Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DIMENSI LAIN GUNUNG MERAPI - Berdasarkan Kisah Nyata (Part1)

Cerita ini berawal dari seorang pendaki di tahun 2015 yang beranama Edi. Ia mendaki ke gunung yg terkenal dengan gunung yg paling aktif di Indonesia. Yap, gunung Merapi. Cerita ini diceritakan dari sudut pandang Edi. Oke, gas langsung ke cerita..

Kala itu saat sedang libur panjang semesteran sekolah. Aku yang baru saja naik tingkat ke kelas 12 pun ikut menikmati libur panjangku.

Malam itu saat aku nongkrong di salah warung di dekat rumahku. Tiba-tiba Kosim sahabatku datang "ayo munggah Merapi sesok (ayo naik merapai besok)" ajak Kosim kepadaku. "Ha? Edan kowe sim, ngajak munggah gunung kok dadakan nemen. Karo sopo wae to?"

(Ha? Gila kau sim, ngajak mendaki kok dadakan. Sama siapa aja?) Tanyaku "Aku karo Ali (Aku sama Ali)" jawab Kosim. "Sesok aku mangkat isuk-isuk menyang Selo langsung munggah pasar bubrah (Besok aku berangkat pagi-pagi ke Selo langsung naik ke pasar bubrah" tambah kosim.

"Pancen edan nek lungo karo kowe ki, aku sesok ono gawean seko bapakku aku rak biso nek isuk-isuk. (Memang gila kalau pergi sama kamu, aku besok ada kerjaan dari bapakku. Aku gak bisa kalau pergi pagi-pagi"

"Ngene wae ed, kowe kan wes sering muncak tekan parak-parak, aku karo Ali tak munggah sek nyang pasar bubrah. Aku karo Ali camp ng kono njuk kowe nyusulo yo. "(Gini aja ed, kamu kan sudah sering mendaki sampai mana-mana, aku sama Ali naik duluan ke pasar bubrah.

Aku sama Ali camp disitu nanti kamu nyusul ya)" Sebenarnya ada rasa kurang enak saat mendengar ajakan Kosim, tapi entah setan apa yg merasukiku saat itu hingga akhirnya aku mengiyakan ajakannya.

Besoknya pagi-pagi Kosim memberi kabar lewat pesan hp jika ia dgn Ali sudah berangkat dari rumah. Aku yg sudah mengiyakan ajakannya pun berpikir bagaimana minta izin ke orang tuaku kalau mendadak begini. Kalau aku bilang mau ke merapi pasti tidak dibolehkan.

Akhirnya setelah selesai pekerjaanku aku menghampiri bapak ibuku yg masih ngobrol di teras depan rumah. Aku izin mau menginap dirumah temanku karena ada syukuran dirumahnya. Padahal mah faktanya aku mau naik ke Merapi.

"Pak, buk aku meh nang omahe Dika nang kono ono syukuran, ngko wengi aku nginep ng omahe (pak bu, aku mau ke rumah Dika disana ada syukuran, nanti malam aku nginep disana ya)" ucapku sambil gemeteran didalam hati.

"Adike bar sunatan pak, aku karo cah-cah liyane diundang dikon dolan nyang omahe melekan (Adiknya baru selesai khitanan pak, aku dan teman-teman lainnya diundang disuruh datang ke rumahnya melekan" Jawabku. Melekan = ngobrol hingga larut malam.

Saat itu aku mengerahkan seluruh, segenap jiwa ragaku, segala perkataan manis ku keluarkan berusaha agar aku diberi izin oleh orang tuaku. Saat izin sudah kudapat aku yang hanya bermodal tas ransel berisikan SB dan sedikit makanan pun aku berangkat.

Saat berangkat aku coba menghubungi Kosim dan Ali tapi ternyata hpnya sudah tidak aktif, mungkin mereka sudah mulai naik didalam hutan. Tepat jam 15.00 aku berangkat menuju Selo. Sesampainya di basecamp ternyata sepi hanya segelintir orang yang aku dapati.

Entah baru mau naik atau baru turun aku aku tak tau Selesai mengurus administrasi aku mulai jalan. Baru 15 menit jalan aku bertemu dengan warga lokal sana yang baru turun dari hutan namanya pak gun "Arep nang ndi le kok dewean? (mau kemana mas kok sendirian?)" tanya pak gun.

"Kula ajeng muncak pak, rencange kula sampun munggah disek ngentosi nang pasar bubrah (Aku mau muncak pak, temanku sudah naik duluan nunggu di pasar bubrah)" jawabku ke pak gun. "Ati-ati yo le, mengko nek nang ndalan ono sing ngajak opo-opo karo kowe, kowe ojo gelem ileng wae karo tujuanmu, mengko nek kowe nemu pasar nang nduwur tukunono rak ketang siji ati-ati ya le, nanti kalau dijalan ada orang yang ngajak kamu, kamu jangan turuti. Ingat aja dengan tujuanmu dan nanti jika kamu ketemu pasar diatas tolong dibeli walaupun hanya satu yang kamu beli)"

Aku yang bingung dengan perkataan pak gun hanya mengangguk karena aku merasa sudah pernah kesini dan tidak terjadi hal apapun. "Nggih pak gun, kula bakal ngati-ati. Maturnuwun nggih (Iya pak gun, aku akan hati-hati. Terimakasih)" jawabku.

Saat itu jam menunjukan pukul 17.00 dan aku baru memasuki are hutan. Tepat adzan maghrib aku tiba di pos satu, sampai sini belum kudapati pendaki lain. Benar-benar sejak tadi aku mendaki sendirian di gunung yang melegenda ini. Aku istirahat sebentar sembari minum air.

10 menit istirahat akupun melanjutkan perjalanan. Aku melanjutkan perjalanan dalam keadaan gelap malam hari ditemani lampu senter. Hiburanku dijalanan hanyalah musik yang kuputar lewat hp lawasku, inginku ngobrol sendiri untuk menyairkan suasana saat itu, tapi aku takut kalau tiba-tiba ada yang menjawab ditengah hutan seperti ini. Jadi aku hanya mengandalkan hp lawasku ini dan bernyanyi dalam hati sambil sesekali meliak-liukan pinggulku untuk berjoget menikmati alunan lagu haha.

Setengah perjalanan menuju pos 2 masih kulewati seorang diri, hingga akhirnya aku melihat ada pendaki perempuan istirahat ditepi jalur. Saat melihatnya nampak ia seorang diri tanpa ada pendaki lain yang menemani. Aku yang penasaran akhirnya mencoba menghampirinya

"Mbak darimana?" tanyaku. Dia diam tanpa menjawab. "Mbak sama siapa? teman-temannya dimana?" tanyaku lagi. Lagi-lagi ia hanya diam. Tampilannya tampak seperti pendaki pada umumnya, ia membawa daypack, jaket dan kupluk di kepalanya. Namun saat aku melihat wajahnya dengan lebih jelas nampak sekali wajahnya pucat dan bibirnya biru. Perasaanku mulai tidak karuan melihat nyadan rasa takutku seketika muncul. "Mbak aku duluan ya? nanti kalau ada temannya diatas aku panggilkan" ucapku kepadanya. Perempuan itu hanya diam dan mengangguk.

Agak jauh berjalan aku kembali menoleh kebelakang dan ternyata ternyata ternyata.. perempuan itu gak ada lagi disana. "Buset, marak endi wadon kui mau? cepet nemen ilange (buset, pergi kemana perempuan tadi? cepet banget hilangnya)" ucapku sendirian saat menyadari kejadian itu.

close