Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MAHAMERU-Perjalanan Hidup Dan Mati


September 2014
Waktu yang cocok untuk kita menikmati keindahan alam diatas gunung, maka dari itu aku membuat agenda untuk mendaki ke gunung Semeru bersama 2 teman baikku yang juga mempunyai hobi yang sama dalam bidang pendakian.

Dani dan Yudi. Mereka adalah temanku semenjak SMA ya meskipun kami beda sekolah tapi kami tinggal satu kosan. Tepi kini kami tinggal berjauhan karena beda kota tapi itu tidak membuat kami putus persaudara’an justru malah sebaliknya.

Sering kali aku berkunjung ke rumah Yudi yang orang tuanya juga sudah begitu akrab denganku begitu juga dengan Dani, tidak jarang juga mereka berdua yang berkunjung ke rumahku dan kedatangan mereka juga selalu disapa hangat oleh orang tuaku, bisa dibilang kami ini adalah saudara tapi beda orang tua.

Sejak tahun 2009 kami bertiga sering menjajaki gunung-gunung yang ada di pulau jawa kalau sama-sama ada waktu luang. Bukannya ada waktu luang sih malahan kami selalu mencari waktu luang.

Mungkin kami sudah melanggar salah satu pantangan dalam hal pendakian yaitu jumlah ganjil tapi mitos itu tidak begitu kami hiraukan karena bagi kami adalah niat dan tujuan dan syukurlah selama kami bertiga menjajaki beberapa gunung tidak pernah ada hal buruk yang menimpa kami, ada sih tapi tidak terlalu serius dan itu masih bisa di selesaikan dengan mudah tapi tidak dengan hal buruk yang menimpaku ketika mendaki ke gunung Semeru waktu itu.

Sebuah kejadian yang menurutku aneh tapi itu terasa sangat nyata, dimana waktu itu tanpa sengaja aku hampir terpelosok di jalur blank 75.

(Sabtu 6 September 2014)
Kami bersepakat untuk bertemu di sebuah kota tempat kami bertiga sekolah dulu yaitu kota Jombang, Jawa timur dan titik kumpulnya adalah di rumah Yudi.

Bagi kami bertiga rumah Yudi adalah bascamp karena setiap kali kami akan pergi mendaki gunung rumah Yudi lah yang selalu kami pilih sebagai titik kumpul, selain tempatnya strategis orang tua Yudi juga sudah menganggap kami seperti anak sendiri.

Setelah berkumpul kami langsung menaiki motor untuk berangkat ke gunung Semeru dan tidak lupa bersalaman dengan orang tua Yudi untuk pamit dan meminta doa restunya.

Dani mengendarai motor bututnya sendiri sedangkan aku berboncengan dengan Yudi. Yaa.. Dani memang selalu begitu setiap mendaki, dia lebih suka mengendarai motor butunya sendiri dari pada dibonceng. Katanya, meskipun butut tapi motor itulah yang selalu mengantar Dani kemanapun dia pergi.

Singkat cerita...
Sore itu kami bertiga sampai di desa terakhir yaitu Ranu pani, sebuah desa yang membuatku merasa nyaman ketika aku menginjakan kaki disana sampai-sampai aku mempunyai fikiran,

“Andaikan aku tinggal di desa ini pasti setiap hari aku akan merasakan kesejukan alam yang asri”.

Kedatangan kami sore itu disapa hangat oleh penjaga parkir yang terletak di sebelah lapangan luas yang kalau sore hari selalu ramai oleh anak-anak bermain bola, setelah motor sudah kami titipkan di tempat parkir kami berjalan melewati anak-anak yang sedang bermain bola itu untuk menuju ke bascamp.

Sesampai di bascamp ternyata tidak ada yang berubah, bangunan bascamp masih sama seperti awal aku kesini pada tahun 2010 lalu namun kali ini suasana semakin ramai oleh pendaki.

