidur. Ia duduk termangu di luar tenda. Pikirannya ke mana-mana. Ia tidak menyangka kalau hidupnya akan dihadapkan dengan situasi kalut seperti ini.
Terlintas dalam benak Bima, ia harus kembali ke Mojosari seperti apa yang diminta mendiang istrinya. Maka malam itu juga ia berangkat ke Mojosari seorang diri. Bima menyusuri jalan setapak, melewati pepohonan besar. Ia hanya membawa sebuah senter sebagai penerang.
Setibanya di Mojosari, dia masuk ke rumah Ki Suratman. Rumah itu cukup besar. Selain menjadi tetua di Mojosari, Ki Suratman memang orang yang paling kaya di kampung itu. Bima menyusuri kamar demi kamar. Tidak ada yang aneh di rumah itu. Bima tidak menemukan petunjuk apa pun.
Namun, saat Bima hendak keluar dari rumah, kakinya menginjak keramik yang berderit. Keramik itu seperti tidak disemen. Itu berbeda dengan keramik lainnya yang kokoh menyatu dengan tanah.
Bima penasaran. Ia lalu bongkar keramik itu lalu menggali tanahnya. Siapa tahu dia menemukan sesuatu di dalam sana.
Di kedalaman 100 sentimeter, Bima menemukan kotak kecil yang terbuat dari kayu jati. Ia segera membukanya. Di dalam kotak itu terdapat seikat rambut, satu gigi taring, dan sebuah foto hitam-putih.
Bima terkejut melihat foto itu. Meski telah usang, ia jelas mengetahuinya. Itu adalah foto pernikahan Ki Suratman dengan seorang wanita yang wajahnya tidak asing lagi bagi Bima. Ya, wanita di foto itu adalah Kanti.
Sesaat kemudian, di luar rumah terdengar ringkik kuda. Buru-buru Bima memasukkan kembali kotak tersebut ke dalam tanah lalu menguburnya. Ia menutup kembali permukaan tanah menggunakan sekeping keramik.
Kemudian Bima mendekat ke jendela sambil menunduk. Dengan hati-hati ia mengintip dari balik jendela. Di luar sana ada Ki Suratman menunggangi kuda. Lelaki itu menghampiri Kanti yang berdiri di hadapannya. Kedua kaki Kanti masih dalam keadaan dipasung.
Ki Suratman turun dari punggung kuda. Mereka berdua sempat mengobrol, tapi Bima tidak dapat mendengar obrolannya. Ki Suratman kemudian merogoh kunci dari saku jas hitamnya. Ia membuka balok kayu yang memasung kedua kaki Kanti.
Kanti sempat menoleh ke arah Bima. Menyadari hal itu, Bima refleks menunduk. Dan, ketika Bima mencoba mengintip lagi, Ki Suratman dan Kanti sudah menghilang entah ke mana. Setelah itu, Bima merasakan sesuatu yang bergerak-gerak di punggungnya.
Ia panik. Bima langsung membuka bajunya lalu masuk ke dalam kamar Ki Suratman. Di dalam kamar itu ada sebuah lemari tua yang di bagian pintunya terdapat cermin besar. Bima berdiri membelakangi cermin untuk memastikan ada apa di punggungnya.
Bima melihat benjolan misterius tumbuh di punggungnya. Benjolan itu bergerak-gerak seperti makhluk hidup. Semakin lama, ia merasa semakin ngilu dan sakit. Bima merasa ada yang sedang menggerogoti dagingnya.
Sementara itu di rumah Bima, Zulfa penasaran siapa yang ada di dalam kamar itu. Setelah mendengar suara seorang wanita yang mengaku Kanti, Zulfa mendekat perlahan. Ia pegang gagang pintu. Bukanya dibuka, ia malah menutup kembali pintu kamar itu.
Zulfa sangat amanah. Ia tidak mau mengecewakan majikannya, Bima. Apa pun yang terjadi, Zulfa tidak akan mau masuk ke dalam kamar itu.
"Kanti… aku Zulfa asisten rumah tangga baru di rumah ini. Kalau butuh bantuan, tinggal panggil aku ya…,” kata Zulfa dari balik pintu.
