Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tersesat di Nusakambangan: Sel Angker (Part 2) Berdasarkan Kisah Nyata

Malam semakin larut, Roni tiba di Lapas Batu; sebuah lapas untuk narapidana kelas kakap. Dua orang polisi berbadan kekar memegangi pundaknya dan mengawalnya menuju gerbang lapas. Di sana, Roni disambut dua orang lelaki berperut buncit yang mengenakan seragam dinas lengkap dengan sepatu boot hitam. Dibukanya pintu gerbang tersebut, terdengar nyaring suara denyit gesekan roda gerbang, membuat ngilu di telinga.

"Ya, masuk," suruh petugas berseragam dinas.

Langkah Roni terasa berat, ia tidak menyangka kalau hidupnya akan berakhir di Nusakambangan. Kepalanya menengok ke kiri dan ke kanan, memerhatikan sekeliling. Pagar penjara sangat tinggi dan di ujungnya terdapat kawat duri yang dipasangkan dengan rapi. Sementara di sudut-sudut pagarnya terdapat posko pemantau. Di atas sana, ada petugas yang berjaga dua puluh empat jam. Mereka semua adalah para penembak jitu dengan senapan laras panjang yang siap menembak siapa pun yang berani kabur dari lapas. Penjagaan bukan hanya sampai di situ, lampu tembak juga terpasang di sudut-sudut pagar penjara untuk memudahkan pemantauan di malam hari. Dengan penjagaan yang sangat ketat, mustahil bagi Roni untuk bisa kabur dari lapas.

Tiba di pos pemeriksaan, baju Roni dilucuti dan disuruh ganti dengan baju tahanan yang baru. Setelah berganti pakaian, Roni diminta menyebutkan beberapa informasi diri, petugas sibuk mencatatnya. Setelah itu, ia digiring kembali melintasi sebuah koridor. Di sana, ada sel-sel tahanan yang hanya di isi satu orang per sel. Ia kemudian dimasukkan ke dalam sel tahanan nomor sebelas.

"Masuk," suruh petugas.

Roni tidak menimpali, ia berjalan perlahan masuk ke sel tersebut.

"Tanganmu," pinta penjaga tersebut.

Dari dalam penjara, Roni menyodorkan kedua lengannya melalui teralis penjara. Petugas itu membuka borgol Roni dan tersenyum satire.

"Selamat bermalam di hotel Nusakambangan, boy," kata petugas itu sambil menatap Roni.

"Tunggu, Pak," sesaat sebelum petugas itu beranjak, Roni memanggilnya.

"Iya?" petugas menghentikan langkahnya.

"Nama Bapak siapa?" tanya Roni.

"Rojak, panggil saja Pak Rojak. Baik-baik di sini, jangan buat masalah," saran Pak Rojak.

Ia kemudian berlalu sambil bersiul-siul. Satu sel tahanan hanya di isi satu orang saja demi menjaga keamanan. Roni melangkah mundur lalu duduk lesu di atas sebuah ranjang kayu, di atas ranjang itu ada sebuah kasur lantai yang sudah apek dan kempes karena termakan usia. Juga bantal kecil dan selimut tipis tergeletak di ujung ranjang. Sementara di pojok kanan ruang tahanan, ada sebuah toilet duduk yang sudah sangat usang. Dudukan toilet itu dekil dan pecah-pecah. Di samping toilet, ada sebuah wastafel kecil dan cermin yang retak di sana-sini.

Dinding sel Roni terlihat tua dan catnya pudar, ada bekas air hujan yang merembes pada dinding tersebut, sehingga kalau disentuh maka akan terasa basah di telapak tangan. Roni melangkah menuju wastafel, ia menyalakan airnya dan melihat pantulan wajahnya di cermin. Wajahnya terlihat sangat kusut, sungguh ia tidak pernah menyangka hidupnya sebentar lagi akan berakhir. Seketika saja, ia teringat anak dan istrinya yang sekarang entah di mana. Lima tahun yang lalu ia menceraikan istrinya, juga menelantarkan anaknya. Sialnya, dia belum sempat minta maaf sampai detik ini.

