Kualat Gunung Pulosari: Mencari Jalan Pulang (Part 6)
Kupejamkan mata karena tidak sanggup melihat eksekusi terhadap diriku sendiri. Tapi, setelah beberapa saat aku tidak merasakan apa pun pada leherku. Lalu tubuhku jatuh berdebam. Kulihat Pak Jaro dan dua anak buahnya berlutut di hadapanku.
“Ampun Nyai...,” gumam Pak Jaro. Aku membalikkan badan. Ada seorang wanita yang berpakaian seperti puteri kerajaan di belakangku.
Wanita itu yang sempat aku serang beberapa hari lalu. Dia tersenyum anggun ke arahku. Berbeda dengan Pak Jaro dan anak buahnya yang ketakutan, aku sama sekali tidak takut pada wanita itu. Malah aku menyimpan dendam atas kematian teman-temanku.
“Ulah dipaehan,” kata wanita itu.
Jangan dibunuh? Kenapa wanita itu malah menolongku?
“Sumuhun Nyai,” timpal Pak Jaro.
Wanita itu lalu menghilang. Pak Jaro dan kedua anak buahnya lari terbirit-birit meninggalkanku yang masih dalam keadaan diikat. Aku berusaha melepas ikatan itu. Tapi, aku tidak bisa karena simpulnya terlalu kuat.
Kudengar suara dengkur babi dari balik semak-semak yang semakin membuatku takut. Ikatan tali ini mustahil bisa kulepas sendiri. Harus ada orang yang menolongku.
***
Dua hari aku terkapar dengan keadaan kaki dan tangan diikat. Aku kelelahan. Tenggorokanku sudah tidak kuat lagi untuk berteriak meminta tolong. Tempat itu sepertinya jarang didatangi manusia. Hanya ada kawanan monyet yang memperhatikanku dari dahan pepohonan.
Tiba-tiba seekor monyet melemparku dengan pisang. Aku melihat ke arah monyet itu. Ia bersama koloninya sedang asyik makan di atas dahan pohon. Aku meringsut mendekati pisang yang dilemparkan monyet tadi. Setelah berhasil meraih pisang itu, kumakan dengan lahap berserta kulitnya.
Koloni monyet itu sepertinya senang melihatku makan. Mereka melompat-lompat sambil berteriak ke arahku. Setelah itu, mereka kembali melempariku dengan pisang. Perutku sampai kenyang memakan pisang-pisang itu.
Tak lama berselang, terdengar suara dari semak-semak. Aku waspada, takutnya itu binatang buas di sekitar sini. Aku tidak tahu, mungkin saja di gunung ini masih ada macan atau beruang. Aku meringsut menjauh dari semak itu.
“Hai!,” seorang wanita menggendong tas ransel muncul dari balik semak-semak.
“Akhirnya...,” dia mengembuskan napas lega.
Ia terlihat kelelahan. Wajahnya juga pucat.
“Lu siapa?”
“Uswah. Nama gua Uswah, udah dua hari gua nyasar di gunung ini.”
Dia mendekatiku lalu melepas ikatan tali dengan pisau kecil.
“Lu kenapa bisa kayak gini?”
Perempuan itu membantuku bangun. Kedua kakiku ringkih. Dia harus menopang tubuhku.
“Caritanya panjang,” kataku.
Jujur saja, aku merasa lega bertemu dengan sesama pendaki di tempat seperti ini.
“Gunung ini udah enggak aman,” katanya. Lanjutnya, “Semua teman gua mati. Hanya gua yang tersisa."
"Sama," jawabku singkat.
"Gila, teman-teman lu juga mati?" ia terkejut.
"Iya. Ada satu yang katanya masih hidup. Tapi , ia terjebak di alam jin. Oh ya, nama gua Ori."
"Terjebak?"
"Iya dinikahi genderuwo."
Uswah bergidik ngeri saat aku menceritakaan yang dialami Mira. Aku mendongak ke langit. Ocos, bola api sialan itu kini tidak lagi mengikutiku. Uswah mengeluarkan HP-nya dari dalam tas. Ia mengarahkan HP itu ke segala arah untuk mencari sinyal.
“Tetap enggak ada sinyal. Lu bawa HP?” tanyanya.
“Hilang. Lagipula HP gua udah lowbet dari pertama naik gunung.”
Uswah berdecak.
“Kita harus segera turun dari gunung ini,” ia memapahku.
“Lu lihat itu,” Uswah menunjuk rerumputan. Ada kembang berwarna putih yang bertaburan di sana.