Ini bukan pendakian pertamaku ke gunung Semeru begitupun Yudi dan Dani, ini sudah ketiga kalinya aku menjajaki alam gunung Semeru tapi 2 pendakian sebelumnya kami tidak sampai ke puncak Mahameru.

Di tahun 2010 kami hanya mendaki sampai di Ranu kumbolo dan di tahun 2012 kami bisa sedikit keatas ke Kalimati tapi, kali ini kami bertiga bertekad untuk menginjakan kaki di tanah tertinggi Jawa yaitu Mahameru.

Kurang lebih 15 menit lamanya kami mengurus simaksi, mulai dari mengisi formulir dan yang terakhir membayar tiket sebesar Rp.17.500 per hari. Setelah selesai kami langsung memulai perjalanan sore itu juga.

Di awal-awal perjalanan jalalnya masih sama, yaitu jalan aspal yang menurun hingga sampai di pintu gerbang pendakian baru kemudian jalannya berupa tanah dan menanjak. Sambil berjalan aku membayangkan bagaimana rasanya berdiri di puncak Mahameru nanti, tentunya hal pertama yang akan aku lakukan nanti adalah bersujud syukur, yaa meskipun belum tentu aku akan kuat untuk menggapai Mahameru.

Selangkah demi selangkah jalan berpaving dan dominan menanjak ini kami lalui hingga tidak terasa sampailah kami di pos peristirahatan pertama, sesampai disitu kami istirahat di dalam bangunan shelter dan menyempatkan untuk membuat kopi.

Kegiatan membuat kopi di perjalanan ini rutin kami lakukan setiap kali mendaki dengan tujuan agar perjalanannya bisa dinikmati dengan adanya kopi di selah-selahnya, disisi lain waktu itu kami juga sedang menunggu habis waktu maghrib.

Setelah kopi sudah habis terminum dan mengingat waktu maghrib juga sudah lewat, kamipun kembali bersiap-siap akan melanjutkan perjalanan ke pos berikutnya dan malam ini target kami adalah sampai di Ranu kumbolo untuk bermalam disana tapi apalah daya malam ini kami hanya bisa sampai di pos 4.

Kami orangnya tidak suka memaksakan sesuatu. Memang tujuan kami malam ini adalah Ranu kumbolo dan istirahat disana tapi kalau memang sudah lelah lebih baik beristirahat dulu jangan dipaksakan.

Karena waktu itu di pos 4 terlihat sepi kami memutuskan untuk menggelar matras di dalam bangunan shelter untuk istirahat di dalamnya, urusan nanti ada pendaki lain yang mau istirahat juga tidak masalah lagian tempatnya terlalu luas untuk kami bertiga.

Ketika aku sedang sibuk membenahi kantung tidur aku melihat Yudi sedang sibuk menyalakan kompornya dan akan membuat kopi katanya. Melihat itu aku mengurungkan niatku untuk masuk kedalam kantung tidur, aku meninggalkan Dani yang sepertinya sudah tertidur untuk menghampiri Yudi dan memintanya membuatkan kopi untukku juga, setelah kopi sudah jadi aku dan Yudi menikmati kopi itu.

Kopi yang tadinya panas itu kini sudah menjadi dingin, hanya pahit yang bisa kurasakan. Ya begitulah kalau Yudi sudah membuat kopi, mungkin dia lebih memilih pahit dari pada harus terkena penyakit Diabetes. Tapi meskipun pahit aku tetap menikmatinya.

Kamipun beranjak ke matras untuk istirahat dan meninggalkan gelas kopi itu di sebelah kami, beberapa saat kemudian kami tertidur.

Ketika kami sedang nyenyak tidur tiba-tiba aku terusik oleh suara pendaki lain yang meminta bantuan,

“Mas, mas tolong kami mas”

Mendengar suara itu aku pun terbangun begitu juga dengan Dani, setelah kami bangun pendaki itu mengulangi perkataannya,

“Mas, tolong kami,, tolong banget”, ucap pendaki itu dengan gugup, sepertinya dia sedang mengalami kesulitan. Dengan keada’an yang masih ngantuk Dani menjawab,

“Ada apa mas?” “Tolong mas, teman kami roboh diatas” “Roboh kenapa?” “Saya juga kurang tau”, jawab pendaki itu yang masih gugup.

