Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kualat Gunung Pulosari: Kami Kualat (Part 1)

Kami kualat. Sudah tiga hari kami semua terpencar dan tersesat di Gunung Pulosari. Riki yang selama ini kuanggap sebagai orang yang lebih tahu tentang gunung, yang selalu aku turuti apa pun yang dikatakannya, sekarang aku mulai meragukannya. Sebab, sekarang tingkahnya aneh dan tidak seperti Riki yang kukenal. Mungkin saja lelaki yang sedang berjalan di hadapanku saat ini adalah jelmaan Riki.

Aku juga tidak berani mendongak ke atas karena ada sebuah bola api yang dari sore mengikutiku. Kata orang, bola api itu adalah ocos atau, makhluk gaib penunggu Gunung Pulosari. 

Riki membawaku ke sebuah perkemahan yang sangat aneh. Orang-orang di sana berwajah pucat. Tidak ada kegembiraan sedikit pun yang terpancar di wajah mereka. Cara berjalan mereka sama. Kaki kanannya pincang semua. Aku mulai takut. 

Lain halnya yang terjadi dengan Mira dan Eldi. Mereka juga hilang. Terakhir kali aku melihat Eldi berdiri di batang pepohonan. Wajahnya penuh darah. Namun, ia tersenyum ke arahku sambil yang tak ada manisnya sedikit pun. Senyum diiringi lambaian tangan itu justru terkesan mengerikan.

Sementara Mira, sahabatku, dia dinikahi jin curug Puteri. Aku melihat resepsi gaib itu dengan mata kepalaku sendiri.

Aku seharusnya tidak berada di sini. Banyak sekali orang yang berkemah di tempat aneh ini. Ada puluhan orang. Bukan! Ini sangat banyak. Bisa jadi ada ratusan orang di tempat ini. Tempatnya seperti lapangan.

Kulihat Riki berdiri sambil mendongak ke langit. Ia menatap bulan. 

"Rik! Ngapain kita di sini? Ayo cari Eldi sama Mira lagi."

Riki tidak menjawab. Aku mendekatinya perlahan lalu menyentuh pundaknya. 

"Rik!"

Lima ekor belatung keluar dari kerah baju Riki. Dia menoleh ke arahku dengan wajah datar. Tatap matanya mati.

"Kita istirahat di sini dulu," kata Riki. Aku kaget lantaran suaranya berubah. 

Aku harus pergi dari tempat ini, secepatnya! 
-------
Beberapa Hari Sebelumnya
-----------
Jujur saja aku bukan seorang pendaki andal. Bahkan, aku tidak punya pengalaman mendaki gunung. Di kampus pun aku tidak tertarik pada organisasi mahasiswa. Setiap hari yang aku lakukan hanya kuliah dan pulang.

Orang bilang aku mahasiswa kupu-kupu. Ya... paling sesekali aku pergi ke perpustakaan. Bukan untuk mencari buku, melainkan untuk cuci mata saja. Soalnya di perpustakaan, aku sering bertemu cewek cantik. Terkadang aku suka pura-pura duduk di samping mereka tanpa berani menyapa.

Kehidupanku di kampus memang terkesan monoton. Tapi, aku suka dengan kehidupan seperti itu. Tapi semuanya berubah saat Mira mengajakku mendaki Gunung Pulosari. Aku tidak akan pernah melupakan pendakian itu.

Di akhir semester lima, aku ditelepon Mira, sahabatku. Waktu itu kebetulan aku sedang berkemas untuk mudik. Maklum, aku ini seorang perantau yang kuliah di Pandeglang. Jadi setiap libur semester aku pasti pulang kampung. 

“Halo Ri! Ori?”

“Iya, Mira. Ada apa?” aku menjawab telepon Mira sambil membereskan baju. HP kujepitkan di antara bahu dan telinga.

“Woi! Lu belum pulang, kan?”

“Ini baru mau,” kataku singkat. Kuletakkan HP di atas tumpukan baju lalu menyalakan spikernya. 

“Jangan pulang dulu, Ri. Gua punya rencana keren, nih.”