Ia lalu menempelkan telinganya di pintu agar bisa mendengar dengan jelas jawaban dari Kanti.
“Masuk...,” lirih terdengar suara Kanti dari dalam kamar.
“Bisa kamu aja yang keluar dari kamar? Soalnya aku enggak dibolehin masuk sama Pak Bima.”
Tanpa ada jawaban lagi, pintu perlahan terbuka kembali. Kali ini lebih lebar. Dari balik pintu muncul sebuah tangan perempuan. Zulfa hendak menyentuh tangan itu. Namun, tiba-tiba ada seseorang yang memanggilnya.
“Zulfa…,” panggil Anjani. Ia sudah berdiri di depan pintu kamar Bima.
"Iya, Bu Anjani,” jawab Zulfa sambil tersenyum ramah.
Anjani menggelengkan kepala. Tanpa penjelasan apa pun ia berkata, “Jangan....”
“Iya, Bu,” kata Zulfa. Ia manut saja dengan majikannya.
"Kalau ada apa-apa, panggil Zulfa aja ya?" bisik Zulfa sebelum ia menutup kembali pintu kamar itu.
Malam itu, Zulfa kembali menyisir rambut Anjani. Ia membersihkan butiran tanah yang menempel di sela-sela rambut majikannya. Tidak lama berselang, ia mendengar suara teriakan wanita dari dalam kamar yang membuatnya selama ini penasaran.
Jelas saja Zulfa panik. Ia langsung lari menuju kamar tersebut. Pintu kamarnya sudah terbuka lebar. Zulfa terkejut dengan apa yang ia lihat di dalam kamar itu. Ada sebuah makam dan seorang wanita berjubah hitam yang merayap di dinding.
Jangan Percaya Mulut Ki Suratman
Zulfa masih mematung di depan kamar itu. Kedua kakinya mendadak susah digerakkan. Wanita berjubah hitam dengan kukunya yang panjang dan hitam merayap dan mendekat ke arah Zulfa. Rambutnya yang panjang menjuntai menutupi wajahnya sehingga tak terlihat dengan jelas.
Hanya dalam sekejap mata sosok mengerikan itu sudah ada di hadapan Zulfa. Entah apa yang terjadi, lidah Zulfa seketika kelu. Ia tidak bisa mengucapkan sepatah kata apa pun.
Wajahnya pun berkeringat dingin. Ingin sekali ia lari dan meminta tolong. Tapi, sekujur tubuhnya seakan membatu, sulit sekali digerakkan.
Zulfa lalu dicekik. Tubuhnya ditarik masuk ke dalam kamar. Pintu seketika tertutup dengan sendirinya.
“Jangan…!” dari kejauhan Anjani berteriak saat melihat Zulfa dibawa oleh makhluk itu. Anjani menangis lantaran tidak bisa berbuat apa-apa.
Jauh sebelum Mojosari kena kutukan, kampung itu sebenarnya tempat yang nyaman dan tentram. Setiap tahunnya selalu ada pernikahan yang digelar di kampung itu. Semuanya baik-baik saja, tidak ada mitos sinting yang mengatakan kalau pernikahan adalah sebuah kesialan.
Tapi, itu dulu... ketika kampung itu dipimpin oleh Ki Abidin. Ia adalah tetua kampung sebelum Ki Suratman.
Saat itu Ki Abidin adalah orang terkaya di Mojosari. Lain halnya dengan Ki Suratman, dulunya ia adalah orang miskin yang bekerja sebagai kuli cangkul di sawahnya Ki Abidin.
Ki Suratman menikahi Kanti, seorang gadis Mojosari. Mereka berdua tinggal di gubuk reot yang terletak di tengah persawahan milik Ki Abidin. Setiap hari kerjaan Ki Suratman dan Kanti mengurus sawah majikannya itu. Mereka sangat patuh kepada Ki Abidin.
Selain mengurus sawah, Ki Suratman juga dipekerjakan untuk menjaga kambing Ki Abidin. Ada lima ekor kambing yang diurus Ki Suratman. Setiap sore, ia ngarit (mencari rumput) untuk memberi makan kambing-kambing itu.
