Kualat Gunung Pulosari: Curug Putri (Part 2)
"Mira jangan melamun. Ini di gunung, bahaya," Riki menyadarkan Mira.
"Tapi, jelas-jelas tadi gua lihat Ayah ada di sana," ia menunjuk ke arah semak-semak.
"Udah Mir. Kita jalan lagi aja. Itu pasti cuma halusinasi lu," kataku.
Kami kembali melanjutkan perjalanan. Di tengah pendakian, Mira minta istirahat dulu sejenak. Napasnya terengah-engah, wajahnya sangat berkeringat.
Aku duduk di atas batu besar sambil menikmati pemandangan yang menyejukkan. Ada batang-batang pohon besar dan suara burung bersahutan dengan monyet. Gunung Pulosari memang mejadi habitat nyaman bagi koloni monyet. Di sepanjang perjalanan tadi, aku selalu melihat monyet bergelantungan di dahan pohon.
Selesai istirahat, Riki mengajak kami kembali melanjutkan perjalanan. Ia membagikan tongkat kayu yang baru saja ia buat sendiri. Tongkat itu berguna untuk membantu pendakian.
"Kira-kira berapa jam lagi kita sampai ke Curug Putri?" tanyaku.
"Udah deket, kok. Sebentar lagi juga sampai," jawab Riki.
"Ayo lanjut jalan. Kita pasti bisa!" Eldi memberi semangat.
Tidak sampai setengah jam akhirnya kami tiba di Curug Putri. Air terjun itu tidak terlalu tinggi, airnya pun tidak deras. Ini terbilang air terjun kecil, biasa digunakan para pendaki untuk sekadar cuci muka atau mengisi botol air minum mereka. Kedalaman airnya hanya sebetis, jadi tidak akan membahayakan para pendaki.
Saat kami tiba di Curug Putri, suasana di sana sedang sepi. Mungkin para pendaki lainnya sudah melanjutkan perjalanan menuju kawah. Hanya ada seorang anak lelaki kurus yang umurnya mungkin saja baru belasan tahun. Dia membawa botol-botol kosong dan mengisinya dengan air Curug Ciputri.
"Itu pedagang air minum. Dia akan membawa botol yang sudah diisi air ke kawah untuk dijual ke para pendaki," kata Riki sambil menunjuk ke arah anak itu.
Kami semua mencicipi air Curug Ciputri, terasa sangat segar. Aku belum pernah meminum air sesegar itu. Eldi dan Mira main air, mereka saling guyur satu sama lain, sedangkan Riki sibuk mengambil gambar menggunakan kamera HP-nya.
"Mira hati-hati," kulihat ia terpeleset dan jatuh ke air. Kulihat celananya basah kuyup.
"Sayang jahat ih," kata Mira pada Eldi.
Bukannnya minta maaf, Eldi malah tertawa.
"Mir...," aku terkejut dengan apa yang kulihat.
"Iya Ri?"
"Lu mens?" tanyaku. Ada darah mengalir di permukaan air.
"Astaga! Gua nggak sadar kalau mens, tadi nggak kok," Mira bangun, ia sangat panik."
"Gimana ini Rik?" tanya Eldi.
Riki menggaruk kepalanya sendiri. Dia turun ke dalam air lalu mengaduk-aduk darah yang mengalir perlahan di permukaan air agar gumpalan darah itu hilang.
"Sudah nggak apa-apa. Yang penting banyak berdoa aja," kata Riki. Ia lalu menyuruh kami melanjutkan perjalanan ke kawah.
Sesaat sebelum kami meninggalkan Curug Putri, terdengar suara raungan dari langit. Entah suara apa itu, disambut angin yang berembus kencang menerpa pepohonan. Kami semua menutup mata karena banyak daun kering dan debu yang beterbangan.
Dan saat kembali membuka mata, Mira menghilang entah ke mana.
Kami panik lalu turun kembali ke Curug Ciputri, memanggil-manggil Mira.
"Rik! Mira ke mana Rik!" Eldi menarik baju Riki.
"Gimana ini Riki?" lanjutnya tanpa memberi kesempatan Riki untuk bicara.
"Ada apa ini?" seorang lelaki tua muncul dari jalan setapak, ia mengenakan baju hitam dan celana hitam semata kaki, ia juga mengenakan blankon.
"Pak pacar saya hilang, Pak," Eldi menghampiri lelaki itu.
"Siapa itu, Rik?" tanyaku.
"Dia Pak Jaro, kuncen gunung ini," jawabnya sambil menghampiri lelaki tua itu. Riki lalu menyalaminya.
"Memangnya apa yang udah pacarmu lakukan di Curug ini?" tanyanya.
Eldi langsung menjelaskan kejadiannya. Pak Jaro menggeleng-gelengkan kepala.
