Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kualat Gunung Pulosari: Tersesat di Alam Jin (Part 3)

Riki kenapa kita balik lagi ke gubuk ini?” 

Riki tidak menimpali perkataanku. Sepertinya dia sedang berpikir keras. 

“Kompas, Rik. Lu bawa kompas, nggak?” aku berdiri lalu menghampirinya.

“Sebentar,” Riki memintaku untuk memegangi senternya. Dia membuka tas ranselnya untuk mencari kompas.

“Ada, Rik?” 

“Wah untungnya gua bawa nih,” ia tersenyum sambil menunjukkan kompas itu padaku. 

“Sukurlah,” aku menepuk pundak Riki. Kulirik jam tangan ternyata sudah jam dua dini hari. 

Dari balik semak-semak kudengar suara dengkuran babi hutan sedang mencari makan. Aku dan Riki harus selalu waspada karena babi hutan itu bisa saja menyerang kami. 

“Kita ke arah mana sekarang?”

“Barat,” kata Riki sambil menyesuaikan arah jarum kompasnya. 

Tanpa putus asa, kami berdua kembali berjalan mengikuti arah jarum kompas. Kali ini aku yakin kami tidak akan balik lagi ke gubuk sialan itu. Riki yang berjalan di depanku semakin lama langkahnya semakin cepat. Sampai-sampai aku harus berlari kecil agar tidak tertinggal. 

“Rik, pelan-pelan jalannya,” kataku. 

Riki tiba-tiba berbelok ke kanan, aku tidak dapat melihatnya karena terhalang oleh semak-semak. Riki menghilang, kucari dia sambil menyorotkan senter ke segala arah, tapi tetap tidak ada. 

“Rik! Riki!” aku panik, keringat membasahi wajah. 

Kudengar dengkur babi semakin mendekat. Semak belukar di hadapanku berguncang, sontak saja aku lari terbirit-birit tanpa arah dan tujuan. Semuanya jadi kacau, aku semakin tersesat di gunung ini. 

Lelah, itu yang kurasakan. Kakiku rasanya tidak sanggup lagi untuk berlari. Nafasku terengah-engah, tenggorokanku kering, persediaan air sudah habis. Kulepaskan tas ransel dan melemparkannya ke semak-semak lalu aku berbaring di atas rerumputan yang basah. Kulihat di langit, bulan mengambang dengan tenang. Ah, kalau saja aku tidak pernah ikut dalam pendakian ini, mungkin semuanya akan baik-baik saja. 

“Ori....” seseorang memanggilku, itu jelas suara Mira. Entah dari mana arahnya.

“Mir?” kusorotkan cahaya senter ke segala arah. 

“Ori sini,” sebuah tangan perempuan muncul dari balik semak-semak. Di pergelangan tangannya ada jam berwarna biru, aku sangat mengenali jam tangan itu milik Mira. 

“Mira?” pelan-pelan kudekati lengan itu. 

“Sini, Ri.” lengan itu melambai-lambai. 

Kudekati lengan itu, bajuku ditarik paksa ke dalam semak-semak. Jelas saja aku kehilangan keseimbangan. Untung saja Mira menahan tubuhku, ia membawaku ke sebuah perkampungan. Aku heran kenapa di gunung seperti ini ada perkampungan yang sangat ramai. Wajah Mira terlihat sangat bahagia, ia bahkan tidak berhenti tersenyum. 

“Kita di mana, Mir?” 

Kampung itu sedang ramai, orang-orang sibuk mempersiapkan sesuatu. Janur dipasang di depan sebuah rumah gubuk, mereka membawa makanan dan buah-buahan lalu menyerahkannya pada tiga orang wanita yang berjaga di depan rumah. Mereka seperti akan menggelar hajatan.

“Gua mau menikah, Ri.”

“Hah, nikah?” jelas saja aku terkejut. 

“Iya malam ini,” Mira menatapku sambil tersenyum.

“Ayo, gua kenalin kenalin lo sama calon suami gua. Dia ganteng banget.” Mira menarik lenganku. 

“Nggak Mir, kita harus pulang. Sadar Mir, ini pasti bukan alam kita.” aku membujuknya, tapi Mira sepertinya tidak peduli pada ucapanku. 

Dia membawaku ke rumah gubuk, tempat hajatan akan digelar. Aku dan Mira masuk melalui pintu dapur. Di dalam sana banyak sekali wanita tua yang sedang sibuk masak. Mereka menoleh ke arahku sambil tersenyum ramah. Mira kemudian membawaku ke dalam kamar. Ruangannya temaram karena hanya ada lampu canting yang menjadi penerang. 

