Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kualat Gunung Pulosari: Ocos, Bola Api (Part 4)

“Nek jalan pulang ke arah mana ya?” aku bertanya dengan sangat hati-hati. 

Ia menyeringai seolah ingin mengatakan sesuatu. Tangannya menunjuk ke arah Timur sambil tersenyum ramah. Tapi, tiba-tiba wajahnya berubah menjadi sangat ketakutan saat melihat bola api melayang di langit.

“O... ocos, ocos,” katanya terbata-bata. 

Dia sangat panik. Nenek itu lalu melihat lagi ke arahku. Kali ini dia mendekat. Langkahnya berat karena punggungnya menggendong kayu bakar. 

“I... ikut. i... ikut. Itu ocos,” dia selalu terbata-bata.

Mungkin karena sudah tua, jadi dia mengalami gangguan dalam berbicara. Nenek itu menarik lenganku. Sepertinya dia mau membawaku ke suatu tempat. Sesekali dia mendongak ke langit melihat bola api yang terus mengikutiku. 

“Kita mau ke mana, Nek.”

“Em... sana. Ke... sana. Rumah...,” katanya sambil menepuk dadanya sendiri. 

Aku tahu mungkin aku akan dibawa ke rumahnya. Aku rasa nenek ini bukan jelmaan jin. Tidak ada tampang orang jahat di wajahnya. Lagipula kejahatan apa yang bisa dilakukan seorang nenek seperti dia? Lebih baik aku tidak lagi mencurigainya. Siapa tahu dia bisa menolongku. 

Tidak lama kemudian, aku tiba di sebuah rumah panggung. Rumah itu terlihat lebih rapi daripada gubuk yang kutemui beberapa hari lalu. Ada dua jendel kaca di bagian depannya. Aku tidak menyangka ada sebuah rumah di tengah hutan seperti ini.

Cahaya temaram dari lampu canting terlihat dari jendela itu. Si nenek mengetuk pintu tersebut. Terdengar derit langkah kaki mendekat. Gagang pintu bergerak, pintu pun dibuka. Seorang lelaki tua mengenakan jaket hitam dan sarung berdiri di hadapanku. 

“Siapa ini?” tanya kakek itu sambil menunjuk ke wajahku. 

“O...orang. Nya... nyasar,” kata si nenek.

“Ngapain bawa orang nyasar ke sini, Sapinah?” kakek itu terlihat kesal. 

Si nenek menunjuk ke langit, “Ocos... ocos. Ada tuh...”

Si kakek mendongak ke langit. Sontak saja dia terkejut saat melihat bola api mengambang di atas sana. 

“Ayo cepat masuk!” pinta si kakek. 

Aku dan nenek buru-buru masuk ke dalam rumah. Kayu bakar diletakkan begitu saja di halaman rumah. Pintu dikunci rapat, tirai jendela ditutup, aku dibawa masuk ke dalam kamar si kakek.

Kamar itu bau tembakau kering. Mungkin si kakek menyimpan tembakau di kamarnya. Ada lampu canting yang di gantungkan di dinding bilik.

“Namaku Abah Sarta dan ini istriku Sapinah. Apa yang terjadi sampai-sampai kamu bisa diikuti ocos, hah?” 

“Namaku Ori, Bah. Awalnya aku dan tiga orang temanku mau berkemah di kawah gunung. Tapi, di perjalanan, satu persatu temanku hilang. Mereka semua digondol jin.” 

Abah Sarta menggelengkan kepala, “Apa kesalahan kalian?”

“Teman saya mengotori Curug Putri dengan darah mensturasinya,” kataku.

Abah Sarta terlihat sangat terkejut mendengar penjelasanku. 

“Gawat, itu gawat! Kamu tahu sudah berpuluh-puluh tahun Pulosari aman dan tidak ada korban jiwa satu pun. Gara-gara temanmu, bisa jadi para pendaki lain juga ikut celaka.”

Abah Sarta marah. Urat lehernya sampai menonjol.

“Apa yang harus aku lakukan, Bah?”

“Sulit. Ini sulit,” ia menoleh pada si nenek. 

“Antar aku pulang saja, Bah. Tolong aku.”

“Kamu tidak bisa pulang,” katanya sambil menatapku dengan tatapan cemas.

“Ke... kenapa, Bah?” 

“Karena kamu sudah menjadi milik mereka.”

"Mereka?" aku mengerutkan dahi. 

"Iya, para jin penghuni gunung ini."

Perkataan Abah Sarta membuatku sangat terkejut. 

“Tapi, kata Pak Jaro, aku dan teman-temanku masih bisa diselamatkan.” 

“Dia bohong. Tidak ada yang bisa selamat dari kualat Gunung Pulosari. Dia pasti sengaja menyerahkan kalian pada jin gunung ini agar pendaki yang lain bisa selamat.” 