Mendengar itu aku membangunkan Yudi yang masih dengan tidur pulasnya, setelah bangun kami bertiga berjalan keatas tanjakan mengikuti pendaki itu, sesampainya di tengah-tengah tanjakan ternyata salah satu teman wanitanya sedang terlentang di tanah dan nafasnya terengah-engah.

Kamipun segera memberi bantuan dan mengangkatnya kembali turun ke pos 4 dengan dibantu teman rombongan mereka, sesampai kembali di pos 4 kami menidurkan wanita itu di atas matras tempat kami tidur tadi kemudian gadis itu diobati teman lainnya. Mereka satu rombongan yang jumlahnya ada 6 orang, 2 wanita dan 4 laki-laki.

Melihat keada’an wanita yang sakit itu kami tidak bisa berbuat banyak karena kami tidak mempunyai pengalaman di bidang pengobatan.

“Kasih nafas buatan aja. Ada yang bawa minyak angin gak?. Kayaknya ini terkena angin duduk?. Bukan, ini kayak Hipotermia”

Suara mereka terdengar saling bersahutan mencari tau penyakit yang diderita wanita itu.

Kami bertiga hanya duduk menahan dingin sambil menyaksikan mereka memberi pertolongan, tidak lama kemudian pendaki yang tadi membangunkan kami itu mendatangi kami dan berucap,

“Mas, terima kasih ya udah dibantuin dan maaf tempat tidurnya kami pakai”

Dani menjawab sekaligus bertanya,

“Gpp mas santai aja, emang temennya kenapa?” “Kurang tau saya mas, ada yang bilang terkena angin duduk tapi kata teman ceweknya sebelumnya dia punya penyakit asma”.

Mendengar itu aku tersentak karena setauku penyakit itu bisa mengakibatkan kematian, lalu aku meminta ma’af pada pendaki itu kalau kami tidak bisa membatunya lebih karena kami tidak tau apa-apa tentang pengobatan tapi disisi lain aku sangat kesal karena mereka sudah menganggu waktu istirahatku dan yang lebih kesal lagi, kenapa wanita itu diajak mendaki gunung kalau tau dia punya penyakit asma. Tapi ya sudahlah sudah terlanjur juga, aku hanya berharap semoga wanita itu bisa sehat lagi.

Karena tidak bisa berbuat banyak Yudi mengambil kompor dan nestingnya yang tadi tergeletak di samping matras kemudian dia merebus air dan akan membuat kopi, setelah membuat kopi Yudi membiarkan kompor itu tetap menyala agar bisa kami gunakan untuk menghangatkan tubuh.

Pagi pun tiba... Setelah kejadian yang menimpa rombongan pendaki itu kami tidak tidur hingga pagi dan pagi itu kondisi wanita itu sepertinya sudah membaik. Kami pun mendatanginya untuk melihat keada’annya. Dia manis, rambutnya berponi dan di cepol, dia sedang duduk di pelukan teman wanitanya dan terlihat sudah lebih baik dari semalam meskipun kondisi tubuhnya masih terlihat lemas. Sungguh kasihan melihat keadaannya yang seperti itu.

Lalu aku menyarankan pada ketua rombongannya untuk kembali turun dan tidak melanjutkan pendakiannya karena takutnya kalau dilanjutin nanti keada’an wanita itu semakin parah lagi.