“Itu kembang melati. Gua ngikutin kembang itu dan ketemu sama lu di sini. Kita ikutin kembang itu aja. Siapa tahu itu jalan pulang.”
Aku mengerutkan dahi. Setelah banyak sekali kejadian aneh dan tragis yang kualami, kini aku tidak mau terlalu percaya pada hal-hal mistis seperti itu. Tanpa perlu persetuajuanku, Uswah malah memapahku mengikuti taburan kembang tersebut.
“Gua enggak yakin kalau kembang ini bisa membawa kita pulang.”
“Apa salahnya mencoba,” timpal Uswah.
***
Sampai sore, kami tidak kunjung menemukan jalan setapak. Taburan kembang itu membawaku ke tempat yang tidak pernah kudatangi sebelumnya. Hutan ini berkabut dan membuat jangkauan penglihatanku terbatas.
Uswah menyalakan senter. Ia mengarahkannya ke semak-semak untuk memastikan kalau kembang itu masih ada. Dia berhenti. Kulihat wajahnya terkejut.
“Kenapa?” tanyaku sambil menoleh ke arahnya.
Cahaya senter itu ia geserkan beberapa meter ke depan menembus kabut yang tebal. Tampaklah mayat-mayat manusia yang terkapar di hadapan kami. Itu mayat para pendaki, mereka masih mengenakan jaket, tas ransel, dan sepatu gunung.
“Jangan disentuh!” kataku saat Uswah mencoba memeriksa mayat itu.
Kami melanjutkan perjalanan melangkahi mayat-mayat itu. Mereka mati dengan mengenaskan. Ada yang lehernya digorok, ada yang bola matanya hilang, bahkan aku melihat kepala yang terpisah dari tubuhnya.
Apakah benar perkataan Pak Jaro kalau para pendaki lain celaka karena ulah kelompokku? Entah kenapa, aku merasa bersalah sekarang.
Kabut semakin lama semakin menguar dan hilang. Kini tidak ada lagi mayat di hadapan kami. Selang beberapa saat terdengar suara gemuruh air dari kejauhan.
“Curug Putri. Itu pasti Curug Putri,” kataku dengan penuh semangat.
Uswah berbinar. Ia kembali memapahku mengikuti taburan kembang melati. Dan, benar saja, itu adalah Curug Putri. Kami senang karena di dekat air terjun itu ada jalan setapak menuju perkampungan warga.
------------
Pemakaman Eldi
---------------------
Jujur saja, sebelumnya aku tidak pernah percaya dengan keberadaan makhluk halus. Bagiku cerita-cerita tentang penampakan setan dan pengakuan orang yang melihatnya adalah kebohongan besar. Bahkan, aku menulis beberapa kisah horor yang berujung pada asumsi bahwa kisah itu hanya fiksi agar orang-orang tidak takut dengan setan.
Tapi, semua prinsipku sirna saat aku melakukan pendakian Gunung Pulosari. Aku menjadi sangat yakin kalau makhluk gaib itu memang ada. Mereka menelisik di telinga walau kita tidak mendengarnya. Mereka duduk di samping kita walau kita tidak menyadarinya. Atau, bahkan tidur bersama kita setiap malam.
Kejadian sore itu membuatku percaya bahwa makhluk halus memang ada. Saat aku dan Uswah hendak meninggalkan Curug Putri, ada rombongan orang membawa keranda mayat. Aku pun heran. Kenapa ada pemakaman di gunung seperti ini?
Ternyata, mayat di dalam keranda itu adalah Eldi. Dia mati dengan wajah berlumur darah. Saat kuhampiri, para pengantar jenazah itu malah hilang begitu saja. Aku tahu mereka pasti jin. Aku baru saja melihat penampakan itu.
Sesaat kemudian, Curug Putri bersinar memancarkan cahaya keemasan. Kututup kedua mataku dengan telapak tangan. Lalu terdengar derap kereta kuda mendekat. Kereta itu membawa seorang wanita cantik yang pernah menolongku beberapa hari lalu.
Kereta kuda dikawal oleh banyak orang. Para pengawal itu berbadan besar seperti binaragawan. Mereka juga berpakaian lengkap layaknya prajurit kerajaan di Indonesia pada masa lalu seperti yang kulihat di film-film. Mereka semua membawa tombak. Aku dan Uswah panik melihat kejadian aneh itu.
Saat kami akan kabur, jalan setapak itu hilang. Pintu kereta kuda terbuka seolah mempersilakan kami untuk masuk ke dalamnya. Aku menggelengkan kepala sambil menggenggam lengan Uswah agar dia tidak terpengaruh.
