Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DIMENSI LAIN GUNUNG MERAPI - Berdasarkan Kisah Nyata (Part2)

Langkah kupercepat sedikit lari, gak peduli nafasku ngos-ngosan. Lelah hanya ku tahan karena pikiranku hanya cepat-cepat pergi jauh dari tempat itu. Sedikit lega saat sudah agak jauh dari tempat itu dan aku istirahat sebentar dengan keadaan musik yang masih menyala.

Saat itu aku masih ingat lagunya kangen Dewa-19. Dulu aku masih belum kenal siapa itu Fiersa Besari, belum tau lagunya fourtwenty. Saat kembali jalan aku mendengar suara burung yang sangat banyak didekatku, saat ku perhatikan tak nampak ada burung di sekitarku.

Aku terus berjalan ditemani riuhnya suara burung. Hingga akhirnya langkahku kembali tertahan lagi. Aku terkejut dengan apa yang aku lihat tepat didepanku. Aku melihat ada gubuk berdiri didepan sebelah kiri ditepi jalur. Gubuknya seperti umumnya gubuk di kampung-kampung.

Disitu nampak duduk seorang orang tua (laki-laki) berpakaian jawa seperti sedang menunggu di kawasan situ. Dengan ragu-ragu aku melangkah, gak mungkin juga aku kembali turun karena Kosim dan Ali sudah menunggu di atas.

Dengan hati-hati aku melangkah hingga sampai sedikit melewatinya dengan terkejut orang tua itu memanggilku. Bulu kuduku disepanjang tangan berdiri saat mendengar suara itu. Suaranya pelan tapi terdengar saat besar "Arep nang ndi le? seko ngendi asalmu? meh opo kowe nang kene? (mau kemana le? darimana asalmu? mau apa kamu kemari?)" tanya orang tua itu. Aku yang saat itu masih ketakutan gak berani sedikitpun menjawabnya, bahkan melihat menoleh ke arahnya pun tidak.

Saat itu aku sangat berharap ada pendaki yang datang. Dengan tetap diam aku terus melangkah pelan-pelan. Namun ternyata orang tua itu kembali memanggilku dengan suara keras "Le opo kowe rak krungu karo pitakonanku? Mreneo (Le, apa kamu tak mendengar pertanyaanku? Kesinilah" ucap orang tua itu.

Jantungku berdetak kencang, keringat mengalir deras diantara dahi. Sampai-sampai aku merasakan keringat mengalir didalam bajuku. Bulu kuduku masih berdiri karena saking ketakutannya aku saat itu. Bayangkan saja aku menemukan hal-hal aneh sedari tadi dan aku mendaki seorang diri.

Dengan mengumpulkan sedikit-sedikit keberanianku, aku memutuskan menghampiri orang tua itu daripada ada hal-hal buruk terjadi saat aku memilih melanjutkan perjalananku. Aku berdiri di dekat gubuk itu dengan kepala menunduk, tak sedikitpun keberanianku untuk melihat wajahnya.

Dia kembali memberiku pertanyaan yang sama "Arep nang ndi le? seko ngendi asalmu? meh opo kowe nang kene? (mau kemana le? darimana asalmu? mau apa kamu kemari?)", dengan tertatih aku menjawab "kula ajeng melampah mendaki dateng pasar bubrah (gunung merapi), dateng mriku kula sampun dientosi rencang-rencange kula, kula saking kuto ******** .

Kula namung ajeng mendaki dateng mriki mboten macem-macem (aku mau jalan mendaki ke pasar bubrah (gunung merapi. Panjenengan sinten nggih?), disana aku sudah ditunggu teman-temanku, aku dari kota ******** .

Aku hanya ingin mendaki disini tidak macam-macam. Anda siapa ya?" jawabku sambil bertanya. "Kowe ra perlu ngerti sopo aku, omahku nang merapi kene, suoro manuk sing mau mbok rungoake mau kabeh bangsaku, nek kowe macem-macem nang kene. Entek kowe le" (kamu tidak perlu tau siapa aku, rumahku disini, suara burung yang kamu dengarkan tadi semua adalah bangsaku, kalau kamu macem-macem disini. Habis kamu)" jawab orang tua itu dengan nada sedikit tinggi.