Mendengar saran dariku ketua rombongan itu mengajak 5 anggotanya untuk kembali turun pagi itu juga dan sebelum turun mereka semua mengucapkan terima kasih banyak pada kami bertiga karena semalam sudah bersedia membantunya. Aku pun merasa senang karena bisa membantunya ya meskipun pagi itu aku masih menahan ngantuk karena kejadian itu membuat aku tidak tidur lagi hingga pagi dan itu juga dirasakan oleh Yudi dan Dani. Setelah rombongan pendaki itu turun kami bertiga segera melanjutkan perjalanan ke Ranu kumbolo dengan tujuan agar kami bisa istirahat sebentar disana.

Di perjalanan menuju ke Ranu kumbolo aku sedikit menyesal karena aku tidak sempat menanyakan nama wanita tadi, tapi ya sudahlah aku berharap semoga dia baik-baik aja sampai kerumah.

Singkat cerita... Jam 8 pagi kami sampai di Ranu kumbolo. Air biru dari danau itu membuat jiwaku nyaman ketika melihatnya. Potongan-potongan pohon yang roboh itu menambah ciri khas yang mengingatkanku pada pendakianku sebelum-sebelumnya hingga membuat langkah kakiku terhenti sejenak untuk mengambil gambarnya. Setelah itu kami lanjutkan berjalan menuju ke area camp yang disitu sudah terdapat warna-warni dari banyak tenda pendaki yang sudah berdiri. Kamipun ikut mendirikan tenda, setelah tenda sudah selesai kami dirikan kami mendatangi sebuah petilasan yang tertulis nama Muammar Hanafi untuk mendoakannya. Meskipun kami tidak terlalu mengenalnya tapi menurut kami sosok Hanafi dulunya adalah orang yang baik semasa hidupnya tapi sayangnya dia sudah terlebih dahulu pergi, menghembuskan nafas terakhirnya di Ranu kumbolo pada tahun 2009 silam.

Setelah itu kami kembali ke tenda untuk melanjutkan istirahat kami yang semalam sempat tertunda dan tepat jam 12 siang aku terbangun karena berisik alarm hp yang tadi sudah aku pasang.

Aku pun bangun dan membangunkan Yudi dan Dani untuk membuat makanan setelah itu kami berkemas dan melanjutkan perjalanan ke dataran yang lebih tinggi.

Kurang lebih 30 menit berjalan kami sampai di area yang luas dengan pemandangan bunga Verbena yang luar biasa indah tapi tidak sebanyak dulu, kini bunga di tempat ini agak berkurang mungkin karena pihak yang bersangkutan memperbolehkan pendaki untuk mencabutnya. Mungkin banyak dari pendaki menyebut ini adalah bunga Lavender tapi kenyataannya bukan, ini adalah bunga Verbena dan bunga ini bisa merusak ekosistem, maka dari itu pihak yang bersangkutan memperbolehkan pendaki untuk mencabutnya tapi tidak dengan bunga edelweis.

Setelah melewati area Cemoro kandang dan Jambangan akhirnya sekitar jam 4 sore kami sampai di tempat yang kami tuju yaitu Kalimati. Dari sini akhirnya aku bisa melihat lagi puncak Mahameru yang berdiri gagah, sebuah tempat yang ingin sekali aku menginjakan kaki diatas sana.

Tenda berkapasitas 4 orang yang dibawa Yudi kemudian kami dirikan, terlihat beberapa pendaki lain sedang memasak makanan yang aromanya sunggu menguggah selera. Tidak lupa aku pun mengeluarkan roti tawar aku bawa kemudian membakarnya diatas nesting setelah tenda sudah selesai kami dirikan.

Roti itu kemudian kami santap bertiga bersama kopi pahit buatan Yudi hingga tidak terasa hari sudah akan gelap, udara dingin terasa menusuk-nusuk seluruh badan hingga memaksaku memakai jaket jadulku.

