Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengantin Jawa - Sumur Ini Sarang Setan (Part 6)

Kampung Mojosari geger lantaran Ki Abidin dan semua keluarganya mati mengenaskan di rumahnya. Ada lubang di punggung mereka. Itu seperti lubang bisul yang baru saja pecah.

Di sisi lain, kejadian itu membuat Ki Suratman sangat bahagia. Akhirnya dia bisa balas dendam kepada majikannya itu. Ia merasa sangat puas.

Sementara itu, si Kanti sudah dirasuki oleh makhluk jahat di dalam tubuhnya. Ia sering menghilang dan datang kembali secara tiba-tiba. Bahkan, Kanti sulit diajak bicara. Ia lebih banyak diam dan kadang mengerang sendiri kalau tengah malam. 

Kekayaan Ki Suratman memang bertambah dari waktu ke waktu. Dia juga menjadi tetua di Mojosari menggantikan Ki Abidin. Namun, yang tidak ia sadari adalah soal imbalan di balik keberhasilannya itu. Ki Suratman tidak tahu kalau kematian pengantin perempuan di kampungnya disebabkan oleh setan yang ia puja di sumur keramat.

Ada seorang pengantin Jawa yang pernah bunuh diri di sumur keramat itu. Roh pengantin itu cemburu dengan setiap mempelai perempuan yang baru menikah. Oleh karena itu, ia selalu mengincar pengantin perempuan dan membunuhnya. 

Setelah tahu, Ki Suratman tidak dapat membiarkan begitu kematian setiap mempelai perempuan di Mojosari. Ia pun sudah mendatangi sumur keramat itu dan meminta agar tumbalnya diganti dengan kambing atau kerbau.

Tapi, tetap saja setiap ada yang menikah di kampungnya, si mempelai wanita selalu mati. Bahkan, kematian itu dengan cara yang sama, yaitu bermula munculnya benjolan di punggung mereka. 

Ki Suratman sempat mendapatkan petunjuk melalui mimpi. Ada seorang kakek tua yang memberitahu Ki Suratman kalau si pengantin mau selamat, Kanti harus dipasung dalam gubuk yang terpisah dari permukiman warga. Pernikahan juga harus digelar tengah malam dan di dalam gubuk Kanti.

Ki Suratman menuruti petunjuk dalam mimpinya. Ia lalu menikahkan pasangan janda dan duda. Hasilnya, pasangan itu selamat. Ki Suratman pun merasa berhasil. Ia tidak tahu kalau yang selama ini menjadi tumbal hanya pengantin yang masih perawan.

Hal itulah yang menyebabkan Anjani mati. Dia menjadi korban setan sumur keramat.

Bima mengenakan kembali pakaiannya, lalu pergi dari rumah Ki Suratman. Namun, sebelum masuk ke dalam mobil, dari kejauhan ia mendengar suara perempuan meminta ampun. Bima tidak jadi pulang. Penasaran, ia pun mencari sumber suara perempuan itu. 

Setelah ditelusuri, ia melihat Ki Suratman sedang menyeret paksa seorang perempuan tua. Perempuan itu tidak lain adalah Mbok Hafsah, pembantu Ki Suratman. 

“Aku tahu apa yang telah kamu lakukan, Mbok,” teriak Ki Suratman sembari menyeret paksa Mbok Hafsah menuju sumur keramat. 

“Ampun, Ki…, ampun!”

Bima terus mengikuti mereka dari belakang. Sesekali ia bersembunyi di balik pepohonan agar tidak ketahuan Ki Suratman. Setibanya di sumur keramat, Ki Suratman mendorong Mbok Hafsah hingga tersungkur di depan sumur. 

“Warga kampung kena penyakit ternyata gara-gara Mbok Hafsah. Ngapain Mbok di sumur keramat ini, hah?” Ki Suratman memarahi pembantunya itu. 