Sayangnya, yang aku khawatirkan malah terjadi. Tatapan Uswah tiba-tiba kosong. Ia melangkah perlahan mendekati kereta kuda itu.
“Uswah, jangan!” kucoba menahan tubuhnya. Tapi, dua pengawal kereta malah mendorong tubuhku.
Kali ini aku tidak mau lagi kehilangan temanku. Aku berhutang nyawa padanya. Aku harus menyelamatkannya. Setelah Uswah masuk, kereta kuda perlahan berjalan menuju kumparan cahaya. Aku mengikutinya dari belakang. Aku berteriak memanggil-manggil nama Uswah.
Tidak terasa aku sudah berada di perkampungan warga. Para warga di sana berlutut sambil tertunduk saat kereta melintas. Di tengah perjalanan, tiba-tiba ada anak kecil yang badannya dipenuhi bulu hitam. Ia juga bertaring. Matanya merah menyala. Anak itu menghampiri kereta sambil melompat-lompat kegirangan.
Di antara orang-orang yang berlutut, ada Mira di sana. Ia berteriak sambil lari kecil menghampiri anak itu. Ia menggendongnya, lalu kembali berlutut kembali. Pakaian Mira sudah berbeda. Ia hanya mengenakan kain bermotif bunga warna cokelat dan baju abu-abu yang sudah usang.
“Mira! Mir! Ah... syukurlah gua ketemu lu lagi di sini. Ayo, Mir, kita pulang. Ada Curug Putri di sekitar sini,” jelas saja aku senang karena bisa bertemu Mira kembali.
“Enggak, Ri. Gua udah bilang, hidup gua lebih bahagia di sini. Tolong sampaikan ke Om gua kalau gua udah menikah dan punya anak.”
Aku mundur beberapa langkah. Mira sudah tidak bisa dibujuk lagi. Kereta kuda semakin menjauh. Segera aku lari mengejar kereta itu sambil terus memanggil nama Uswah.
Tibalah aku di sebuah keraton yang megah. Ada dayang-dayang keraton yang menyambut kedatangan kereta kuda. Mereka menari-nari sambil terus tersenyum. Aku ikut masuk ke dalam keraton tersebut.
Di halaman keraton, Uswah turun dari kereta. Kucoba menghampirinya, tapi langkahku dihalangi para penjaga. Uswah dituntun oleh wanita cantik itu ke sebuah kolam kecil yang terletak persis di depan singgasana.
Uswah melucuti pakaiannya lalu mandi di kolam kecil itu. Wanita yang dipanggil ratu menoleh ke arahku. Dua penjaga kemudian menggenggam lenganku. Mereka menyeretku dengan paksa untuk mendekati sang ratu.
Semua bajuku dilucuti. Aku dipaksa mandi di kolam kecil itu. Setelah selesai, aku dan Uswah mengenakan kembali pakaian kami. Kami lalu dibawa ke sebuah ruangan yang indah. Di sana sudah disiapkan berbagai hidangan lezat. Sang Ratu menyuruh kami berdua duduk dan makan bersama.
Tidak ada pilihan lain, aku harus menuruti maunya. Kalau tidak, para penjaga di belakangku bisa saja menebas leherku. Makanan yang disajikan terasa enak sekali. Ada ayam bakar, kambing guling, buah-buahan segar, serta makanan lainnya.
Uswah makan dengan lahap. Tidak ada obrolan di meja makan. Sang Ratu memandangiku sambil terus tersenyum membuatku. Tapi itu membuatku semakin merinding.
Setelah hidangan habis, sang Ratu membawa kami ke halaman keraton. Di sana ada para dayang yang sedang mandi. Mereka semua cantik-cantik. Saat aku melintas, mereka curi pandang kepadaku sambil tertawa kecil.
Di halaman keraton itu ada sebuah kuburan. Gundukannya ditata rapi dengan bebatuan yang ditumpuk. Di batu nisan itu tertulis Sultan Maulana Hasanuddin. Aku ingat, dia adalah pendiri kesultanan Banten.
“Berziarahlah...,” kata sang Ratu.
Aku dan Uswah duduk di samping kuburan itu. Aku membaca doa sebisaku di dalam hati.
“Kalian punya waktu sampai besok pagi untuk keluar dari gunung ini. Pulanglah, esok pagi akan ada longsor besar di gunung ini.”
Sang ratu menunjuk ke arah dinding. Dari dinding itu tampaklah jalan setapak. Aku dan Uswah berjalan ke arah dinding. Ajaibnya, kami tiba-tiba berada di sebuah jalan setapak. Ini pasti jalan pulang. Kami harus segera keluar dari gunung ini sebelum longsor itu terjadi.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya