Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kualat Gunung Pulosari: Gubuk Tua (Part 5)

Aku terkejut saat sosok wanita itu berubah menjadi Riki. Kerisku telanjur menusuk tenggorokannya. Mata Riki melotot, kaca matanya jatuh. Kedua tangannya bergetar seperti kecoa yang sedang sekarat.

Kucabut kembali keris yang panjangnya hanya setelunjuk orang dewasa itu. Darah muncrat dari lubang dari bekas tancapan keris. Aku berteriak sambil menahan tubuh Riki yang lunglai. 

“Rik! Rik! Riki!” 

Kututup luka yang masih terus mengeluarkan darah dengan sapu tanganku. Ia sekarat. Matanya menatapku seperti ada hal yang ingin ia ucapkan, tapi tertahan di tenggorokannya. 

“Ma... maafin gua, Ri. Pu... pu... pulanglah,” katanya. 

Sesaat kemudian kedua matanya terkatup. Aku tidak lagi merasakan detak jantungnya. Aku menangis. Rasanya ingin sekali aku bunuh diri saja saat itu juga. Tidak sanggup lagi aku bertahan di gunung seperti ini. Kejadian demi kejadian yang aku alami semakin aneh dan tragis. 

Hujan tidak kunjung reda. Aku bangkit lalu merogoh sebuah tali dari dalam tas ranselku. Kuikatkan tali itu ke tubuh Riki. Aku harus membawa pulang jasad Riki. 

***

Dua hari berlalu. Aku seperti berputar-putar saja di kawasan gunung ini. Selama dua hari ini, aku makan belalang panggang. Koloni belalang itu kutemukan di tengah perjalananku. Yang menjadi masalah saat ini adalah jasad Riki yang semakin membusuk. Tubuhnya mengeluarkan bau yang begitu menyengat. 

Aku berhenti di tengah jalan setapak. Aku rogoh botol air minum dari dalam tas, yang sempat kuisi saat turun hujan. Aku meneguk air itu. Aku menoleh ke jasad Riki. Dalam kondisi seperti ini, tidak mungkin aku bisa membawanya pulang. Menguburkan jasad Riki bisa jadi jalan terbaik. 

Kulepaskan tali yang mengikat tubuhnya. Aku lalu mencari permukaan tanah yang lembap sehingga mudah untuk digali. Dengan susah payah, aku menggali tanah itu menggunakan sebuah batang kayu sebesar lengan orang dewasa yang telah kuruncingkan ujung kayunya. 

Aku tidak mampu menggali tanah itu terlalu dalam. Asal bisa menimbun jasad Riki itu sudah cukup. Setelah berhasil menguburkannya, kutancapkan batang kayu tersebut sebagai penanda kuburannya. Kamudian, aku berdoa untuk Riki.

Malam kembali jatuh. Aku masih menyusuri jalan setapak yang seolah tidak berujung. Mira dan Eldi tidak lagi muncul. Sementara bola api masih melayang mengikutiku kemana pun aku pergi. Tak lama kemudian, aku mencium bau kayu kering yang dibakar. Dari jauh terlihat bayangan api unggung. 

“Akhirnya...,” aku tersenyum bahagia. Tampaknya ada seseorang yang berkemah di sekitaran sini. 

Kupercepat langkahku menerjang semak-semak. Tapi, setibanya di sumber cahaya aku tidak melihat orang berkemah di sana. Itu lagi-lagi gubuk tua yang pernah kudatangi. Di depan gubuk itu ada api unggun yang menyala dan seorang lelaki yang sedang duduk sila menghadap api tersebut. 

Aku mengenali lelaki itu. Dia Pak Jaro, si juru kunci Gunung Pulosari. Aku tidak tahu apa yang sedang ia lakukan. Kudekati dengan perlahan. Dia bangkit dari duduk silanya sebelum aku sempat menyapa. Pak Jaro menatapku dengan tatapan datar. Aku waspada. Tangan kananku bersiap memegang pisau. 

“Kau mau lihat apa yang sudah kau perbuat?” Pak Jaro melangkah menuju gubuk. 

Dia menendang pintu gubuk itu. Betapa terkejutnya aku saat melihat Abah Sarta dan nenek Sapinah tewas. Lehernya digantung. Kedua matanya melotot, lidahnya terjulur. Aku tidak tahu apa yang sudah terjadi terhadap mereka berdua. 

“Mereka mati karena mencoba menyelamatkanmu,” kata Pak Jaro. Lanjutnya, “Kau beruntung. Kau lahir malam Jumat. Jin di sini tidak bisa melukaimu, tapi dia tidak akan membiarkan kau pergi dari gunung ini.” 

Mataku jeli memperhatikan gerakan tangan Pak Jaro yang perlahan merogoh sesuatu dari balik punggungnya. Aku mundur beberapa langkah. Benar saja dia mengeluarkan golok.

“Aku harus membunuhmu dan menjadikanmu tumbal agar tidak ada lagi korban jiwa.”

Dua lelaki muncul dari belakang gubuk. Masing-masing dari mereka membawa tali. Aku langsung lari sekuat tenaga menjauh dari Pak Jaro. Mereka bertiga mengejarku. 

“Kau harus mati!” teriak Pak Jaro dari belakang. 

Aku lari seperti babi hutan saja, menabrak apa pun yang ada di hadapanku. Sesekali aku menoleh ke belakang. Cahaya senter Pak Jaro berayun-ayun semakin mendekat ke arahku. Sengaja kumatikan senterku agar tidak terlihat olehnya. 