“Kenalin, itu calon suami gua.”

Aku terkejut saat melihat sosok makhluk besar sedang duduk memandangi lampu canting. Sosok itu berbulu hitam, matanya merah menyala, kukunya panjang, dan juga bertaring. 

“Astaga Mira. Ayo pulang!” kutarik paksa lengan Mira. 

Itu jelas genderuwo. Mira mau menikah dengan genderuwo? Apa apaan ini? Sekuat tenaga kutarik paksa Mira keluar dari rumah gubuk itu. Namun, kami tidak semudah itu keluar dari kampung, nyatanya di halaman rumah sudah berdiri lima lelaki berbadan besar menatapku denga tatapan tajam. Mereka semua membawa golok.

Apa yang harus kulakukan sekarang?
------------
Tinggal Aku dan Riki
---------------------

“Tolong biarkan kami pergi dari sini,” aku terbata-bata. Mira menggibaskan lengannya dari genggamanku. 

“Tolong biarkan kami pergi dari sini,” aku terbata-bata. Mira menggibaskan lengannya dari genggamanku. 

ADVERTISEMENT

“Pergi? Rumah gua sekarang di sini, Ri.”

Aku tahu dia sedang dipengaruhi jin.

“Sadar Mira! Sadar!” ia malah tertawa lalu menepuk pundakku.

“Gua bahagia di sini, Ri. Kalau lu mau pulang, silakan aja.”

Lima lelaki berbadan besar mendekati Mira. Mereka menuntunnya masuk kembali ke dalam rumah gubuk tadi. Dari belakangku, terdengar suara gamelan dan beduk ditabuh bertalu-talu. Pesta pernikahan dimulai, orang-orang berkumpul di depan rumah gubuk. Mira muncul dari rumah tersebut, ia sudah didandani layaknya pengantin. 

Wajahnya penuh bedak, rambutnya dikonde, ia juga mengenakan kebaya batik, kulihat dia tidak mengenakan alas kaki. Di belakang Mira menyusul sosok genderuwo mengerikan, ia digiring lima orang lelaki tadi. Mira kemudian menggandeng lengan genderuwo itu. 

Rombongan itu berjalan sambil menyanyikan tembang yang tidak jelas, aku bahkan tidak pernah mendengar tembang itu sebelumnya. Kuikuti rombongan itu dari belakang, Mira bergandengan dengan genderuwo. Ia terlihat sangat bahagia, langkahnya anggun dan selalu tersenyum. Berbeda dengan genderuwo yang digandeng Mira, makhluk itu sangat menjijikan, ia terus mengeluarkan air liur yang membasahi bulu-bulu hitamnya. 

Tidak lama kemudian rombongan berhenti di Curug Putri. Semua orang duduk sila kecuali Mira dan genderuwo. Aku bersembunyi di balik batang pohon, menyaksikan resepsi pernikahan gaib itu. Sangat berbahaya kalau aku mengacaukannya, bisa-bisa aku mati dibunuh mereka. 

Entah ritual pernikahan macam apa itu, tanpa ada penghulu atau pendeta yang menikahkan mereka. Aku mual saat Mira berciuman dengan genderuwo yang mulutnya penuh dengan air liur. Setelah itu Mira menatap ke arahku, kedua matanya merah menyala. Aku segera kabur dari sana. Aku harus segera pulang, mencari bantuan untuk menyelamatkan Mira.

Dari Curug Putri kususuri jalan setapak yang merupakan satu-satunya jalur pulang. Kupercepat langkah, sesekali kakiku tergelincir karena menginjak bebatuan licin berlumut. 

Lalu cahaya senterku menyinari sosok lelaki yang yang sedang duduk di tengah jalan. Semakin dekat, semakin jelas terlihat kalau itu adalah Riki. Aku mengembuskan napas lega. Dia terlihat sedang sibuk membetulkan sesuatu. 

“Rik? Ke mana aja lu? Ninggalin gua sendirian.” 

“Eh Ri. Gua cari-cari dari tadi,” Riki menoleh ke arahku. 

“Gawat Rik, si Mira nikah sama genderuwo. Kita harus cari bantuan buat tolong dia.”

Riki malah tertawa, “Ada-ada aja lu. Masa nikah sama genderuwo,” ia kembali membetulkan kompasnya yang tampaknya sedang rusak. 