Ketika hari sudah gelap kami memaksakan diri untuk istirahat karena Yudi bilang nanti jam 12 malam kita akan berjalan lagi menuju ke puncak Mahameru. Dan inilah pendakian gunung Semeru yang sebenarnya. Kamipun istirahat dan tepat jam 12 malam Yudi membangunkan kami sambil dia sibuk mengemas agar-agar yang dimasaknya itu kedalam kantung plastik. Yudi memang selalu begitu kalau akan summit, dia selalu memasak agar-agar untuk bekal di perjalanan.

Kamipun mempersiapkan berbekalan masing-masing untuk dibawa summit ke puncak. Pelindung kaki, sarung tangan, dan jaket tebal sudah menempel di tubuh kami masing-masing, di luar terdengar beberapa pendaki lain sedang berisik mungkin mereka juga sedang mempersiapkan hal yang sama dengan kami, setelah itu aku memberanikan diri menahan hawa dingin untuk keluar tenda. Di luar kami bertiga mengangkat kedua tangan kami setinggi dada untuk berdo’a kepada Tuhan yang maha esa agar diberi kekuatan dan keselamatan selama perjalanan menuju ke Mahameru nanti. Setelah itu kami mengumpulkan masing-masing tangan kanan kami kemudian bareng-bareng melepaskannya disertai dengan teriakan, “Yooooo”. Setelah itu kami bertiga sama-sama menatap ke arah puncak Mahamaeru.

Ini adalah perjalanan hidup dan mati karena semua resiko yang akan terjadi pihak yang bersangkutan tidak akan bertanggung jawab setelah pendaki sudah berada diatas Kalimati.

Di kondisi suhu yang sangat dingin ini kami pelan-pelan kami berjalan meninggalkan tenda dan semakin lama langkah kaki kami menjadi sangat pelan karena kondisi trek yang berpasir dan berdebu. Di sebelah kanan dan kiri aku melihat banyak petilasan dari pendaki yang sudah terlebih dahulu pergi, semoga mereka tenang di alam sana.

Langkah yang pelan ini akhirnya membawa kami sampai area Cemoro tunggal dimana disitu hanya ada 2 buah pohon yang berdiri kokoh, sesampai disitu aku melihat raut wajah Dani sepertinya sangat kelelahan hingga akhirnya aku mengajaknya untuk istirahat sejenak.

Sambil istirahat Yudi membuka kantung plastik yang berisi agar-agar itu untuk dimakan, setelah makan beberapa potong kamipun kembali melanjutkan perjalanan.

Awalnya jalan kami saling berdekatan dengan posisi Yudi di depan disusul Dani dan aku paling belakang, diantara kami bertiga jalanku lah yang paling lambat karena waktu itu aku merasa sangat kelelahan hingga beberapa kali aku mennghentikan langkahku dan beberapa kali juga Dani bilang padaku,

“Ayo bro jangan terlalu sering break nanti malah semakin capek”.

Mungkin yang dikatakan Dani itu memang benar, kalau keseringan berhenti malah semakin capek tapi mau bagaimana lagi aku sudah tidak kuat kalau harus terus berjalan walaupun dengan pelan.

Kira-kira di pertengahan jalan aku memutuskan untuk berhenti lagi membiarkan Dani dan Yudi tetap berjalan. Itu sengaja aku lakukan karena aku tidak ingin membebani mereka, hingga aku dan Dani berjarak 15 meter Dani mengarahkan senternya kearahku sambil berteriak,

“Ayo bro cepetan, sebentar lagi puncak”.

Kata-kata itu sering diucapkan oleh kedua temanku ini ketika mendaki kemanapun dan aku hanya membalasnya dengan mengacungkan jari jempolku sambil pura-pura tersenyum agar tidak terlihat lemah di mata Dani. Setelah itu Dani berteriak lagi,

“Aku jalan pelan-pelan ya..”.

Aku mengacungkan jari jempolku lagi sambil mengangguk tersenyum.

Setelah kurasa cukup beristirahat aku kembali berdiri dan pelan-pelan melangkahkan kakiku lagi menyusul mereka tapi lagi-lagi nafasku tidak bisa diajak kompromi, dia memaksaku untuk istirahat lagi padahal aku belum sampai menyusul Dani dan Yudi yang sudah tidak terlihat keberadaannya.