Semua berjalan baik-baik saja. Hingga pada suatu hari Ki Suratman tertimpa masalah. Satu ekor kambing etawa yang ia urus tiba-tiba mati. Sedangkan itu adalah kambing kesayangannya Ki Abidin.
Kejadian itu membuat Ki Abidin marah besar. Ki Suratman dimaki-maki. Kanti juga tidak luput dari amarah Ki Abidin. Padahal kematian kambing itu bukan kesalahan Ki Suratman. Sebab, ia sudah mengurusnya dengan baik. Kematian kambing itu murni disebabkan oleh penyakit.
“Bangsat kau, Suratman! Kau apakan kambingku, heh?!”
“Sumpah, Ki. Aku sudah mengurusnya dengan benar. Sekarang memang sedang musim penyakit,” jawab Ki Suratman.
“Halah alasan saja! Kau dan istrimu memang kacung sialan!”
Ki Suratman tidak terima dicaci separah itu. Ia sangat sakit hati. Ia berjanji, akan melakukan apa pun demi balas dendam pada Ki Abidin.
Tengah malam Ki Surtaman pergi ke hutan Gantarawang. Itu adalah hutan terlarang dan sangat angker. Hutan itu sangat jarang dijamah manusia. Semua orang tahu kalau di sana ada sumur keramat yang menjadi sarang setan.
Konon dulunya di sana ada pengantin perempuan yang mati bunuh diri dengan cara loncat ke dalam sumur. Ki Suratman ingin minta petunjuk kepada roh pengantin itu agar bisa kaya dan menjadi terhormat di Mojosari. Lebih dari itu, ia ingin membunuh Ki Abidin dengan cara gaib.
Setelah sempat nyasar, akhirnya Ki Suratman berhasil menemukan sumur keramat. Sumur itu dirimbuni semak belukar. Ki Suratman harus membersihkannya terlebih dahulu sebelum melakukan ritual.
Ki Suratman duduk sila di depan sumur sambil membakar kemenyan untuk mengundang makhluk gaib. Ia tidak tahu kalau di atas pepohonan banyak makhluk halus yang sedang memperhatikan tingkahnya.
Tidak lama setelah menyan itu dibakar, muncul sesosok wanita berjubah hitam dari dalam sumur. Ia merayap mendekat ke arah Ki Suratman.
“Nyai, tolong aku! Aku mau kaya-raya dan balas dendam kepada Ki Abidin,” bisik Ki Suratman sambil terus menunduk.
Wanita itu menjulurkan lidahnya yang panjang lalu menjilati pipi Ki Suratman. Kemudian dari dalam mulutnya, ia mengeluarkan segumpal daging berwarna hitam pekat.
“Istrimu harus makan ini,” kata makhluk mengerikan itu dengan suara parau.
“Baik, Nyai,” Ki Suratman mengambil gumpalan daging itu lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik hitam.
Sebelum subuh, Ki Suratman sudah tiba di saungnya. Kanti masih tidur pulas. Buru-buru Ki Suratman membangunkan istrinya itu.
“Kanti, bangun! Kanti...,” Ki Suratman mengguncangkan tubuh istrinya.
“Ada apa, Mas?” tanya Kanti masih dalam keadaan mengantuk.
Ki Suratman mengeluarkan segumpal daging dari dalam plastik.
“Makan ini,” ia menyodorkan daging tersebut ke wajah mulut Kanti.
Kanti menolak. Sebab, daging yang disodorkan suaminya bergerak-gerak seperti hidup. Ia merasa jijik.
“Kamu harus makan ini. Aku pengin sugih (aku mau kaya),” bentak Ki Suratman.
Ia mencekoki Kanti, memaksanya untuk menelan daging tersebut. Ketika daging berhasil ditelan, punggung Kanti tiba-tiba terasa panas seperti dibakar.
Kanti mengamuk dan berteriak seperti cacing kepanasan. Ki Suratman tidak tahu apa yang akan terjadi dengan istrinya itu. Di punggung Kanti ada benjolan yang bergerak-gerak membuat Kanti semakin berteriak kesakitan. Ia pun jatuh pingsan.
Dan, keesokan paginya, saat Ki Suratman bangun, Kanti sudah tidak ada di saung. Ia menghilang entah ke mana.
NEXT PART6
BACA JUGA : Haru Mahameru