Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DIMENSI LAIN GUNUNG MERAPI - Berdasarkan Kisah Nyata (Part4)

Kami yang sedang ngobrol tiba-tiba dikagetkan dengan tali tenda kami seperti ada yang menyenggol. Tidak cukup disitu, tenda kami dari belakang seperi ada yang meraba-raba, saat kami perhatikan nampak jelas dari dalam tenda yang meraba tangan yang entah tangan siapa.

Benar-benar tenda kami saat itu seperti berdiri ditengah keramaian. Firasatku aku harus menjalankan pesan dari pak gun agar semua ini cepat pergi. Aku memberanikan diri mengajak Ali dan Kosim keluar tenda untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.

"Emoh aku rak wani (Tidak, aku gak berani)" jawab Kosim. "Ngene lho sim, li. Awake dewe dongo wae InsyaAllah ora bakal ono opo-opo. Iki nek awake dewe ora metu kayae bakal terus entuk gangguan koyo ngene".

Gini lho sim, li. Kita berdoa saja insyaAllah tidak akan terjadi apa-apa. Ini kita kalau tidak keluar sepertinya akan terus diganggu)" ucapku dengan menjelaskan.

"Percoyono karo aku, aku entuk pesen koyo ngono seko pak gun. Firasatku aku kudu ngelakoni pituturane pak gun ben ora ono opo-opo (percayalah denganku, aku dapat pesan seperti itu dari pak gun.

Firasatku aku harus melakukan dari apa yang dipesankan pak gun agar tidak terjadi apa-apa)" tambahku Ali dan Kosim hanya diam mendengar ucapanku.

"Yowes tapi kowe sek yo sing ngarep (yaudah, tapi kamu duluan yang depan)" ucap Ali. Aku yang mendengar ucapannya langsung bergegas membuka tenda. Tenda kami buka, kami disambut dengan dinginnya kabut malam.

Sembribit angin kurasakan di malam entah pagi yang mencekam ini. Aku lihat jam, jam menunjukan pukul 03.20 artinya baru 1 jam yang lalu kami tidur. Akhirnya kami bertiga keluar tenda bersama-sama dengan membawa lampu senter yang kami bawa.

"Iki aku ora ngimpi? iki panggonan opo kok ono pasar tekan nduwur gunung ngene? (ini aku tidak mimpi? ini tempat apa kok ada pasar di atas gunung seperti ini?" tanya Ali yang kaget dengan apa yang dilihat dengan matanya

Aku hanya diam dan tidak menjawab, saat aku melihat kosim ia nampak sekali ketakutan. Aku memperhatikan semua keadaan saat itu, banyak sekali yang berjualan dan orang-orang didalamnya mengenakan pakaian orang desa jaman dulu.

Aku tidak percaya dengan semua ini, rasa-rasanya tidak nalar jika ada pasar tumpah diatas gunung seperti ini.

Herannya aku juga melihat beberapa tenda pendaki yang berdiri diantara pasar ini. Aku bertanya-tanya sendiri didalam hati apakah semua pendaki itu tidak menyadari hadirnya pasar ini dan ditengah malam bolong seperti ini?

Ah sudahlah aku harus fokus menjalankan pesan pak gun dengan cepat dan langsung masuk ke dalam tenda lagi. Aku masih memperhatikan keadaan, kali ini aku memperhatikan barang apa yang dijual disini. Yang dijual semuanya normal selayaknya pasar yang ada di kota dan di desa-desa.

Tapi pandanganku dialihkan dengan salah satu lapak yang dijaga seorang nenek-nenek, disana menjual daging segar. Saat ku lihat seksama nampak daging berbentuk tangan dan kaki seperti kaki tangan manusia. Sontak aku beristigfar melihat itu.

Tidak mungkin aku akan beli daging dagangan nenek itu. Aku memilih tujuan lapak mana yang akan kuhampiri dan kubeli. Diujung pasar aku melihat lapak menjual sembako, aku memutuskan kesana. "Ikuti aku" ucapku kepada Ali dan Kosim.