Tidak. Ia tidak mau mati di sini. Lebih baik mati ditembak saat melarikan diri ketimbang menyerahkan nyawa di hadapan regu tembak. Maka malam itu juga, dalam sel tahanannya, ia berencana untuk kabur. Entah dengan cara apa, ia harus benar-benar memikirkannya sebelum hari eksekusinya tiba.

Saat benak Roni sedang memikirkan cara untuk kabur, tiba-tiba saja jatuh setetes darah dari atas mengenai rambutnya. Ia terkejut lalu mendongak ke atas, tapi tidak ada apa-apa.

--------------------

Sel Angker

-------------------------------------------

Akhir-akhir ini, Roni heran dengan sel yang ia tempati. Dinding atasnya sering meneteskan darah ketika malam tiba. Sudah tiga hari dia harus membersihkan lantainya dari bercak darah. Darah yang menetes dari dinding tembok atas itu adalah darah segar, Roni tidak tahu pasti apakah itu darah manusia atau hewan. Pernah suatu pagi ia menanyakan kejanggalan itu pada Pak Rojak.

"Sudah terima saja. Kau kebagiannya sel ini," itu jawaban Pak Rojak setiap kali Roni menanyakan perihal darah.

Hingga pada suatu malam, Roni sedang terbaring di atas tempat tidurnya. Ia masih memikirkan bagaimana caranya agar bisa kabur dari Nusakambangan. Tiba-tiba saja, tidak ada angin tidak ada hujan, sekelebat wanita melintas di depan selnya. Roni melihatnya dengan sangat jelas, barusan adalah sosok wanita mengenakan piama putih. Ini penjara khusus lelaki, lantas dari mana asal wanita itu? Benak Roni bertanya-tanya.

"Woi, woi," Roni memanggil penghuni sel sebelahnya.

"Iya bro," yang menyahut memang suara laki-laki tapi terdengar kemayu karena memang tetangga selnya Roni adalah seorang waria. Jumanto nama aslinya, tapi maunya dipanggil Jumanti.

"Lu liat ada cewek yang lewat nggak tadi?"

"Eh, sel elu itu angker, sayang," kata Jumanti.

"Kok lu baru ngasih tahu gua?!" nada bicara Roni naik.

"Ya kan elu nggak nanya, sayang," Jumanti malah menggoda dengan nada genit.

Waria itu juga dipidana mati oleh pengadilan lantaran memutilasi temannya sendiri. Sebuah pembunuhan berencana yang keji. Bagaimana tidak, setelah dimutilasi, organ-organ tubuh temannya dijadikan makanan anjing. Kasusnya terbongkar setelah salah seorang warga mencium bau busuk di rumah Jumanti, yang ternyata berasal dari kepala temannya yang diletakkan begitu saja di bawah tempat tidur.

"Anjir takut banget gua. Bisa pindah nggak sih?" Roni mengerutkan dahinya.

"Sel udah penuh semua, elu nggak akan bisa pindah," timpal Jumanti.

"Udah ah gua ngantuk mau tidur," sambungnya.

Sesaat kemudian, keran wastafel menyala sendiri, airnya deras mengalir. Pelan-pelan Roni mendekat, ia matikan keran air dan dari cermin, ia melihat sosok wanita berponi, rambutnya pirang sebahu, tersenyum anggun di belakangnya.

Sontak, ia membalikkan badannya, tapi tidak ada siapa-siapa. Saat ia kembali melihat ke cermin, sosok itu masih ada dan tentunya masih tersenyum, ia mengenakan piama putih sama persis dengan sosok wanita yang melintas di depan selnya barusan. Berkali-kali, Roni memalingkan badannya, tapi sosok itu tetap tidak ada dan hanya bisa dilihat di cermin saja. Darah kembali menetes dari tembok atas selnya.

Buru-buru Roni membenamkan diri di atas ranjang, ia selimutkan kain tipisnya. Keringatnya bercucuran dari dahi, tangannya bergetar, kakinya ditekuk. Roni sadar kalau ia tidak tinggal sendiri dalam sel ini. Ada mahluk gaib yang senantiasa akan mengganggunya. Selnya benar-benar angker.

<<Cerita Tersesat di Nusakambangan Part 3 selanjutnya>>

close