Ia berjalan mendekati air terjun, di hadapan air terjun itu ia berdiri sambil mengacungkan kedua tangannya ke langit. Entah apa yang sedang dilakukannya. Tidak lama kemudian dia menghampiri kami kembali.
"Teman kalian baik-baik saja. Dia melakukan kesalahan fatal, ada ritual yang harus kalian lakukan kalau mau dia kembali."
"Apa itu, Pak?" tanya Eldi.
"Kalau mau mari ikut aku," dia melangkah ke arah jalan setapak menuju kawah. Kami mengikutinya dari belakang.
"Apa dia bisa dipercaya?" aku berbisik di telinga Riki.
"Tenang saja, dia orang baik. Dia juru kunci gunung ini," Riki membetulkan posisi kacamatanya, lengannya menepuk pundakku. Ia mencoba menenangkan kepanikan.
Aku tidak tahu ke mana Pak Jaro akan membawa kami, kata Riki ini bukan lagi jalur menuju kawah. Pak Jaro harus menebas rerumputan liar yang menghalangi jalan. Semakin masuk ke dalam hutan, semakin terasa menakutkan.
Nantikan cerita Kualat Gunung Pulosari selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini:
Kualat Gunung Pulosari: Pulanglah (Part 4)
Setelah susah-payah melewati semak belukar, akhirnya aku melihat sebuah rumah gubuk. Bangunan itu sepertinya terbengkalai. Biliknya dirambati tanaman liar. Itu gubuk kecil yang entah semula dijadikan tempat apa.
Di depan gubuk itu ada dua gundukan tanah seperti kuburan. Namun, aku tidak bisa memastikan kalau gundukan itu memang kuburan manusia atau bukan.
Pintu gubuk sudah tidak ada engselnya. Pak Jaro menggeser pintu itu lalu mempersilakan kami masuk. Eldi dan Riki masuk ke dalam gubuk. Sementara aku berdiri di depan pintu dengan perasaan ragu. Bagaimana mungkin aku bisa memercayai orang yang baru saja aku kenal? Aku sangat curiga kepada lelaki tua itu.
“Kamu kenapa?” tanya Pak Jaro.
Aku diam. Mataku memperhatikan gubuk yang sudah lapuk itu.
“Curiga sama saya?” Pak Jaro menatapku tajam.
“Ri, ayo masuk!” Eldi melongokkan kepala. Ia berdecak kesal.
“Kita mau apa di dalam, Pak?” tanyaku penasaran sekaligus curiga.
----------
Pulanglah
--------------------
Setelah susah-payah melewati semak belukar, akhirnya aku melihat sebuah rumah gubuk. Bangunan itu sepertinya terbengkalai. Biliknya dirambati tanaman liar. Itu gubuk kecil yang entah semula dijadikan tempat apa.
Di depan gubuk itu ada dua gundukan tanah seperti kuburan. Namun, aku tidak bisa memastikan kalau gundukan itu memang kuburan manusia atau bukan.
Pintu gubuk sudah tidak ada engselnya. Pak Jaro menggeser pintu itu lalu mempersilakan kami masuk. Eldi dan Riki masuk ke dalam gubuk. Sementara aku berdiri di depan pintu dengan perasaan ragu. Bagaimana mungkin aku bisa memercayai orang yang baru saja aku kenal? Aku sangat curiga kepada lelaki tua itu.
“Kamu kenapa?” tanya Pak Jaro.
Aku diam. Mataku memperhatikan gubuk yang sudah lapuk itu.
“Curiga sama saya?” Pak Jaro menatapku tajam.
“Ri, ayo masuk!” Eldi melongokkan kepala. Ia berdecak kesal.
“Kita mau apa di dalam, Pak?” tanyaku penasaran sekaligus curiga.
ADVERTISEMENT
“Ada ritual yang harus kalian lakukan sebagai bentuk permohonan maaf.”
“Jangan khawatir, Ri. Masuk aja,” kali ini Riki yang membujukku.
Ragu-ragu aku melangkahkan kaki masuk ke dalam gubuk itu. Di dalam tidak ada apa-apa. Gubuk hanya beralaskan tanah yang lembap. Pak Jaro meminta kami untuk melingkar. Ia kemudian memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, lalu bergumam membacakan mantera yang entah apa. Aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas.
“Teman kalian itu kualat. Kalian juga akan kena imbasnya. Malam ini, kalian harus menginap dulu di sini. Saya akan lakukan ritual di Curug Putri agar kalian semua selamat.”
“Bagaiman dengan pacar saya, Pak?” tanya Eldi dengan wajah khawatir.
“Nanti setelah ritual, dia pasti kembali.”
Malam semakin larut. Pak Jaro dari tadi sore meninggalkan kami di gubuk ini. Kami semua menggelar tikar dan menyalakan lampu canting LED. Eldi dan Riki tidur dengan pulas. Sementara aku tidak sama sekali mengantuk. Pikiranku merayap ke mana-mana.