“Rencana apaan, Mir? Makan jagung di pinggir pantai lagi?”

“Ahahaha... bukan, kok. Itu garing banget sumpah. Ini pokoknya keren deh. Gua jamin enggak akan garing lagi.”

“Iya apaan?”

“Naik gunung, Ri. Lu belum pernah naik gunung, kan?”

“Enggak pernah, Mir. Dan, kayaknya gua enggak ikut deh. Fisik gua enggak akan kuat. Lu tahu sendiri fisik gua. Angkat galon aja enggak sanggup.”

“Yah, Ri. Plis ikut dong! Lu tahu kan, om gua cuma percaya sama lu. Gua enggak akan diizinin naik gunung kalau enggak sama lu, Ri.” Mira merengek.

Aku mengembuskan napas berat. Tanganku berhenti membereskan pakaian.

“Ya udah nanti gua anter izin aja ke mm lu, ya.”

“Eh, Ri, lu mau kalau gua kenapa-napa terus elu yang dituntut sama om gua? Mendingan ikut aja! Kan bisa jagain gua juga.”

“Pacar lu juga ikut kan, Mir?” tanyaku dengan nada malas.

“Iya dia ikut juga, ah tapi nggak akan seru kalau lu nggak ikut.”

Aku terdiam sejenak. 

“Siapa yang bakal jadi pemandunya? Kita kan amatir, Mir. Harus ada minimal satu orang yang mahir naik gunung. Enggak boleh sembarangan. Bahaya!”

“Riki, Ri. Kita ke sana bareng sama si Riki, anak kelas B. Dia mahir banget soal pendakian.”

Riki memang anak pencinta alam. Dia sudah mendaki berbagai gunung di pulau Jawa. Aku sangat percaya kalau Riki yang jadi pemandunya.

“Naik gunung apa, Mir?”

“Jangan jauh-jauh. Pulosari aja,” kata Mira. 

Gunung Pulosari memang lokasinya dekat dengan kampusku. Bahkan, dapat dilihat dari jendela kelas. Banyak orang juga dari luar kota yang mendaki gunung itu. Selain ketinggiannya hanya 1346 MDPL, Gunung Pulosari juga terkenal dengan air terjunnya yang indah. Air terjun itu bernama curug Putri. 

“Ya udah deh gua ikut," kataku. 

Seharusnya saat itu aku tidak mengiyakan ajakan Mira. Atau seharusnya aku melarang Mira untuk naik gunung. Tapi, sore itu aku malah mendatangi tempat tinggal mira di rumah om-nya. Sebab, Mira juga seorang perantauan.

Sore itu, aku, Mira, Riki, dan Eldi berkumpul di teras rumah. Kami merencanakan pendakian untuk besok. Sudah banyak hal-hal indah yang kami bayangkan saat sampai di puncak nanti. Sayangnya, rencana itu ternyata menjadi awal malapetaka bagi kami.
-----------
Larangan 
-------------------
Kami tiba di pos parkiran Gunung Pulosari. Ada beberapa motor dan mobil yang juga terparkir di sana. Penjaga pos meminta data diri kami. Ia mencatat dengan teliti. Mereka juga memeriksa tas kami. Mungkin mereka khawatir ada pendaki yang membawa narkoba atau barang-barang lain yang tak diperkenankan.

“Kalian tahu larangannya?”

“Tidak boleh bawa minuman keras dan narkoba?” jawab Riki. 

“Bukan hanya itu,” si penjaga pos berhenti menulis. Ia melihat ke arah kami dari balik loket kaca. 

“Pastikan yang sedang menstruasi jangan mandi di Curug Putri. Jangan ada yang mesum. Dan, jangan bicara sembarangan!” ucapan lelaki penjaga loket sangat tegas. 

“Mir, lo enggak lagi datang bulan, kan?” tanyaku, berbisik.

“Enggak Ri. Aman.” 

“Baik. Kami pasti tidak akan melanggarnya,” jawab Riki. 

Kami membayar biaya parkir sebesar lima ribu rupiah per motor. Setelah semuanya siap, Riki meminta kami untuk membuat lingkaran.

