Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tersesat di Nusakambangan : Perkampungan (Part 4) Berdasarkan Kisah Nyata

Seorang nenek memperhatikan Roni yang sedang terkapar tidak berdaya. Nenek itu membawa keranjang yang terbuat dari anyaman bambu. Di dalam keranjang itu sudah terisi biji-biji kopi yang ia petik dari pohonnya langsung. Nenek itu memicingkan kedua matanya, dengan terbata-bata ia membaca tulisan 'tahanan' pada baju yang dikenakan Roni. Segera nenek itu kabur ketakutan, ia tidak mau ada masalah dengan para penjaga lapas.

Kedua mata Roni berkedip-kedip. Ia sangat kelaparan, biji-biji kopi yang ia makan tidak bisa mengganjal perutnya. Roni tidak tahu berapa lama lagi dia bisa bertahan hidup. Namun, kali ini sebuah keberuntungan berpihak kepadanya. Tanpa disangka-sangka, seekor kelinci melompat lalu hinggap di atas dada Roni. Pelan-pelan Roni mencoba untuk menangkapnya dengan kedua tangan. Dengan sekali percobaan saja, kelinci itu berhasil ditangkap. 

Bersandarlah Roni ke sebuah batang pohon sambil memegang erat kelinci. Dicekiknya leher kelinci itu sampai mati. Beberapa ranting dan dedaunan kering ia kumpulkan. Sebatang kayu digesek-gesekkan pada permukaan kayu lainnya agar mengeluarkan api. Tidak butuh waktu lama, asap mulai mengepul, arang pun terbentuk. Roni tersenyum lantaran ia berhasil membuat api. Kemudian, kelinci itu dipanggang bulat-bulat. 

Malam pun tiba. Roni masih duduk bersandar di bawah pohon. Perutnya sangat kenyang setelah memakan seekor kelinci yang berukuran besar. Entah dari mana asalnya, tiba-tiba saja ia mendengar gemuruh suara kerumunan orang. Roni terkejut dan langsung berdiri. Hanya ada dua hal yang terlintas di benaknya tentang suara itu; kalau bukan petugas lapas, ya pasti setan. 

Roni mencoba untuk mencari tahu dari arah mana datangnya suara gemuruh itu. Ia melangkah ke arah barat, suara itu berasal dari sana. Dan benar saja, ia melihat kerumunan orang, itu seperti pasar malam. Banyak pedagang, wahana bermain, dan lalu-lalang orang yang sedang menikmati pasar. 

Ragu-ragu ia melangkah menuju pasar malam itu. Antara rasa curiga dan bahagia. Sebenarnya, ia takut kalau yang ia temui ini adalah pasar hantu, tapi di sisi lain bisa saja Pulau Nusakambangan ini memang benar-benar sudah ada penduduknya. Roni memberhentikan langkahnya, ia membuka baju dan memakainya terbalik agar tidak diketahui kalau ia adalah tahanan yang kabur. 

Pasar malam tampak ramai sekali. Ada sepasang kekasih yang sedang bahagia memandangi gemerlap komedi putar, ada anak kecil dan ayahnya sedang asik bermain 'tembak boneka beruang' juga ada pedagang gulali yang ramai dikerumuni pembeli. Walau pasar malam itu ramai, tapi tidak ada satu pun yang melirik Roni. Hingga saat ia melewati sebuah kedai permainan 'memanah boneka', seorang lelaki memanggilnya. 

"Mas, mau coba main?" Tanya seorang lelaki kurus sambil tersenyum ramah. 

"Saya tidak punya uang, Mas."

"Gratis saja, sini," pinta lelaki itu. 

Roni mendekat. Sebuah busur panah disodorkan padanya, ia mengambil anak panah yang tergeletak di atas meja. Dengan penuh konsentrasi, ia membidik sebuah boneka kelinci. Setttt! Anak panah itu melenceng. 

"Fuh! Kurang beruntung," kata pemilik kedai sambil tertawa. 

Roni tersenyum, setidaknya permainan itu menghiburnya.

"Oya Mas, emangnya di sini ada perkampungan, ya?" Tanya Roni. 

"Iya, tuh di sana," lelaki itu menunjuk ke arah kanan. 

Benar saja, di sana terlihat sebuah perkampungan warga. Mungkin mereka bukan hantu, kata Roni dalam hatinya. 

-------------------

Ellena

-----------------------------

Roni berjalan perlahan masuk ke perkampungan. Di sana sepi, mungkin karena ada pasar malam, jadi warga kampung berbondong-bondong datang ke sana. Lampu-lampu di depan rumah warga menyala dengan terang, perkampungan terlihat sangat aman dan damai. Saat Roni sedang memperhatikan sekitarnya, tiba-tiba suara seorang wanita memanggil dari belakang.

"Hai kamu."

Roni membalikkan badan. Ia melihat seorang wanita muda yang umurnya mungkin saja dua puluh tahunan, parasnya cantik, kulitnya putih, rambutnya sebahu. Wanita itu mengenakan kaos oblong berwarna putih dan celana jeans biru.

"Iya," sahut Roni. 

"Kok nggak ke pasar malam? Lagi seru loh." 

"Tadi udah."

Jawab Roni dengan gugup. Ia heran kenapa wanita itu tiba-tiba sok kenal.

"Aku baru lihat kamu di kampung ini. Kamu orang mana?" Tanya wanita itu. 

"Oh... i... itu aku orang em... seberang. Iya seberang, dari Cilacap," Roni menjawabnya terbata-bata. 

"Kenalkan, aku Ellena," ia menyodorkan tangan untuk bersalaman. 

"Roni, aku Roni."

"Baru pertama kali di sini, ya?" Tanya wanita itu. 

"Iya, baru kali ini."

"Kalau gitu mau nggak ke rumah aku. Ibu sama bapak lagi ngadain selamatan gitu di rumah," ajak Ellena. 

"Selamatan apa?"

"Adik pertamaku baru lahir tiga hari yang lalu."

Roni mengiyakan ajakan Ellena. Lokasi rumah Ellena memang terpisah dari perkampungan. Sehingga Roni harus melewati sebuah jalan yang menurun, cukup curam. Ia melihat ada pohon-pohon bambu yang menjulang tinggi. Di sanalah letak rumah Ellena, sebuah rumah gubuk kecil yang disinari lampu lima watt. Di depan rumah itu hanya ada satu jendela kecil dan sebuah beranda yang terbuat dari bambu. 

"Pak, ada tamu, nih," Ellena masuk ke dalam rumah sambil menuntun lengan Roni.

"Oalah, kebetulan sekali. Kita lagi selamatan, nih."

"Iya Bu, Pak. Tadi saya diajak Ellena," timpal Roni basa-basi. 

"Namanya Roni. Pak," sambung Ellena.

"Ron, kenalin. Ini bapakku, warga biasa memanggilnya Mbah Sukur."

Roni menjabat tangan Mbah Sukur, tangan lelaki itu terasa dingin. Seperti orang mati. 

"Dan, ini ibuku. Namanya Bu Darsiah."

Roni melayangkan senyum yang seketika dibalas dengan senyuman hangat. 

close