“Serius Rik. Gua lihat sendiri, lebih baik kita pergi dari sini sekarang, nanti di kampung kita cari orang pintar buat bantu Mira.”

“Iya kita pulang sekarang,” Riki bangkit dan meraih kembali senternya. 

“Jangan terburu-buru Rik nanti kita terpisah lagi,” kataku. 

Kali ini aku yang jalan paling depan, sementara Riki di belakangku. Semakin lama, aku merasa ada yang aneh dengan Riki. Dia sering sekali meludah lalu tiba-tiba tertawa tanpa sebab, dan suka meracau sendiri. Itu bukan seperti Riki yang kukenal. 

“Riki lu jalan paling depan aja,” pintaku. 

Sengaja aku menyuruhnya jalan paling depan agar bisa memperhatikan lebih jelas lagi tingkah anehnya. 

“Oh siap Ri,” katanya sambil tertawa. 

Dari belakang kuperhatikan Riki. Dia lagi-lagi meludah dan tertawa tanpa sebab. 

“Rik, lu kenapa sih?”

“Hah? Gua baik-baik aja kok,” katanya sambil tertawa lagi. 

Kucoba untuk tenang dan tetap mempercayai Riki. Namun, aku tetap waspada.

Sialnya tiga hari sudah kami menyusuri jalan setapak itu, tapi tak kunjung sampai ke perkampungan warga. Aku malah merasa semakin tersesat di gunung ini. Persediaan makanan sudah habis, wajahku pucat berantakan. Tidak kulihat wajah cemas sedikit pun pada Riki, ia terlihat tenang seperti tidak ada masalah apa pun.

Ini malam ketigaku di Gunung Pulosari. Riki yang selama ini aku anggap pemimpin regu, yang perkataannya selalu kuturuti, sekarang aku mulai ragu padanya. Dia bukan lagi Riki yang kukenal, tingkahnya aneh. Ia selalu bilang kalau perkampungan warga sudah dekat, nyatanya kami tidak pernah sampai ke sana. 

Aku masih di tengah hutan, gelap dan penuh suara dengkuran babi. Belum lagi bola api di langit yang belakangan ini mengikutiku. Kata Riki itu adalah ocos; salah satu makhluk gaib penghuni Gunung Pulosari. 

Di tengah perjalanan, aku menoleh ke sebuah pohon. Ada yang aneh di sana. Tampak Eldi sedang berdiri di atas dahan pohon, wajahnya penuh darah, ia melambaikan tangan padaku. Wajahnya meringis seperti sedang kesakitan.

“Eldi?” aku menyipitkan mata. 

“Rik itu si Eldi,” Kutepuk pundak Riki, dia berhenti lalu melihat ke arah pohon yang kutunjuk. 

“Mana? Nggak ada,” timpal Riki sambil tertawa cengengesan. 

Eldi memang menghilang dari dahan pohon itu, tapi aku melihatnya di antara semak-semak, ia lari menjauh dari kami. Kuarahkah cahaya senter ke tempat yang lebih jauh, namun dia sudah menghilang. Kami lalu melanjutkan kembali perjalanan pulang.

“Malam ini kita berkemah di sini dulu,” Riki menoleh ke arahku. Tanpa perlu persetujuanku, ia melangkah masuk ke perkemahan itu.

Perkemahan itu ramai sekali. Banyak tenda warna-warni yang didirikan di sana. Aku berjalan masuk ke perkemahan itu, orang-orang di sana berwajah pucat dan seperti bersedih. Kulihat Riki berdiri, mendongak ke langit sambil menatap bulan. Aku tidak tahu apa yang sedang ia lakukan. 

Riki? Bukan! dia bukan lagi Riki. Lihat saja tatap matanya mati, ada belatung yang keluar dari kerah bajunya. Suaranya pun berubah, terdengar seperti suara seorang kakek-kakek. Aku mundur beberapa langkah lalu lari meninggalkannya. 

***

Aku menjauh dari perkemahan misterius itu, menyusur jalan setapak, mengikuti kata hati. Langkahku terhenti saat mendengar seseorang batuk, suara itu berasal dari balik pepohonan. Kuarahkan cahaya senter ke sana. Dan... munculah seorang nenek yang sedang menggendong kayu bakar. Ia menoleh ke arahku lalu nyengir, giginya yang hitam terlihat jelas tersorot sinar senterku.

Aku mundur dan tetap waspada. Bisa jadi dia bukan manusia.
[BERSAMBUNG]

****
Selanjutnya
close