“Sebelum melakukan pendakian, ada baiknya kita sama-sama berdoa,” Riki membetulkan kaca matanya. 

“Berdoa, mulai!” 

Kami semua menunduk dan larut dalam doa. 

“Selesai.”

Kami mulai mendaki melewati perkebunan warga. Riki sebagai pemimpin berada di barisan paling belakang untuk memastikan anggotanya baik-baik saja. Masing-masing dari kami membawa tas gunung lengkap dengan semua peralatan yang dibutuhkan. 

Aku berada di barisan ketiga. Kulihat Mira tampak kelelahan karena medan yang kami tempuh terus menanjak semakin curam. 

“Lu capek, Mir? Istirahat dululah,” kataku. 

“Baru juga mulai,” Eldi menyela. 

“Enggak kok. Kita lanjut aja. Gua enggak sabar mau lihat Curug Putri,” Mira menoleh ke arahku.

Kami memasuki perkebunan pisang. Kulihat ada beberapa batang pohonnya yang rusak bekas gigitan hewan. Aku yakin itu bekas gigitan hama babi hutan. Dari beberapa artikel yang pernah kubaca, penduduk Pulosari memang diresahkan oleh hama babi hutan.

Dulu katanya ada kepala desa yang biasa dipanggil Pak Arsad membuat perjanjian dengan raja babi Gunung Pulosari sehingga para babi tidak menyerang perkebunan warga. Semenjak kepala desa itu meninggal, koloni babi mulai menyerang perkebunan warga kembali.

Di tengah perjalanan, aku melihat seorang nenek sedang berdiri di antara pepohonan pisang. Wajahnya kusut dan rambutnya sudah penuh uban. Dia memperhatikan kami yang sedang melintas di hadapannya. 

“Rik, itu siapa?” tanyaku.

“Nyi Amah. Dia Orang gila. Dia memang suka berkeliaran di sekitaran sini,” jawab Riki. 

Saat barisan kami melintasi Nyi Amah, aku menoleh ke belakang. Ternyata dia mengikuti kami. Aku pun menghentikan langkah. 

“Lihat, dia ngikutin kita,” aku menunjuk ke arah nenek itu. 

Riki menghampirinya. Ia tersenyum ramah.

“Nyi... punten jangan ganggu kami, ya!” Riki berbicara padanya. 

Tiba-tiba Nyi Amah terlihat panik. Matanya melotot ke arah kami. Dia malah menunjuk-nunjuk, lalu tergesa-gesa berjalan ke arahku. 

“Kasihan kamu, Nak,” Nyi Amah menyentuh pipiku sambil merintih. 

Aku menepis lengannya yang kotor. 

“Udah, Ri, ayo jalan lagi,” Eldi menarik lenganku. 

Riki kembali ke barisan. Kami meninggalkan Nyi Amah. Kulihat wajahnya tampak sedih. 

“Daria kebahan paeh!” teriak Nyi Amah dari belakang.

"Dia bilang kita semua akan mati? Duh... gue jadi kepikiran dan takut," kataku.

“Udah jangan dipercaya. Sudah kubilang dia itu orang gila,” kata Riki sambil tersenyum. 

Kami pun melanjutkan perjalanan. Aku melirik jam tangan, baru jam sepuluh siang. Tapi semakin masuk ke dalam hutan malah semakin temaram. Aku mendongak ke langit. Cuaca memang sedang mendung. 

Rombonganku mulai masuk ke dalam hutan. Jalan semakin terjal berbatu, juga licin. Suara kawanan monyet terdengar sangat mengganggu. Mereka bergelayutan di dahan-dahan pohon sambil melihat ke arah kami. 

“Kenapa, Mir?” tanyaku. 

Mira berhenti. Ia membetulkan kaca matanya lalu melihat ke arah semak-semak.

“Ayah?” kata Mira. Yang kutahu ayahnya Mira sudah lama meninggal.

Riki panik. Dia lari dari arah belakang menghampiri Mira.

“Mira! Jangan lihat ke sana!” teriak Riki sambil menghalangi pandangannya. 

Perasaanku mulai tidak enak.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya
close