Ada garam yang ditaburkan di sekeliling sumur itu. Ia tahu kalau selama ini Ki Suratman melakukan pemujaan setan yang membuat warga Mojosari menderita. Tapi, yang dilakukan Mbok Hafsah malah berakibat fatal. Setan penghuni sumur itu marah besar sehingga wabah penyakit menyerang warga Mojosari. 

"Kau harus menghentikan kutukan itu, Ki. Kasihan warga kita," kata Mbok Hafsah.

“Aku emang salah, Mbok. Tapi, aku lagi cari jalan keluarnya biar warga kita selamat. Dan, sekarang Mbok Hafsah malah mengacaukannya. Pantas saja warga kita kena penyakit. Ini sumur keramat, Mbok, sarangnya setan.”

Bima menguping percakapan mereka. Ia tidak menyangka kalau dalang dari semua ini adalah Ki Suratman, orang yang justru sangat Bima percaya omongannya. 

“Kau harus mati, Mbok,” Ki Suratman menarik lengan Mbok Hafsah. Lelaki itu akan menjerumuskan pembantunya tersebut ke dalam sumur. 

“Jangan, Ki!” teriak Bima. Ia lari menghampiri Ki Suratman. 

“Bangsat kau. Jangan ikut campur urusan kampung kami!” bentak Ki Suratman sambil mengeluarkan keris yang ia ikatkan di pinggang. 

Keris itu dihujamkan ke arah perut Bima. Untungnya Bima masih bisa menghindar. Ia kemudian menghantam perut Ki Suratman dengan dengkulnya. Itu membuat lelaki tua itu terjungkal.

Rupanya Ki Suratman tidak mudah menyerah. Ia bangkit kembali, lalu menebaskan kerisnya. Kali ini ia mengarahkan pusakanya ke leher Bima. 

Namun, lagi-lagi Bima mampu menepisnya. Keris itu lepas dari genggaman Ki Suratman. Dengan cepat Bima meraih keris itu, lalu menancapkannya di leher Ki Suratman. Ia terkapar dan mengembuskan napas di tempat, di samping sumur keramat. Bima segera membawa Mbok Hafsah keluar dari hutan.

Apakah Zulfa Selamat?

Mereka berdua sudah tiba di Mojosari lalu Mbok Hafsah mengajak Bima untuk masuk ke rumah Ki Suratman.

“Dari dulu Mbok sudah tahu kalau Ki Suratman itu jahat,” kata Mbok Hafsah. 

“Tapi kenapa Ki Suratman tega berbuat seperti itu, Mbok?” tanya Bima. 

“Dia sakit hati pada Ki Abidin yang tak lain adalah majikannya dulu,” Mbok Hafsah membuka sekeping keramik lalu mengambil kotak yang pernah Bima temukan. 

“Ini gigi taring dan rambutku. Sengaja aku tanam di rumah ini sebagai salah satu ritual untuk menghancurkan kutukan kampung Mojosari. Kusertakan juga foto pernikahan Ki Suratman dengan Kanti biar mereka ikut binasa. Tapi ternyata ritualku malah berakibat fatal,” jelas Mbok Hafsah. 

“Mbok tenang saja. Sekarang Ki Suratman sudah mati, semoga warga kampung bisa selamat.”

Malam itu juga Bima mengantarkan Mbok Hafsah ke pengungsian karena hari sudah semakin malam. Keesokan paginya semua orang yang ada di pengungsian itu sembuh dari penyakit aneh yang beberapa hari lalu melanda mereka. Warga Mojosari pun kembali ke rumah mereka masing-masing, sementara Bima harus pamit karena dia khawatir pada asisten rumah tangganya. 

Setibanya di rumah, Bima heran karena gerbang tidak dikunci. Bukan hanya gerbang saja, tapi pintu rumah juga tidak dikunci. Segera Bima masuk ke dalam kamar tempat Anjani dikubur. Bima terkejut melihat Zulfa terkapar tidak sadarkan diri di samping makam Anjani.