Detak jantungku bertambah kencang, seakan-akan aku ingin langsung lari dari sini. Tapi apa jadinya nanti kalau aku tiba-tiba lari darisni. Aku disitu berdoa sekuat hati sebisaku, semua doa yang kubisa ku ucapkan dalam hati agar lekas terbebas dari situasi ini.

Sejak dari sini aku memberanikan melihat wajahnya. Wajahnya selayaknya manusia tidak ada tanda-tanda seperti setan yang biasanya aku lihat di film-film hanya saja wajahnya nampak sangat bersih. "Kowe arep opo saiki le? arep melu aku nang kene opo nang ndi?" tanya orang tua itu lagi "Kula ajeng mlampah mawon, nyusul rencang-rencange kula dateng pasar bubrah, kula pamit nggih? (aku mau jalan saja nyusul teman-temanku di pasar bubrah, aku minta izin jalan lagi)" jawabku. "Kowe oleh lanjut meneh le, nanging ono syarate (kamu boleh lanjut, tapi ada syaratnya)" jawab orang tua itu. Spontan aku bertanya apa syaratnya. Syaratnya.....

"Syarate nek kowe pengen selamet, kowe ojo noleh mburi sakurunge tekan watu kae, pokoe ojo ndelok mburi (Syaratnya kalau kamu pengen selamat, kamu jangan melihat kebelakang, apapun yang terjadi jangan melihat kebelakang)" ucap orang tua itu.

Aku yang mendengar ucapannya itu mengangguk dan hanya mengiyakan karena yang aku pikirkan aku ingin segera pergi dari sini. Selepasnya aku kembali berjalan dengan tanpa melihat kebelakang. Saat mulai berjalan punggungku terasa sangat berat seperti ada yang menahan.

Aku berhenti sebentar memegang bahuku, terasa tidak apa-apa selain tas yang menempel di bahu dan punggungku. Aku kembali berjalan tapi sialnya malah semakin berat beban dipunggungku. "Ed, Edi" , aku mendengar ada suara memanggilku. Suara itu terus memanggil, suaranya mirip suara kosim, "tapi kan kosim sudah mendaki duluan? kok ia memanggilku dibelakang?" pikirku dalam hati.

Tiba-tiba aku ingat pesan orang tua tadi jika aku ingin selamat aku dilarang melihat belakang. Aku putuskan terus melangkah keatas tanpa menghiraukan suara panggilan itu. Punggungku masih terasa berat tapi aku terus berusaha bergerak minimal sampai dibatu yang dimaksud orang tua tadi "Ed, Edi tolong aku (Ed, edi tolong aku)" suara itu terdengar semakin keras seakan-akan memang sedang terjadi apa-apa dibelakangku. Lagi-lagi aku kudu tetap melihat kedepan, aku buru-buru mempercepat langkahku agar tiba di batu besar yang dimaksud.

Hingga akhirnya aku sampai di batu yang dimaksudkan oleh orang tua itu, sesampainya disitu aku melangkah sedikit melewati batu itu dan aku melihat ke belakang. Betapa terkejutnya aku, aku tidak percaya dengan apa yang mataku lihat.

Saat melihat ke belakang yang kulihat hanyalah jurang yang sangat dalam dan kakiku berdiri tepat dibibir jurang. Batu yang dimaksudkan orang tua tadi yang menjadi perbatasan antara jurang dengan tanah tempatku berdiri. Aku bertanya-tanya dalam hati. Sebenarnya jalan apa yang kulewati tadi? Siapa orang tua yang ku temui tadi? siapa suara yang memanggilku tadi? Semuanya tidak sampai jika dipikir dengan akal dan logika. Bagaimana tidak? Bagaimana caranya aku bisa sampai di jurang itu? Aku berdiam diri cukup lama memikirkan itu. Aku terus berdoa dengan doa yang kubisa. Aku ingin melanjutkan perjalanan tapi aku bingung mau kemana kakiku melangkah? Jalan yang kukira jalur pendakian ternyata malah membawaku ke tempat seperti ini. Didepanku yang kulihat hanyalah semak-semak, aku ingin berjalan tapi takut langkahku salah. Yang ku ingat hanyalah kalau aku sudah melewati pos 1. Malam itu pukul 21.00, tanpa kusadari ternyata hp lawasku sudah mati.

close