Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tersesat di Nusakambangan : PENANGKAPAN (Part 1) Berdasarkan Kisah Nyata


"Halo. Pak, masih nyadap karet?" tanya suara perempuan dari telepon genggam.

"Masih, Bu," jawab lelaki itu.

"Sebentar lagi gelap. Aku kan sudah bilang, kalau nyadap karet jangan kemaleman," sahut suara itu. 

"Tanggung, Bu, tinggal sedikit lagi."

Sugiman menutup telepon genggam jadul miliknya. Ia malas mendengarkan ocehan istrinya yang marah-marah karena ia sering pulang malam dari hutan. 

Di Pulau Nusakambangan ini, Sugiman dan istrinya adalah salah satu penduduk ilegal yang tidak mempunyai KTP. Sugiman sengaja membawa istrinya ke Pulau Nusakambangan untuk membuka lahan karet. 

Memang betul ocehan istrinya, hari semakin gelap dan sangat berbahaya berada di hutan, tapi Sugiman lelaki berumur lima puluh tahun itu sangat bebal dan tidak bisa diatur. Ia bersikukuh menyadap beberapa pohon lagi. Sebuah karung kumal yang menguarkan bau karet busuk dijinjingnya, tangan kanannya menggenggam pisau sadap, ia mengenakan baju kuning lusuh dan celana pendek yang banyak kantungnya. Kedua kakinya dilindungi sepatu boot sehingga mampu menerjang semak berduri. Sebuah lampu senter terikat dengan baik di kepalanya agar jarak pandangnya tak tertutup kabut.

Saat ia mengiriskan pisau sadap ke batang pohon karet, tiba-tiba handphone jadulnya berbunyi kembali. 

"Iya Bu ini mau pulang," sergah Sugiman tanpa menunggu lawan bicaranya. 

Tapi tidak ada suara apa pun di seberang telepon itu. 

"Bu?" periksa Sugiman sambil mendekatkan handpohone jadulnya ke telinga. 

"Bu?" 
"Sugiman...," yang terdengar malah suara lelaki terkesan berbisik. 

Sontak saja Sugiman kaget dan telepon tiba-tiba terputus. Segera ia cek di riwayat panggilan masuk, tapi tidak ada satu nomor pun di sana. Ia menarik napas, mencoba untuk tenang.

Lalu, berjalan lagi ke pohon karet berikutnya. Sesampainya di sebuah pohon karet, ia terheran-heran lantaran getah karet di pohon itu menetes-netes seperti ada yang menyadapnya. Pada batangnya pun terlihat garis bekas pisau sadap yang masih baru. 

Sugiman yakin hal ini bukan perbuatan pencuri karena batok karet masih utuh dan tidak mungkin juga ada orang sebodoh itu mau menyadap pohon tanpa mencuri karetnya. Ia kemudian mengambil karet dalam batok lalu berjalan kembali ke pohon berikutnya. Langit sudah sepenuhnya gelap, hanya senter Sugiman satu-satunya penerang di hutan itu. 

Ketika ia memeriksa pohon berikutnya, lagi-lagi pohon itu seperti baru saja disadap orang, getahnya mengalir ke batok, ada bekas pisau di batang pohonnya. Jantungnya mulai dak-dik-duk tak karuan, bulu kuduk berdiri semua. Kemudian, saat ia hendak menuju pohon berikutnya, terlihat sosok tanpa kepala yang sedang menyadap pohon karet miliknya,

"Mbah Sukur," pekik Sugiman.

Ia tidak pernah terpikir kalau mitos itu nyata. Mbah Sukur diyakini sebagai arwah paling kuat yang menghuni Pulau Nusakambangan. Menurut cerita yang ia dengar dari masyarakat, dulunya Mbah Sukur adalah seorang narapidana yang dihukum mati dengan cara dipenggal. Kini, sosok itu ada di hadapannya. 

Tanpa ambil ancang-ancang lagi, segera Sugiman melempar pisau sadapnya dan berlari sekencang -kencangnya. Sepatu boot yang ia gunakan menerjang semak-semak bahkan tanaman nanas yang banyak durinya ia terjang saja. Sekeliling gelap sekali, hanya cahaya senter di atas kepalanya yang menjadi satu-satunya cahaya. 

Sugiman berhenti. Napasnya ngos-ngosan, dadanya sesak, bajunya basah oleh keringat, tangan dan kakinya gemetar. Sugiman menoleh ke kiri dan kanan. Ia tidak tahu sudah berlari berapa kilo meter. 

Ia bersandar ke salah satu pohon karet. Betapa terkejutnya saat pandangannya tertuju pada sayatan di pohon karet yang masih baru. Tak jauh dari situ, sosok yang diyakini sebagai Mbah Sukur pun terlihat masih sibuk menyadap karet. 

Sugiman menyadari, ia ada di tempat semula saat pertama kali melihat sosok Mbak Sukur. Sayangnya ketika ia memutuskan berlari lagi, kakinya tidak dapat digerakkan sama sekali seperti dipaku ke tanah. Sosok tanpa kepala buntung itu mendekat pada Sugiman dengan langkah patah-patah. Darah segar mengucur dari leher tanpa kepala itu.

"Ampun, Mbah Sukurrrrrr. Ampuuun!" Sugiman menangis sejadi-jadinya.

Dan malam semakin larut.

--------------------
Penangkapan
---------------------

Dalam sebuah gedung tua, Roni melakukan sebuah transaksi narkoba kepada pelanggannya. Sudah bertahun-tahun ia melakoni pekerjaan sebagai pengedar narkoba. Kali ini, pelanggannya semakin kecanduan, itu artinya kesempatan untuk Roni menaikkan harga narkoba miliknya. Yang ia jual narkoba jenis sabu-sabu, sudah banyak di lingkungannya yang menjadi korban Roni. 

Tapi nasib baik tidak selalu berpihak kepada Roni. Ia tidak tahu kalau polisi sudah berhari-hari mengintainya. Kamar kos yang ia tempati sebenarnya sudah dikepung oleh intel; ada intel yang berpura-pura jadi penghuni kos baru, ada yang jadi tukang bakso, ada yang jadi tukang gorengan, bahkan ada yang jadi tukang parkir di gedung dekat Roni biasa menjual narkoba. 

"Jangan bergerak!" sepuluh polisi mengelilingi Roni, mereka menodongkan senjata api ke arah Roni dan pelanggannya. 

Hari itu juga, ia ditangkap polisi. Bahkan, di kosnya polisi menemukan sepuluh kilogram sabu-sabu. Berbulan-bulan, Roni mengikuti persidangan. Ia kemudian dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan. 

Kain hitam yang menutupi kepala Roni dibuka dengan paksa oleh petugas. Rambut ikalnya acak-acakan, ia menggelengkan kepala, memicingkan mata, pandangannya masih sedikit buyar. Matanya melirik ke sekeliling, terlihat gelap karena malam hari. Air laut bergoyang tenang di hadapannya. Ia mendongakkan kepala dan membaca tulisan di sebuah gapura: Dermaga Wijayapura. Sebuah dermaga untuk menyeberang ke Pulau Nusakambangan. Roni menelan ludahnya sendiri, ia sekarang duduk di atas sebuah kapal. Ia tahu kalau dirinya akan dibawa ke Pulau Nusakambangan sebelum dieksekusi mati lima bulan lagi. 

Kedua tangannya diborgol ketat. Dua orang polisi berbadan kekar menjaganya di sisi kiri dan kanan. Roni menyandarkan punggungnya ke kursi. Kapal mulai berjalan perlahan meninggalkan Dermaga Wijayapura. 

"Berapa jam kita sampai, Pak?" tanya Roni.

"Nggak nyampe tiga puluh menit," jawab petugas dengan ketus. 

Roni melempar pandangan ke laut yang gelap, hanya cahaya lampu kerlap kerlip terlihat dari perumahan warga di Dermaga Wijawapura. Tidak sengaja, mata Roni melihat sebuah perahu kecil tanpa lampu bergerak mendekati kapal yang ia tumpangi. Roni meruncingkan pandangannya dan terkejut bukan main saat melihat sosok tanpa kepala sedang berdiri di atas perahu itu. 

"Pak, ada setan, lihat, Pak!" sergah Roni.

Tapi saat petugas mengecek, perahu itu hilang entah ke mana. Bulu kuduk Roni berdiri semua. 

Setibanya di Dermaga Sodong, Roni dijemput sebuah mobil truk berwarna hijau yang bertuliskan 'mobil tahanan' ia digiring masuk ke dalam mobil itu. Di perjalanan, ia melempar pandang ke luar jendela mobil, dan terkejut kembali saat melihat sosok lelaki tanpa kepala berdiri di pinggir jalan. Ia kemudian memejamkan mata dan tidak mau melihat ke luar lagi. Benar kata orang-orang, pulau ini memang banyak setannya. 

close