Bima panik dan langsung membopong Zulfa. Wanita itu masih hidup, Bima membawanya ke rumah sakit. Bima menduga kalau rumahnya itu dirampok. Namun dugaannya itu salah karena setelah dicek kembali, tidak ada barang yang hilang di rumah Bima. 

Dua hari berlalu Zulfa belum juga siuman. Wajahnya pucat, kelopak matanya menghitam, pihak yayasan sudah menjenguk Zulfa. Mereka bilang ke Bima kalau pihak yayasan akan bertanggung jawab atas kejadian ini. Namun, Bima tidak mau lepas tangan begitu saja, dia harus memastikan kalau Zulfa baik-baik saja.

Tengah malam hujan mengguyur kota metropolitan, Bima tidur di samping ranjang Zulfa. Wanita itu masih tidak sadarkan diri, pergelangan tangannya diinfus, dadanya turun naik menandakan dia masih hidup. 

Sesaat kemudian, tubuh Zulfa bergetar. Matanya melotot seperti melihat sesuatu mengerikan melayang di atas kepalanya. Bima terbangun dan langsung memanggil dokter. Dua perawat dan satu dokter masuk ke dalam ruangan itu, mereka sibuk memeriksa kondisi Zulfa. 

Di saat seperti itu muncul rangkaian kejadian yang dilihat Zulfa. Ia melihat seorang perempuan mengenakan baju pengantin berjalan sempoyongan menuju hutan Gantarwang. Perempuan itu juga sedang hamil besar. Dia menangis sambil memegangi perutnya yang terasa sakit. 

Setibanya di sumur keramat, ia duduk bersandar pada dinding sumur sambil tak henti menangis. Air matanya menyatu dengan make up yang pudar, membuat garis hitam di pipi.

“Arghhh…!” dia mengerang kesakitan, jabang bayi dalam perutnya seperti memaksa ingin keluar.

Ditengah hutan itu ia melahirkan bayi perempuan. Bayi yang masih ada tali ari-arinya itu ia letakkan begitu saja di pinggir sumur. Seolah-olah dia tidak pernah mengharapkan bayinya terlahir ke dunia.

Tanpa mempedulikan bayinya yang menangis, wanita itu naik ke atas tembok sumur lalu loncat ke dalam sumur itu. Dia tenggelam dan mati mengambang di dalam sumur itu. 

Mbok Hafsah yang masih terlihat muda menghampiri bayi itu dan membawanya pergi dari sumur keramat. 

“Tenang kamu selamat Nak. Aku akan merawatmu.” 

Semenjak saat itu, bayi yang ia adopsi diberinama Zulfa. Wanita yang bunuh diri itu bernama Sumarni. Acara pernikhanannya diamuk warga lantaran dia melakukan perzinahan sebelum menikah. Saat itu suaminya diarak dan dipermalukan keliling kampung, sementara Sumarni berhasil kabur ke hutan Gantarawang.

Tubuh Zulfa kembali tenang, perlahan matanya juga terpejam. Seorang perawat mengganti cairan infusnya, sedangkan dokter sibuk memberi tahu Bima kalau Zulfa baik-baik saja. Keesokan paginya, Zulfa siuman. Tubuhnya masih lemah, perlahan Bima menyuapinya bubur. 

“Kita belum sempat kenalan, aku Bima. Sebenarnya, apa yang terjadi selama aku pergi?” tanya Bima penasaran.

“Di dalam kamar itu Pak, ada perempuan yang sangat mengerikan. Aku seperti dibekap dan setelah itu aku tidak sadarkan diri,” jawab Zulfa dengan suaranya yang pelan.

Bima mengembuskan napas berat, dia yakin wanita itu pasti si Kanti.

“Bu Anjani ke mana, Pak?” tanya Zulfa, ia menoleh ke sekeliling, menacari Anjani.

Bima mengerutkan dahi, dia heran. Dari mana Zulfa tahu tentang Anjani. 

“Kamu tahu Anjani dari siapa?” tanya Bima. 

“Selama Pak Bima pergi, aku ditemani Bu Anjani di rumah.”