Sambil istirahat aku berfikir,

“Mungkin kedua temanku ingin segera sampai di puncak mangkanya dia tidak begitu peduli dengan keadaanku”.

Aku tidak marah pada mereka, ya memang inilah perjalanan menuju Mahameru tidak semudah yang orang bayangkan.

Aku putus asa dan hampir menyerah, kalau bukan karena kemauanku sendiri mungkin aku sudah menyerah. Aku berharap kedua temanku itu turun dan membantuku tapi rasanya mustahil, disini hanya aku yang bisa menyelamatkanku karena mungkin orang-orang disini juga sedang berjuang memperjuangkan dirinya masing-masing. Dan beruntunglah jika ada orang lain yang masih peduli dengan keada’an kita disini.

Matahari mulai menampakan dirinya dan memberikan pemandangan alam yang luar biasa sempurna dan kemunculan sang surya itu ternyata bisa membakar semangatku lagi untuk untuk bisa menginjakan kaki di puncak impian. Akupun mematikan senterku dan beranjak berdiri untuk menyusul teman-temanku.

Pelan-pelan aku berjalan melewati jalan yang penuh pasir ini, lalu dari kejauhan aku melihat 2 temanku sedang duduk, mungkin mereka sedang menungguku. Melihat itu aku sedikit mempercepat jalanku untuk menyusulnya, sesampai disitu ternyata benar mereka sedang menungguku sambil makan agar-agar yang dibawa Yudi, akupun ikut makan agar-agar itu, setelah makan beberapa potong Yudi bilang,

“Udah ayok kita lanjut lagi biar cepet sampai”.

Mendengar ajakan Yudi dalam hatiku ngedumel,

“Aku baru aja nyampek sini udah diajak jalan lagi”.

Tapi mau bagaimana lagi, mungkin mereka udah bosan karena terlalu lama menungguku disini.

Kamipun kembali melanjutkan perjalanan, karena lelah sebentar-sebentar aku berhenti, kulihat kedua temanku sudah jauh diatas dan hal yang sama terulang lagi, Dani berteriak kearahku,

“Ayo bro, sebentar lagi kita udah sampai di puncak”

Teriak Dani sambil menunjuk kearah puncak. Aku kembali melangkahkan kaki menguras semua tenaga yang masih kumiliki hingga akhirnya aku sampai di puncak impian, puncak Mahameru, tanah tertinggi Jawa.

Tidak terasa air mataku menetes bahagia dan hal pertama yang kulakukan disitu adalah sujud syukur atas keberhasilanku menggapai Mahameru bersama kedua temanku. Setelah itu aku mendatangi kedua temanku dan menggapai tangannya kemudian memeluknya sambil tertawa bahagia. Rasa lelah yang aku rasakan selama perjalanan tadi itu hilang karena terbayar dengan keindahan lautan diatas awan.

Di puncak kami menghabiskan agar-agar buatan Yudi itu sampai habis dan setelah puas menikmati keindahan puncak kami pun turun.

Berjalan turun... Di perjalanan turun aku merasakan nyeri di kakiku bagian kanan hingga aku tertinggal lagi oleh kedua temanku. Sambil berjalan turun aku menyeret kaki kananku ini karena nyeri yang kurasakan ini tidak tidak mampu untuk mengangkatnya. Beberapa menit berjalan terlihat kedua temanku sedang menungguku sambil berdokumentasi. Akupun bilang tentang nyeri yang kurasakan ini pada kedua temanku dan mereka bilang,

“Gpp kita jalannya pelan-pelan aja lagian ini kan udah turun”.

Mendengar itu aku sedikit lega, ternyata di tempat seperti ini mereka masih peduli dengan keada’anku.