"Bismillahirrahmanirrahim, Gusti Allah Kang Maha Agung lindungi kami Semua" Pelan-pelan aku melangkah melewati tengah-tengah pasar situ. Kami bertiga saling diam tanpa mengeluarkan kata-kata

Aku perhatikan lagi lebih dekat orang-orang disana. Wajah mereka pucat seperti wajah pendaki perempuan yang kutemui di atas pos satu. Ali dan Edi masih mengikuti di belakangku.

Akhirnya aku sampai di lapak yang aku tuju disitu yang jual anak-anak laki-laki jika kuperkirakan berusia 12 tahun. "Tumbas nopo mas? (beli apa mas?)" tanya anak itu. Ia berbicara dengan nada lemas dan raut mukanya yang datar menyeramkan.

Aku menelan ludahku sendiri saat melihatnya. Aku terus berdoa dalam hati. Aku melihat-lihat apa yang bisa kubeli, disitu ada mie instan, air mineral dan makanan lainnya.

Dengan cepat aku memutuskan mie instan yang akan ku beli. "Niki pinten dek? (ini berapa dek)?" tanyaku sambil menunjuk mie instan. "3000 mas" jawabnya lagi "Kula tumbas kaleh nggih dek (aku beli dua ya dek)" jawabku Saat hendak bayar aku lupa kalau uangku didalam tas yang ada di tenda.

"He kowe ono gowo duit 6000 gak? (kalian ada yang bawa uang 6000 gak?)" tanyaku ke Ali dan Kosim. Syukurlah Ali membawa uang dan langsung ku serahkan ke adik-adik penjualnya.

Saat menyerahkan uang tak sengaja tanganku menyentuh sedikit tangannya, aku merasakan tangannya dingin dan jika aku lihat tangannya lebam seperti bekas luka. "Maturnuwun nggih mas (Terimakasih mas)" ucap adik itu. Lagi-lagi dia mengucapkannya dengan wajah seramnya itu.

"Sami-sami dek (sama-sama dek)" jawabku Aku sudah membeli barang dari pasar ini dan sekarang aku harus lekas kembali ke dalam tenda. Kami bertiga berbalik untuk kembali ke tenda.

Kami bertiga terkejut banyak orang-orang diantara mereka yang memperhatikan kami bertiga. "Pie iki nasibe dewe? (gimana ini nasib kita)" tanya Ali dengan ketakutan.

"Ndongomu kabeh ojo pedot. Wes ayo mlaku wae, awak dewe nunduk amit-amit (doa kalian jangan putus, sudah ayo jalan aja, kita nunduk aja) nunduk amit-amit = tata krama orang jawa jika berjalan didepan orang tua atau didepan orang yang kita hormati.

Aku mulai melangkah diikuti Ali dan Kosim bersampingan dibelakangku. Tak sedikitpun aku menoleh kanan kiri, aku hanya fokus melihat kebawah menunduk dan sedikit membungkukkan badan sambil berjalan.

Suara gamelan yang kami dengar sejak di tenda masih menggema sampai sekarang, kabut yang menyelimuti pasar ini juga masih ada hingga sekarang. Benar-benar malam itu aku merasa ada di alam lain yang entah alam apa.

Saat hampir sampai tenda langkahku terhenti. Aku melihat sosok hitam besar yang aku lihat saat tersesat semalam. Sosok itu memperhatikan kami dengan mata merahnya yang menyala. Tak henti-hentinya aku melantunkan doa yang kubisa didalam hati.

Saat tiba didepan tenda Ali dan Kosik mendahuluiku masuk ke dalam tenda. "Bocah sialan" ucapku ke mereka Perlahan aku masuk ke dalam tenda agar lekas lepas dari situasi ini.

"Astagfirullahaladzim, astagfirullahaladzim". Aku mendengar Kosim tak henti-hentinya beristigfar Aku melihat Ali langsung minum didalam tenda. Kami bertiga masih belum percaya dengan apa yang kami lihat tadi diluar tenda.

Mie instan yang kubeli barusan, aku simpan didalam tas dan kuberi tanda agar tak tertukar saat aku akan memasaknya pagi nanti.

Jam menunjukan pukul 04.00 suara gamelan dan gemuruh keramaian masih menyertai kami bertiga. Hingga akhirnya kami mendengar lantunan adzan subuh yang mungkin dari pemukiman bawah.

