Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tersesat di Nusakambangan: Kabur (Part 3) Berdasarkan Kisah Nyata

Setiap jam tujuh pagi, semua tahanan dikumpulkan di lapangan untuk mengikuti senam. Setelah itu, kegiatan selanjutnya adalah kerja bakti, ada yang bertugas membersihkan taman, toilet, selokan, koridor penjara, dan halaman belakang penjara. Roni selalu diberi tugas untuk membersihkan koridor penjara.

Pagi itu, ia sedang mengepel lantai, beberapa kali ia masukkan kain pel ke dalam ember yang berisi air lalu memeras kain itu. Ia sodorkan alat pel itu ke lantai, tapi tiba-tiba saja lempengan besi tipis yang menjadi pelekat antara gagang pel dan kainnya itu lepas, mungkin karena sudah usang. Roni berdecak kesal.

"Sialan!" 

Roni membetulkan alat pelnya sambil terus menggerutu. Namun, tiba-tiba saja sebuah ide muncul dalam kepalanya, lempengan yang berukuran satu jengkal tangan orang dewasa itu bisa saja berguna sebagai alat untuk dia kabur. Setelah mengamati keadaan sekitar, Roni memasukkan benda itu ke dalam kantongnya. Tidak ada satu pun penjaga yang melihat aksi Roni. 

Malamnya, ia termangu di dekat teralis sel tahanan sambil memandangi lempengan besi. Ia bingung apa yang harus ia perbuat dengan benda itu. Bagaimana caranya ia kabur hanya dengan menggunakan benda sederhana itu? Roni mengembuskan napas berat, dan dari kejauhan terdengar suara langkah sepatu mendekat, buru-buru ia sembunyikan benda itu ke dalam kantongnya. 

"Woi Ron. Melamun saja," ternyata Pak Rojak.

"Eh, Pak Rojak. Iya Pak, mumpung masih hidup, kalau saya udah mati nanti nggak bisa ngelamun lagi."

"Halah Pak, palingan dia lagi kangen sama saya," tiba-tiba Jumanti nimbrung dari sel sebelah. 

"Sudah jangan dilamunkan, semua manusia di dunia ini pasti akan mati kok. Kematian bukan akhir dari segalanya," motivasi Pak Rojak terdengar aneh. 

Roni hanya nyengir saja. 

Pak Rojak melirik dinding sel Roni yang basah, "Rembes terus ya dindingnya?" tanya Pak Rojak. 

"Iya Pak, apalagi kemarin hujan."

"Wajar Ron, dinding tua itu," timpal Pak Rojak. 

"Iya sih Pak."

"Sel Roni banyak setannya, Pak," celetuk Jumanti lagi dari sel sebelah. 

"Hus, jangan sembarangan kalau ngomong," sergah Pak Rojak. 

"Tidur semuanya, udah larut malam," suruh Pak Rojak sambil mengetukkan sebuah tongkat ke teralis penjara hingga menimbulkan bunyi denting yang nyaring. 

"Iya, Pak," ujar Roni.

Roni kembali melamun, ia benar-benar harus kabur dari penjara ini bagaimana pun caranya. Kemudian kedua matanya cerah kembali, ia mendapatkan sebuah ide cemerlang untuk kabur. Segera Roni bangkit dan meraba-raba dinding selnya, terasa lembap. Ia mengetuk-ngetuk dinding itu, terdengar bunyinya nyaring menandakan kalau dinding itu sudah sangat rapuh. Sejenak Roni berpikir, kemudian ia menengok kolong ranjangnya. Ya, dia tahu alat apa yang ia butuhkan selanjutnya agar bisa kabur dari penjara. Dia butuh tisu dan pasta gigi. 

Idenya adalah, dinding di kolong ranjang itu harus ia bobol menggunakan lempengan besi tipis yang ia punya dengan cara digesek-gesekkan. Roni yakin dalam waktu dua bulan dinding itu bisa dibobol. Ia tahu persis kalau dinding selnya langsung tembus ke halaman belakang penjara. Dan tisu nantinya akan ia gunakan untuk menyumpal lubang yang ia gali pada dinding itu lalu diolesi dengan pasta gigi agar warnanya membaur dengan dinding sehingga saat ada pemeriksaan sel, petugas tidak akan curiga. 

Beberapa hari kemudian, ia berhasil mendapatkan sebuah tisu dan pasta gigi. Ia mendapatkannya dari Jumanti secara cuma-cuma. Kata waria itu, ia ingin berbuat baik sebanyak-banyaknya sebelum hari eksekusinya tiba. 

Setiap malam saat penjaga sedang lengah, ia menggesek-gesekkan lempengan besi tersebut ke dinding, kemudian menutupnya dengan tisu yang sudah diolesi pasta gigi. Sialnya, benda yang ia gunakan untuk membobol dinding tidak sanggup lagi menggapai permukaan lubang yang ia gali. Lalu, diikatnya lempengan besi itu dengan sebuah potongan kayu yang ia temukan saat kerja bakti. Usahanya berhasil, alatnya sekarang bisa menyentuh permukaan dinding. 

Setelah hampir dua bulan menggali dinding, akhirnya dinding itu bisa dibobol, Roni hanya tinggal menunggu waktu yang pas untuk melarikan diri. Ia sudah memikirkan matang-matang rencana ini, dan ia yakin pasti berhasil.