Kamipun kembali berjalan turun dengan posisi yang sama, Yudi paling depan dan aku paling belakang tapi, perkata’an mereka tadi itu hanya sebatas perkata’an, Yudi berjalan menuruni gunung dengan cepat dan disusul Dani, sedangkan aku hanya bisa berjalan pelan sambil menahan rasa nyeri di kaki kananku.

Tidak lama kemudian angin datang sangat kencang hingga aku kesulitan melihat jalan karena debu pasir yang berterbangan itu terlalu tebal menutupi pandanganku. Sambil sedikit memejamkan mata aku terus berjalan sambil melihat kebawah dan mengikuti jalan kuinjak, setelah beberapa meter berjalan syukurlah angin kencang itu sudah berhenti dan pandanganku sudah tidak terutup oleh debu dan pasir tapi, ada yang aneh dengan jalan yang kulewati ini, jalannya begitu sepi dan tidak ada jejak sepatu pendaki lain di bawah maupun diatas.

Tanpa ada fikiran lain aku terus berjalan tapi jalan yang kulalui ini semakin curam dan tidak ada tanda-tanda orang yang pernah melewatinya. Akupun terdiam sejenak, sambil menyalakan sebatang rokok aku duduk dengan tujuan menunggu pendaki lain yang lewat tapi sampai rokok yang kuhisap ini habis tidak ada pendaki satupun yang lewat. Aku mulai berfikir negatif,

“Apa jangan-jangan aku salah jalan?”.

Belum lama aku berfikir seperti itu angin kencang datang lagi, debu dan pasir pun membuat pandanganku hanya berjarak 1 meter. Disitu aku sudah pasrah,

“Apakah nasibku akan sama seperti nama orang-orang yang tertulis di petilasan”

Lalu dari atas aku melihat ada 1 orang pendaki wanita yang sedang berjalan turun. Melihat itu aku sedikit lega, karena setidaknya aku bisa bertemu dengan orang. Setelah orang itu mendekat aku dibuat sedikit kaget karena samar-samar sepertinya aku mengenali pendaki wanita itu.

Ternyata benar.. dia adalah pendaki wanita yang sakit di pos 4 kemarin dengan rambutnya yang berponi dan dicepol, tapi anehnya dia terlihat memakai baju serba putih dan wajahnya sangat pucat tapi tidak menghilangkan cantiknya.

Aku sedikit ketakutan melihatnya, karena setauku wanita itu sudah kembali turun bersama rombongannnya. Kemudian wanita itu bilang dengan suara yang lembut,

“Mas, dalan sampeya keliru, ndk ngarep kono iku jurang” (Mas, kamu salah jalan di depan sana adalah jurang)

Spontan aku melihat kearah bawah tapi tidak melihat apapun karena jarak pandangku kurang lebih hanya 1 meter tertutup debu dan pasir yang berterbangan. Lalu aku menoleh kearah wanita itu lagi dan dia mengulurkan tangannya sambil bilang,

“Ayo mlaku balik menduwur”. (Ayok jalan balik keatas)

Akupun meraih tangan wanita itu dan berjalan kembali keatas di tengah-tengah debu dan pasir yang berterbangan, sambil berjalan aku bertanya pada wanita itu,

“Kayaknya aku pernah liat mbaknya deh”.

Wanita itu tidak menjawab dan hanya menutupi hidungnya dari terpa’an debu dan pasir yang berterbangan. Akupun tidak melanjutkan pertanya’anku, tidak lama kemudian wanita itu melepaskan tanganku dan memintaku untuk berjalan di depan, aku pun menurutinya, setelah beberapa langkah debu dan pasir yang berterbangan itu sudah mereda dan aku melihat di atas ada banyak pendaki yang sedang berjalan turun dan salah satu dari mereka bilang padaku,

“Mas, jangan lewat situ bahaya disana jurang”.