“Itu kesalahan kalian. Dan, kalian yang harus tanggung sendiri akibatnya,” tambahnya. 

Aku tertunduk lesu. Jujur aku tidak mau mati di gunung ini. Tanpa kusadari, air mataku menetes. Aku menangis karena takut. Masih banyak hal yang ingin aku lakukan dan aku tidak mau mati konyol seperti ini. 

“Sudah jangan nangis,” Abah Sarta menepuk pundakku. 

“Tolong antarkan aku pulang, Bah. Aku mohon.”

Dari jendela kamar muncul bayangan bola api melintas. Dia benar-benar mengincarku. Abah Sarta dan istrinya terkejut. Mereka bergidik ngeri saat menyaksikan bola api itu melintas di jendela kamar mereka.

“Kau harus pergi dari sini sekarang,” Abah Sarta mengusirku. 

“Ja... jangan, jangan...,” si nenek memegang pundakku. Dia sepertinya akan membelaku.

“Ngi... nginep. Di sini... di sini, ya ngi... nginep,” dia mengelus rambutku. 

“Bahaya, Sapinah. Kita bisa mati dibunuh ocos,” Abah Sarta membentak. 

Dia membuka pintu kamar. Dia lalu menyuruhku pergi dari rumahnya. Aku tetap tidak beranjak. Sebab, aku tahu di luar sana lebih berbahaya.

“Bah, boleh aku menginap dulu di sini?” aku merapatkan kedua telapak tangan, memohon padanya. 

Abah Sarta tampaknya luluh. Dia mengembuskan napas berat. 

“Satu malam saja. Besok pagi kamu harus pergi dari sini.”

Akhirnya Abah Sarta berbaik hati mengizinkanku menginap di rumahnya. Da menunjukkan sebuah kamar untukku. Ada kasur kapuk dan bantal di dalam kamar itu. Juga lemari kayu yang terlihat sudah usang.

Aku menutup pintu kamar. Kulepas tas ranselku lalu membaringkan diri di atas kasur. Cahaya lampu canting temaram menyinari kamar, membuatku cepat ngantuk. 

Di luar bola api itu pasti masih menungguku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku besok. Apakah aku akan tetap hidup atau mati seperti Eldi atau dibawa jin seperti Mira. Atau, malah berubah menjadi aneh seperti Riki. Aku mungkin akan hilang selamanya di gunung ini. 

Malam semakin jatuh. Tengah malam aku terbangun. Banyak sekali nyamuk yang mengganggu tidurku. Kudengar suara Abah Sarta seperti sedang berbicara dengan seseorang di ruang tengah. Jelas sekali kalau lawan bicaranya itu bukanlah istrinya. Itu terdengar seperti suara perempuan yang masih muda. 

Karena penasaran, pelan-pelan aku mengintipnya dari celah lubang dinding bilik. Tampak Abah Sarta sedang berbicara dengan seorang wanita cantik. Mereka duduk saling berhadapan. Pakaian wanita itu seperti puteri kerajaan. Ia mengenakan kebaya merah dan sarung batik keemasan bermotif bunga. Rambutnya di kondek. Banyak pernak-pernik emas di rambutnya.

“Sumuhun, Nyai...” Abah Sarta mengangguk-angguk. Ia tidak berani menatap wajah wanita itu. 

“Entong ngaganguan cocoan kula,” kata wanita itu dalam bahasa Sunda. 

Aku mengerti artinya, 'jangan menggunggu mainan saya'.

“Sumuhun, Nyai, hampura kula.” Abah Sarta kembali mengangguk. 

Aku semakin takut. Wanita itu menoleh ke arahku. Ia tersenyum dingin. Wajahnya putih, tidak wajar seperti patung lilin. Aku menjauh dari dinding bilik lalu kembali ke tempat tidur. 

Tidak lama kemudian, pintu diketuk tanpa ada suara memanggil. Aku pura-pura tidak dengar, pintu kamar terus diketuk semakin keras. Tiba-tiba ada cahaya api yang terpancar dari jendela. Ocos itu muncul lagi. Kali ini dia melayang tenang di jendela kamar.

Kuperhatikan bola api itu ternyata mempunyai dua mata seperti manusia. Ia melirik ke arahku dengan tatapan datar. Malam terasa panjang dan mengerikan.
-------------
Di Gunung Sendiri 
-----------------------
Pintu didobrak paksa. Abah Sarta melihatku dengan tatapan ngeri, tangan kirinya memegang sebuah arit. Dadanya turun naik, ia mengarahkan arit itu padaku. Jelas saja aku panik, ada apa ini? Kenapa dia sepertinya ingin membunuhku? 

“Pergi dari sini!” bentaknya sambil menebaskan arit pada daun pintu. 

“Baik, Bah. Ampun!” dengan cepat kuambil tas ransel dan senterku, mengenakan kembali sepatuku lalu pergi dari rumah itu. 