------------------

Kelaparan

-----------------------------

Sehari sebelum beraksi, Roni sudah mengamati halaman belakang penjara. Di sana, tepatnya di sebelah kanan atas, ada sebuah lampu tembak dan posko penjagaan. Penjagaan dilakukan dua puluh empat jam, para petugas saling berganti shift, nyaris tidak ada celah bagi Roni untuk bisa menembus tembok yang tinggi dan berkawat duri tersebut. Penjagaan terlihat sangat sempurna kecuali untuk satu hal; bentuk bangunan pagar tembok penjara itu kurang sempurna dan Roni menyadari itu. Tepat di bagian tengahnya, terdapat tonjolan tembok seperti sebuah tiang yang ditanamkan ke tembok tersebut, sehingga ada tempat luang yang bisa digunakan untuk bersembunyi dari pantauan lampu tembak dan penjagaan petugas.

Alat lainnya yang ia butuhkan adalah bantal guling, tali tambang, dan sebuah alat pengait. Bantal guling akan ia gunakan untuk mengelabui petugas penjaga sel selama ia beraksi, tali dan sebuah pengait akan ia gunakan untuk memanjat tembok di halaman belakang penjara. Lagi-lagi semua alat-alat itu ia dapatkan dari Jumanti; waria yang baik hati. Waria itu sebenarnya mencatat apa saja yang diinginkan Roni. Jadi, ketika keluarga Jumanti datang untuk menjenguk, ia minta dibelikan semua alat-alat yang diinginkan Roni. Hebatnya waria itu berhasil menyelundupkannya ke dalam sel. 

Malam itu, Roni melancarkan aksinya, ia berhasil membuat sebuah boneka dari bantal guling, ia selimuti boneka di atas ranjang itu agar petugas menyangkanya sedang tidur. Setelah itu, tinggal satu dorongan ringan saja dinding yang ia gali sudah bisa digunakan. Roni menunggu waktu yang tepat untuk berlari ke arah dinding penjara. Beberapa kali, lampu tembak itu melintas, Roni sedang menunggu timing yang tepat agar bisa bersembunyi di celah dinding itu. Sesaat sebelum lampu tembak itu menyinari tubuh Roni, lelaki itu sudah berada di tempat yang ia inginkan. 

Kemudian, ia meraih tali tambang yang sudah dilengkapi dengan alat pengait yang terbuat dari besi. Tali itu berhasil menggantung pada kawat duri, Roni menarik-narik tali itu memastikan kalau kaitannya cukup kuat untuk dia panjat. 

Perlahan Roni mulai memanjat tombok pagar tanpa diketahui petugas. Ini adalah pertaruhan hidup dan mati kalau ia berhasil sampai di puncak dan terlihat oleh petugas, pastilah ia akan ditembak. Saat tinggal sedikit lagi sampai di puncak, ia berhenti. Menunggu cahaya lampu tembak melintas terlebih dahulu agar tidak terlihat. Dan dengan sekali tarikan saja, ia berhasil berada di puncak. Ditarikinya tali itu lalu ia lemparkan lagi ke luar penjara, dengan tergesa-gesa Roni menuruni tembok itu. Kaki dan lengannya berdarah terkena kawat duri. 

Belum ada satu pun yang tahu tentang pelariannya. Ia mengendap-endap di antara semak-semak lalu masuk ke dalam hutan. Roni berlari secepat yang ia bisa, entah ke mana arahnya yang penting menjauh dari lapas. Sekitar tiga puluh menit setelah Roni berhasil kabur, bunyi bel darurat yang berasal dari lapas terdengar nyaring. Petugas sudah menyadari kalau Roni melarikan diri. 

"Bergerak cepat!" Suruh kepala lapas pada anak buahnya.

"Siap Pak!"

"Telusuri semua hutan, tangkap dia secepat mungkin!" Kepala lapas naik pitam. 

"Siap Pak," jawab para anak buahnya kompak sambil memegang senjata laras panjang. 

Malam itu juga, mereka menyebar ke segala arah. Anjing-anjing pelacak dikerahkan. Para petugas bersenjata siap meringkus Roni dan membawanya ke tiang kematian. 

Dua hari berlalu dan Roni belum juga ditemukan. Lelaki itu masih berkeliaran di hutan Nusakambangan. Kondisi tubuhnya semakin lemah. Sepanjang pelariannya, ia hanya memakan biji-biji kopi mentah yang ia petik sendiri dari pohonnya. Sementara untuk air minum, dia hanya mengandalkan embun yang menempel pada dedaunan. 

Roni harus terus berjalan, tujuannya adalah pantai. Ia akan menyeberang ke dermaga dengan cara berenang. Tapi, sampai saat ini ia belum juga melihat pantai. Sekelilingnya hanya pohon-pohon besar dan semak-semak rindang. Tubuhnya seketika ambruk, ia tidak lagi punya tenaga untuk berjalan. Matanya sayup memandangi langit yang cerah. Ia pasrah bila memang harus mati di hutan ini sekarang. Perutnya sangat lapar, tenggorokannya sangat haus. Dan saat ia terkapar, tiba-tiba terdengar suara langkah seseorang. Ingin sekali Roni bangkit dan lari, tapi tidak bisa. Langkah itu semakin mendekat, suara daun-daun kering terinjak terdengar sangat jelas. 

close