Spontan aku menoleh kearah belakang dan wanita yang bersamaku tadi sudah tidak ada entah kemana perginya. Lalu aku berjalan sedikit naik untuk menghampiri pendaki yang bilang kepadaku tadi,

“Iya mas tadi anginnya kenceng banget jadi aku gak sengaja lewat jalur ini”.

Lalu aku berjalan mengikuti pendaki itu hingga akhirnya aku bertemu dengan kedua temanku yang ternyata mereka sudah menungguku di Cemoro tunggal.

Sesampai disitu mereka bertanya padaku,

“Lama banget bro, kakimu masih sakit?”

“Iya nih, nyeri banget kalau dipakai buat jalan”

Sebenarnya aku ingin bilang pada mereka kalau tadi aku sempat salah jalur tapi kurasa itu tidak penting, yang penting sekarang aku bisa bergabung dengan mereka berdua lagi.

Setelah cukup beristirahat di Cemoro tunggal kami kembali turun ke Kalimati, di perjalanan turun itu aku memikirkan tentang kejadian yang menimpaku barusan dan sesekali aku melihat beberapa petilasan yang tertancap di tanah sambil berfikir,

“Hampir aja nasibku sama seperti nama-nama yang ada di petilasan itu.”

Sesampai di Kalimati aku merebahkan badanku di depan tenda, sebenarnya aku ingin menceritakan tentang kejadian yang kualami barusan pada kedua temanku termasuk sosok wanita yang menolongku itu, tapi rasanya mereka tidak akan percaya karena itu susah untuk masuk akal manusia hingga akhirnya aku memilih untuk diam.

Setelah cukup rebahan kami memasak makanan dan kemudian kembali turun. Sambil berjalan turun aku menahan rasa nyeri di bagian kaki kananku, hingga aku menyeretnya karena aku tidak mampu kalau harus berjalan seperti biasa, beruntungnya kedua temanku peduli dengan keada’anku jadi sering kali kami berhenti untuk istirahat di sembarang tempat.

Sekitar pukul 4 sore akhirnya kami sampai kembali di Ranu kumbolo, sesampai disitu kami memutuskan untuk menginap semalam lagi, yaa itung-itung untuk istirahat agar besok kembali fit.

Sore itu suasana Ranu kumbolo sangat memanjakan mata, warna-warni tenda pendaki membuat danau ini semakin memanjakan mata. Ke’esokan harinya sekitar jam 8 pagi kami kembali turun.

Di perjalanan turun itu aku masih menahan rasa nyeri di bagian kaki kananku, sesampai di pos 4 aku teringat tentang pendaki wanita yang sudah menolongku kemarin,

“Apa benar itu adalah dia? Tapi kenapa bisa dia menolongku dan kenapa dia mengenakan baju serba putih?”.

Iseng-iseng aku bilang pada kedua temanku,

“Bro, cewek kemarin yang sakit disini gimana ya kabarnya?”. Dani menjawab,

“Udah tidur cantik dirumah kali bro, kenapa? Cantik ya?”

Mendengar kata-kata tidur cantik aku jadi berfikir,

“Apa jangan-jangan dia?”.

Tapi enggak lah, meskipun aku tidak tau namanya tapi dalam hati aku mendo’akannya semoga dia selalu diberi kesehatan oleh yang maha kuasa.

Kamipun lanjut berjalan turun hingga sampai kembali di Ranu pani sekitar jam 12 siang dan kami beranjak pulang ke Jombang.

Pendakian ini akan selalu terkenang sepanjang hidupku, sebuah perjalanan hidup dan mati. Mungkin sebagian orang akan mengira bahwa kedua temanku itu egois karena tidak memperdulikan keada’annku waktu itu tapi aku tidak menyalahkannya karena itu adalah Mahameru, orang-orang akan berjuang hidup untuk dirinya sendiri-sendir, disa’at kita kelelahan disa’at itu juga mereka mungkin lebih kelelahan dan kalaupun ada yang rela membantu ketika kita kelelahan kita berhutang budi banyak kepadanya.

~~~SEKIAN~~~

close