Langit masih gelap, udara dingin membuatku menggigil, di langit bola api masih melayang mengikutiku. Aku lari sekuat tenaga demi menjauh dari Abah Sarta yang marah dan hendak membunuhku. Di tengah jalan seseorang menghentikanku, itu nenek Sapinah. 

“Pe... pegang. Ya... ya... hati... hati...,” dia memberiku keris kecil yang ukurannya hanya sejari telunjuk saja. 

“Apa ini, Nek?” tanyaku.

Belum sempat ia menjawab, Abah Sarta dari kejauhan meneriakiku agar segera pergi. 

“Kubunuh kau!” ancamnya, ia berdiri di depan pintu rumah sambil mengacungkan arit. 

Segera kukantongi keris kecil itu lalu pergi dari hadapan nenek Sapinah. Aku tidak tahu ke mana arah langkahku sekarang, dari jauh terdengar suara geledek bergemuruh diiringi kilatan cahaya di langit. Tampaknya memang akan hujan. Aku semakin menjauh dari rumah Abah Sarta. 

Keris ini? Apa gunanya? Aku berhenti di bawah batang pohon besar, kuperhatikan keris pemberian nenek Sapinah. Kerisnya sangat unik, ada ukiran bertuliskan bahasa Arab di permukaan keris itu. Aku tidak mengerti apa maksudnya. Tak lama kemudian, hujan turun dengan sangat deras. Aku membaringkan diri di antar akar-akar pohon besar itu, tapi tetap saja tubuhku basah kuyup. 

Tubuhku menggigil, gigiku bergetar, perutku lapar tidak tertahankan. Sendiri di hutan seperti ini, membuatku ragu akan kemampuanku sendiri. Aku mungkin tidak akan bisa bertahan hidup lebih lama lagi di gunung ini.

Di langit, walau hujan deras, bola api sialan itu tidak padam dan masih mengikutiku. Aku bangun lalu mendongak ke arah bola api itu sambil mengarahkan cahaya senter. Aku sangat kesal karena terus-terusan diikutinya.

“Bangsat lu! Sini kalau berani lawan gua!”

“Woi! Sini lu!” teriakku sambil menggigil kedinginan. Kalau memang aku harus mati, matilah sekarang agar penderitaanku berakhir. 

Sesaat kemudian, ada sesuatu yang menabrakku dari belakang. Tubuhku terpelanting, senterku jatuh ke semak-semak, aku meringis kesakitan. Tubuhku terasa remuk, kuperhatikan objek yang barusan menabrak tubuhku. Objek itu terlihat samar, kuraih kembali senterku lalu mengarahkan cahayanya ke objek tersebut. Itu ternyata babi hutan. 

Saat hendak bangun kembali, ternyata betisku sobek. Pasti karena hantaman taring babi itu. Ia mendengkur, matanya merah, tubuhnya sebesar anak kerbau. Aku tidak akan bisa lari dari babi itu. Tidak ada pilihan kecuali melawannya. 

Babi itu lari dengan cepat ke arahku, kurogoh sebuah pisau kecil dari kantong ransel. Tubuhku diseruduk sampai terseret beberapa meter kebelakang, kupegang erat-erat kepala babi itu lalu menebaskan pisau ke punggungnya. Babi melenguh, ia menggibaskan kepalanya membuat tubuku terpental jauh hingga membentur batang pohon. 

Kulit babi itu terlalu keras, pisauku hanya bisa memberi luka kecil di punggungnya. Darah mengalir dari punggung babi itu, tapi dia sepertinya tidak menyerah untuk kembali menyerangku. Dengan dengkurannya yang mengerikan, dia lagi-lagi berlari ke arahku. 

Aku melompat dan berhasil menangkap tubuhnya. Babi itu mengamuk, ia lari sembarang arah, sedangkan aku berpegangan erat di atas punggungnya. Kutusuk punggungnya berkali-kali dengan pisau, tapi pisauku malah patah. Tanganku refleks merogoh keris kecil dari dalam kantong celana. Maksudku, ingin kutusukkan keris itu ke mata si babi, biar dia tewas.

Ajaibnya, baru saja kuarahkan keris itu ke kepala babi, tiba-tiba tubuhku terpental. Babi itu juga tersungkur ke semak-sema, ia mati begitu saja. Napasku terengah-engah, aku menoleh ke arah kanan. Di antara derasnya tetesan hujan, ada seorang wanita berpakaian seperti puteri kerajaan berdiri di depan pohon besar. Aku masih ingat wajahnya, dia wanita yang berbicara dengan Abah Sarta. 

“Apa maumu?!”

“Bangsat! Keluarkan aku dari gunung ini!” 

Dengan sisa tenaga yang ada, aku lari ke arah wanita itu, mencoba untuk menyerangnya dengan keris kecil. Yang terjadi selanjutnya benar-benar di luar perkiraanku. Seharusnya aku tidak menyerang wanita itu.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya
close