Seandainya aku harus mati di gunung ini, aku tidak mau mati ditangan Pak Jaro.
-----------
Bertemu Riki 
-------------------
Aku bersembunyi di balik batu yang berlumut. Masih dapat kulihat cahaya senter mereka berayun-ayun dari kejauhan. Langkah mereka semakin mendekat. Aku berlari lagi untuk menjauh dari mereka. 

“Itu dia!” teriak salah satu anak buah Pak Jaro. 

Kaki kananku tersangkut akar pohon. Aku terjungkal ke semak-semak. Aku tidak sanggup lagi berlari. Mereka semakin mendekat ke arahku. Wajah Pak Jaro mulai terlihat. Aku merangkak untuk menjauh. Mereka malah tertawa melihat penderitaanku. 

Seorang lelaki berbadan tambun mendekat. Ia mengikat kedua kaki dan tanganku. Lelaki satu lagi menyiapkan sebatang kayu lalu memasukkannya di antara pergelangan tangan dan kakiku. Mereka berdua menggotong tubuhku dalam posisi terbalik seperti babi hasil buruan. Entah aku akan dibawa ke mana. 

“Ampuni aku Pak Jaro, jangan bunuh aku.”

“Kalau aku tidak menumbalkanmu. Bola api itu yang akan membunuh orang banyak,” Pak Jaro menunjuk ke langit. 

ADVERTISEMENT

“Tolong ampuni aku, Pak. Aku berjanji tidak akan datang lagi ke gunung ini. Aku tidak mau mati muda, Pak," kedua lelaki yang menggotongku malah tertawa. 

“Manusia bisa mati kapan saja. Bahkan, saat masih di dalam kandungan pun manusia bisa mati. Kau jangan khawatir, aku tahu kau sangat menderita tersesat di gunung ini. Aku akan akhiri penderitaanmu itu,” Pak Jaro menoleh padaku sambil tersenyum dingin. 

Tambahnya, “Kau tahu dua gundukan tanah di depan gubuk tua itu? Itu mayat dari dua pendaki yang dulu pernah melanggar larangan gunung ini. Nanti kau akan aku makamkan di samping mereka.”

Aku mengamuk mendengar omongan Pak Jaro. Kuguncangkan tubuhku sendiri. Dua lelaki itu malah tertawa lagi.Mereka melecehkan tenagaku yang semakin lemah. 

“Asal kau tahu, aku ini orang baik. Yang aku lakukan sekarang adalah demi menyelamatkan para pendaki lain. Kerajaan jin di gunung ini murka karena ulah kalian.” 

“Tapi teman-temanku sudah mati semua, Pak. Apa itu tidak cukup untuk menebus kesalahan kami?” 

“Belum. Masih ada satu orang yang hidup.”

“Siapa?”

“Yang perempuan, tapi dia tidak akan bisa keluar dari alam jin.”

“Mira...,” desisku. 

Kedua kaki dan tanganku terasa sangat pegal. Dalam posisi terbalik seperti ini, lama-lama aku kesulitan untuk bernapas. 

“Pak tolong lepaskan aku.”

“Jangan khawatir, sebentar lagi kita sampai, kok.”

“Aku tidak bisa bernapas, Pak.” 

Pak Jaro tidak lagi menimpali. Medan yang ditempuh menanjak. Kedua lelaki yang menggotongku berjalan sempoyongan. Tidak lama kemudian, aku tiba di sebuah tempat yang sangat aneh. Ada banyak sesajen ditempat itu. Bebatuan disusun rapi membentuk lingkaran.
Tubuhku dibaringkan di tengah lingkaran tersebut. Mereka melepas batang kayu. Sedangkan lengan dan kakiku tetap diikat. 

Tak jauh dari tempatku berbaring, ada dua tengkorak manusia tergeletak bersebelahan dengan sesajen. Apakah itu tengkorak dua pendaki yang melanggar larangan? Entahlah, yang jelas pemandangan itu semakin membuatku takut. Tidak ada jalan lain lagi untuk bisa selamat. Mungkin sudah takdirnya aku mati seperti ini. 

Pak Jaro dan dua anak buahnya duduk sila di luar lingkaran. Mata mereka terpejam. Pak Jaro membacakan mantra dalam bahasa Sunda. Mantra itu terdengar sangat mengerikan, semacam persembahan tumbal untuk makhluk gaib.

Setelah selesai, Pak Jaro mendekatiku. Ia membawa sebuah batang kayu. Ia lalu menancapkannya di dekat kepalaku. 

“Jangan, Pak! Aku mohon ampuni aku,” air mataku keluar. 

Yang kuingat adalah kedua orang tuaku di rumah. Mereka sudah sangat tua dan pasti jatuh sakit kalau mendengar anaknya tewas tak wajar seperti ini. 

Pak Jaro menyuruh anak buahnya mengikat leherku dengan tali. Lalu, ujung tali itu diikatkan lagi pada kayu tadi. 

“Tarik kakinya!” suruh Pak Jaro. 

Aku sekarang dalam posisi mengambang. Kedua kakiku ditarik, leherku diikat. Mereka akan memenggal leherku. Pak Jaro keluar dari lingkaran. ia mengambil arit lalu bersiap memenggal kepalaku. 

“Surga menunggumu, Nak.”

Aku menangis. Dari arah kanan tiba-tiba kulihat roh Riki memandangiku dengan tatapan nelangsa. 

“Riki....”

“Temanmu itu sudah mati. Kau akan menyusulnya,” kata Pak Jaro. 

Ia mengacungkan arit lalu menebaskannya ke leherku....
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya
close