Seketika saja Bima meletakkan mangkuk bubur yang ia pegang.

"Anjani itu istriku. Dia sudah meninggal, aku menguburnya di dalam kamar. Kalau kamu lihat kuburan di dalam kamar, itu adalah kuburan Anjani. Makanya aku melarangmu untuk masuk ke kamar itu,” timpal Bima. 

“Nggak mungkin Pak. Jelas-jelas Bu Anjani bersamaku semalaman, aku nyisirin rambutnya.” 

“Ya sudah yang penting kamu selamat,” kata Bima, ia kembali menyendok bubur untuk Zulfa.

Tiga hari kemudian, Zulfa sudah pulih. Dia tampak segar seperti sediakala. Bima meminta Zulfa untuk tetap bekerja di rumahnya, tapi Zulfa memilih untuk memundurkan diri. Kejadian yang dia alami sangat janggal, dia tidak sanggup lagi bekerja di rumah itu. 

“Kamu yakin nggak mau kerja di sini lagi?” tanya Bima sambil fokus menyetir, pagi itu Zulfa minta diantarkan ke stasiun kereta api.

"Iya Pak. Saya mau cari kerjaan lain saja,” jawab Zulfa sambil memandangi jalanan yang ramai oleh lalu-lalang kendaraan.

“Kalau boleh tahu, asal kamu dari mana?” tanya Bima lagi.

“Saya juga nggak tahu asal saya dari mana Pak. Dari kecil saya hidup di panti asuhan. Sampai sekarang saya nggak tahu, siapa orangtua saya dan dari mana asal saya. Tapi saya cukup beruntung punya orang-orang baik di panti asuhan.”

Bima mengangguk-angguk.

"Terus ini kamu mau ke mana?” tanya Bima. 

Tiba-tiba saja suara besar dan serak keluar dari mulut Zulfa, “Mojosari!” jelas itu bukan suara aslinya Zulfa. 

Bima terkejut, mendadak dia menginjak rem mobil membuat Zulfa tersentak. 

"Kenapa Pak?” tanya Zulfa panik. 

Napas Bima terengah-engah, keringat membasahi dahinya. 

"Tadi kamu bilang Mojosari?” Bima menatap Zulfa yang duduk di sampingnya. 

"Mojosari? Nggak Pak. Saya tadi bilang mau ke rumah teman saya,” Zulfa menggelengkan kepala.

Bima menelan ludahnya sendiri, dia menarik napas mencoba untuk tenang. Klakson ramai berbunyi di belakang mobil Bima, para pengemudi lain geram karena Bima ngerem mendadak. Segera Bima menyalakan kembali mesin mobilnya yang sempat mati, mobil itu melaju kembali dengan kecepatan stabil. 

Setibanya di stasiun, Zulfa turun dari mobil Bima. Ia berterima kasih atas kebaikan Bima selama ini. Bima memberinya uang tambahan dan juga sebuah handphone. 

“Di handphone ini ada nomorku. Kalau nanti kamu berminat kerja lagi di rumahku, telepon saja aku ya," ujar Bima.

"Iya Pak. Terima kasih banyak.”

Mereka pun berpisah. Sambil tersenyum Zulfa melambaikan tangan pada Bima. Berat rasanya Bima melepas Zulfa, dia khawatir akan terjadi apa-apa pada wanita itu. Tapi Bima juga tidak bisa memaksa Zulfa untuk tetap bekerja di rumahnya. 

Sesaat sebelum pergi dari stasiun, Bima melirik kaca spion mobilnya. Dari pantulan kaca itu ia melihat Zulfa berdiri di pinggir jalan sambil terus memperhatikan mobil Bima. Di samping Zulfa, Bima melihat sosok perempuan berambut panjang dengan pakaian hitam. Perempuan itu tak lain adalah Kanti. Bima mengerutkan dahi, ia lalu mengerjapkan kedua matanya. Seketika saja sosok Kanti menghilang.

SELESAI

BACA JUGA : Haru Mahameru 
close