Aku tidak habis pikir kenapa mereka berdua bisa tidur dengan nyenyak seperti itu. Padahal Mira masih belum jelas keberadaannya. Kalau sampai dia tidak ditemukan, apa yang harus kukatakan pada Om-nya Mira? Dia pasti marah atau bahkan membawaku ke pengadilan.
Selang beberapa saat, aku mencium minyak wangi yang menguar memenuhi ruangan gubuk. Aku bangun sambil mengendus-enduskan hidung. Dari mana bau minyak ini berasal?
Kuikuti sumber bau itu mengarah keluar gubuk. Kugeserkan pintu bilik. Di luar seorang wanita berjaket biru. Ia mengenakan celana levis sedang duduk di atas gundukan tanah. Ia berpakaian layaknya seorang pendaki.
“Kamu siapa?” tanyaku.
Ia menoleh kepadaku. Wanita itu lalu bangun dari duduknya.
“Pulanglah,” katanya. Tatapannya tajam ke wajahku.
“Pulang?” aku mengerutkan dahi.
Dari dalam gubuk tiba-tiba terdengar suara gaduh. Segera aku masuk kembali. Aku sangat terkejut saat menyadari kalau Eldi tidak ada di tempat tidurnya. Kubangunkan Riki. Masih dalam keadaan kantuk, ia mengenakan kembali kaca matanya.
“Kenapa, Ri?”
“Eldi ke mana?” aku panik.
“Hah? Bukannya tadi di sini?” Riki malah balik tanya.
Sayup-sayup aku mendengar suara arak-arakan dari kejauhan.
“Lu dengar itu?” aku meruncingkan telinga.
“Ayo, Ri!”
Riki bangun. Ia menggulung tikarnya dan memasukkan ke dalam tas. Aku juga segera berkemas. Kami segera bergegas keluar.
Dari kejauhan terlihat rombongan orang yang membawa obor. Aku dan Riki langsung mengikuti mereka. Kami menerobos semak belukar. Semakin dekat ke rombongan itu, semakin jelas kulihat ada Eldi di antara mereka. Ia berbaris sambil memegang obor. Entah akan menuju ke mana mereka.
“Eldi...!” teriakku sambil terus mendekatinya.
Saat berhasil mendekati rombongan itu, kucoba menarik lengan Eldi. Tapi dia malah mendorongku dan terus berjalan mengikuti rombongan. Aku terjerembap ke semak-semak. Riki membantuku untuk bangun. Aku hendak mengejar Eldi lagi. Namun, Riki malah menahan lenganku.
“Kenapa, Rik?”
“Dia sudah bukan, Eldi.”
“Lu ngomong apa sih. Itu teman kita, Rik. Dia mau dibawa setan!”
“Lebih baik kita pergi saja, Ri. Di sini bahaya.”
“Lu ini gimana sih?! Becus enggak sih jadi pemandu?!”
Aku kesal. Kutepis genggaman tangannya. Rombongan semakin menjauh.
Tanpa memedulikan Riki, kukejar rombongan itu. Mereka berhenti di tepi jurang kemudian duduk sila di sana. Hanya Eldi yang berdiri. Ia melangkah perlahan ke tepian jurang.
“Eldi, jangan!”
Tak sempat aku meraih tubuhnya, Eldi menjatuhkan dirinya sendiri ke dalam jurang tersebut. Napasku terengah-engah. Kusorotkan senter ke dalam jurang untuk mencari tubuh Eldi. Tapi, jurang itu terlalu dalam. Aku tidak dapat menemukan Eldi.
“Ri ayo pergi!” Riki memanggilku dari jauh.
Rombongan lelaki yang sedang duduk sila di sekeliling menatapku dengan tatapan tajam. Mereka sepertinya marah kepadaku. Segera aku meninggalkan tempat itu.
Kami melanjutkan perjalanan. Daerah ini sangat tidak aman bagi kami. Kalau kami menunggu Pak Jaro, aku yakin akan ada suatu hal buruk yang terjadi pada kami.
“Kita ke mana, Rik?”
Aku sangat takut. Semua kacau malam itu.
“Ke kawah.”
“Ngapain ke sana?” aku berhenti melangkah.
“Kita harus cari si Mira. Tadi gua lihat Eldi terjun di jurang. Kita cari dia juga. Kalau emang udah mati, setidaknya kita harus temukan jasadnya.”
“Begini, Ri. Di kawah pasti banyak orang. Nanti kita minta bantuan mereka.”
Aku diam. Ada benarnya juga apa yang dikatakan Riki.
Sudah dua jam kami berjalan. Entah kenapa aku merasa kalau kami semakin tersesat. Tidak ada jalan setapak yang menjadi jalur pendakian. Sialnya kami malah balik lagi ke gubuk tadi. Aku duduk lemas di atas tanah. Riki menggelengkan kepala. Kami benar-benar dipermainkan setan malam itu.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya