Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tersesat di Nusakambangan : Lembah Nirbaya (Part 5) Berdasarkan Kisah Nyata

"Sini Nak!" Roni diajak ke dapur oleh Mbah Sukur.

Di sana ia melihat banyak makanan terhidang. Ada goreng ikan kakap, sayur lobster, ayam goreng, dan berbagai macam sayur. Mbah Sukur dan Ibu Darsiah duduk di hadapan hidangan, sedangkan Roni dan Ellena duduk bersebalahan. Melihat semua hidangan enak di hadapannya membuat air liur Roni mencair di dalam mulutnya, untuk menjaganya agar tidak menetes, ia menelan air liurnya sendiri. 

"Silakan dimakan, Nak Roni."

"Oh, iya Mbah Sukur. Kebetulan saya sangat lapar."

Dengan lahap, Roni menyantap hidangan itu. Usai makan, mereka mengobrol banyak hal; dari mulai awal kedatangan keluarga Mbah Sukur di Pulau Nusakambangan hingga soal pasar malam yang setiap sebulan sekali digelar. 

"Oya, Mbah. Ini namanya kampung apa, ya?"

"Pasir Putih. Pendahulu kami yang menamainya," yang jawab malah Ellena. 

"Diminum tehnya, Nak," Ibu Darsiah menyuguhkan segelas teh dan secangkir kecil madu. 

"Iya Bu, terima kasih," Roni tersenyum dan meraih secangkir teh hangat. 

"Sebenarnya, apa tujuan Nak Roni datang ke Nusakambangan?" Tanya Mbah Sukur.

"Oh, tujuan saya cuma berwisata saja, Mbah. Soalnya banyak yang bilang kalau Nusakambangan ini pulau penjara. Jadi, saya penasaran."

"Oalah begitu ya," Mbah Sukur menyeruput secangkir kopi. 

"Oya Bu, boleh nggak kalau Mas Roni nginep aja di rumah kita untuk malam ini. Kasian dia, tadi saja kayak orang nyasar di kampung," Ellena menatap ibu dan bapaknya. 

"Tentu saja boleh," kata Mbah Sukur sambil tersenyum. 

"Kebetulan ada kamar kosong di rumah ini," lanjutnya. 

"Terima kasih, kalian baik sekali. Saya jadi tidak enak," Roni tersipu malu. 

"Nggak apa-apa Mas. Kami jarang kedatangan tamu, kok." 

"Betul itu Mas, jarang sekali orang yang mau bertamu ke rumah kami," Bu Darsiah menambahkan. 

Malam itu obrolan di tutup dengan bersulang secangkir teh. Roni pergi ke kamar, di sana ada kasur yang sangat empuk dan nyaman. Bantalnya wangi, seperti baru saja disemprot pengharum. Ada selimut tebal yang sangat nyaman digunakan.

Roni mematikan lampu lalu membenamkan diri di kasur. Ia tidak menyangka di tengah hutan seperti ini bisa menemukan keluarga yang baik hati seperti Ellena, Mbah Sukur, dan Bu Darsiah. Untuk sementara ia bisa bersembunyi di rumah ini dari kejaran petugas lapas.

Perlahan, ia mulai memejamkan matanya. Suara dengkur Mbah Sukur terdengar dari kamar sebelah. Besok pagi, dia akan menanyakan jalan menuju pantai lalu pergi dari kampung ini.

Keesokan paginya, entah apa yang terjadi, Roni mendapati dirinya terbaring di atas dedaunan kering, tepatnya di bawah pohon beringin. Seekor kalajengking merayapi wajahnya. Ia berteriak ketakutan. Masih melekat di ingatannya kalau semalam dia menginap di rumah Ellena.

Ke mana mereka? Di mana kampung Pasir Putih? Semua lenyap. Di sekeliling Roni hanya ada semak-semak, rumput liar setinggi satu meter, pohon yang besar-besar, dan sebuah tiang yang ada bercak darah kering di permukaannya. Roni sedang berada di lembah, tempat eksekusi para narapidana yang divonis mati. Ya, apa lagi kalau bukan Lembah Nirbaya. 

--------------

Hukuman Mati 

---------------------------------

Roni masih kebingungan dengan apa yang terjadi dengannya. Ia kemudian mendekati sebuah tiang yang terdapat bercak darah kering. Ia menduga kalau tiang itu digunakan untuk eksekusi para terpidana mati.

Bulu kuduknya merinding. Ia segera menjauh dari lokasi itu. Secepat mungkin ia harus menemukan pantai agar bisa menyeberang ke dermaga Wijayapura. 

Ketika Roni sedang berjalan menyusuri hutan, tiba-tiba ia melihat iring-iringan orang yang memikul keranda. Rombongan itu berjalan ke arah barat. Roni membuntuti dari belakang.

Sampailah dia di sebuah pemakaman. Di sana ada sekitar sepuluh kuburan. Sebuah lubang sudah disiapkan untuk mayat yang baru diantarkan. Mayat dikeluarkan dari keranda tanpa dibungkus kain kafan. Roni dapat dengan jelas melihat kalau mayat itu adalah Ellena. 

Roni terkejut melihat mayat Ellena. Sebab, baru tadi malam ia melihat Ellena di rumahnya. Roni buru-buru menghampiri kerumunan orang di pemakaman. Ia ingin menanyakan perihal kematian Ellena dan kampung Pasir Putih.

Lengan Roni menyentuh pundak seorang lelaki. Entah apa yang sedang terjadi, tiba-tiba saja tubuh lelaki itu seperti kabut yang buyar saat tersentuh. Juga semua orang yang ada di pemakaman lenyap begitu saja. Gundukan sepuluh kuburan pun seketika hilang.

Dengan penuh ketakutan, Roni berlari sekuat tenaga ke arah barat. Ia melewati pohon-pohon pinus dan menerjang semak belukar. Ia berlari sejauh mungkin. Kali ini, ia tidak akan lagi mau mengikuti keanehan di hutan ini.

Malam pun jatuh. Tapi, Roni belum juga menemukan pantai. Ia bahkan merasa semakin tersesat di hutan Nusakambangan. Dari kejauhan terdengar langkah kaki yang mendekat. Roni bersembunyi di balik pohon. Ia melihat Jumanti, waria yang menjadi tetangga selnya.

Dua orang lelaki memegangi lengan waria itu yang diborgol di belakang pinggang. Sementara di belakang Jumanti, ada sepuluh orang polisi penembak jitu yang berseragam lengkap. Di tangan mereka sudah siap senapan laras panjang. Ada juga seorang rohaniawan yang akan menemani Jumanti sesaat sebelum eksekusi nanti. Seorang dokter yang akan bertugas memeriksa kematian Jumanti juga berada di antara mereka. 

"Berdiri di sana!" kata seorang komandan.

Jumanti berjalan dengan lesu. Air mata membasahi pipinya. Ia sebenarnya belum siap mati. Masih banyak hal yang ingin ia lakukan di dunia ini. Penyesalan mulai menyelimuti hatinya saat ia berdiri di depan tiang kematian. Seorang rohaniawan mendekat lalu memberinya nasihat agar tegar menghadapi kematian. Berkali-kali rohaniawan itu mengusap kepala Jumanti yang terus menangis pilu. 

"Apa permintaan terkahirmu?" Tanya rohaniawan. 

"Tidak ada," jawab Jumanti sambil tertunduk lesu. 

"Kau pasti diberi tempat terbaik di sisi Tuhan. Percayalah, kehidupan di sana lebih menyenangkan ketimbang di dunia ini. Ada surga terbaik menantimu."

Jumanti mengangguk lesu. Kemudian, Rohaniawan itu menjauh darinya. Komando regu tembak mengucapkan aba-aba agar para personelnya bersiap. Sepuluh orang penembak jitu berbaris rapi.

Hanya ada satu senapan yang diisi peluru sungguhan di antara senepan-senapan yang moncongnya diarahkan ke jantung Jumanti. Itu pun diacak. Mereka tidak tahu apakah senapan mereka berisi peluru sungguhan atau tidak. Hal ini demi menjaga mental para penembak. 

Jumanti memilih untuk menutup matanya dengan sebuah kain hitam. Komandan berdiri di samping para penembak jitu. Ia mengacungkan sebuah tongkat sebagai aba-aba bersiap. Lalu, saat tongkat itu diturunkan, seketika suara tembakan memekak memecah keheningan malam.

Jumanti terengah-engah antara hidup dan mati. Ia sekarat, tapi jantungnya masih berdetak. Sesuai prosedur, setelah dokter mengkonfirmasi kalau Jumanti masih hidup, komandan mencabut pistolnya yang ia sarungkan di pinggang. Ia mengarahkan moncong pistol itu di atas telinga Jumanti. Dengan sekali tembak saja, Jumanti tewas.

Sementara itu di balik pohon, Roni tidak sengaja menginjak ranting sehingga menimbulkan bunyi yang terdengar oleh telinga komandan. Sialnya, Roni malah lari. Ia kemudian dikejar oleh sekolompok regu tembak.

Beberapa kali komandan menembaknya, tapi meleset. Entah pada tembakan keberapa, akhirnya peluru komandan mengenai punggung Roni. Saat itu juga Roni tewas di hutan Nusakambangan.

Ia tidak pernah bisa kabur dan tidak akan pernah bisa menemukan pantai. Hal ini karena Mbah Sukur, roh terkuat di pulau Nusakambangan selalu menyesatkan langkah Roni agar tidak pernah bisa sampai ke pantai. Setiap kali Roni berlari, sebenarnya dia hanya berputar-putar di satu tempat. Ya, di lembah Nirbaya. Roni hanya berputar-putar di tempat eksekusinya sendiri. 

TAMAT

close