Perlahan suara gamelan dan suara gemuruh keramaian hilang, kami bersyukur saat keadaan kembali normal. Kami cepat-cepat bersiap shalat sama-sama didalam tenda Setelah shalat kami berusaha tidur lagi.

Dalam tidurku aku bermimpi didatangi seorang kakek-kakek memakai jubah putih. Disitu ia mengatakan ingin menuntunku, ia berpesan dan memintaku lekas turun sebelum gelap tiba.

Jam 8.00 aku bangun, ku lihat pintu tenda sudah terbuka. Ternyata Ali dan Kosim sedang masak di depan tenda. Pagi itu kami lewati selayaknya pendaki pada umumnya.

"Summit gak?" tanya Kosim. "Wis rak usah, medun wae yo (sudah gak usah, turun aja ya)" ajakku. "Iyo medun wae yo sim (iya turun aja ya sim)" jawab Ali yang juga minta langsung turun.

"Yowis awak dewe medun wae , firasatku yo rak enak (yasudah kita turun aja, firasatku tidak enak) ucap Kosim. Aku lega saat Ali dan Kosim satu suara denganku untuk langsung turun gunung setelah ini.

Kami membuat susu hangat, masak mie instan dan sosis pagi itu. "Mie sing ndek mau tuku pie ed (mie yang tadi beli gimana ed?)" tanya Ali menanyakan mie instan yg kami beli di pasar tadi.

"Gak usah dimasak, tak gowo medun wae aku wedi nek ono opo-opo nek awak dewe mangan mie kui (gak usah dimasak, aku bawa turun aja. Aku takut ada apa-apa jika kita memakannya)" jawabku.

Selesai makan kami langsung packing bersiap turun. Aku lihat beberapa pendaki summit ke puncak dan ada yang hanya di tenda. Aku bingung dan menyimpan tanya dengan kejadian semalam. Apakah pendaki yang lain juga merasakan kejadian yang kami alami semalam.

Sebelum turun gunung kami bertiga berdoa bersama. Saat turun aku paling depan sementara Kosim di paling belakang dan Ali di tengah.

Kami turun dengan sangat hati-hati setelah banyak hal-hal terjadi menimpa kami. Semua kembali normal.

Rasa-rasanya setelah kejadian semalaman sejak aku yang disesatkan hingga kejadian pasar semalam aku menjadi peka dengan keberadaan-keberadaan makhluk gaib disekitarku.

Saat memasuki pos satu kami disambut dengan bau busuk hingga Kosim hampir muntah karena saking busuknya bau itu.

"Ambu opo iki? (bau apa ini?)" tanya Ali. Aku coba cek keadaan sekitar ternyata ada setan berkuncung yang berdiri dantara semak-semak siang-siang bolong seperti ini.

"Ngati-ngati, deloken kae ono pocong ngadek nang kono. Pantes wae mambu ngene (hati-hati, lihat itu ada pocong berdiri disana. pantas aja bau gini)" ucapku sambil menunjuk ke arah semak-semak.

Wajahnya hitam gosong, ada nanah mengalir disekitar wajahnya. Aneh sekali ada setan siang-siang seperti ini.

Oiya lupa, aku turun gunung jam 10.00 . Saat turun kami hanya menemui 2 rombongan pendaki diantara pos satu dan pos dua.

Singkat cerita kami tiba di basecamp pendakian. Kami merebahkan badan beristirahat. Kami bersyukur karena sudah tiba di basecamp dengan selamat.

Kami tiba dibawah kurang lebih pukul 14.00. Aku langsung mandi membersihkan badan Selesai mandi aku lihat ada yang berbeda dengan Kosim.

Aku lihat Kosim duduk diluar ditepi jalan, tatapannya tak lepas dari Merapi. Saat ku panggil ia tak sedikitpun menoleh "Sim, kowe kenopo? (sim kamu kenapa?)" tanyaku sambil menghampiri dan menepuk pundaknya.

"Aku diparani cah cilik sing nang pasar mau ed, aku dijak dolan rono meneh (aku didatangi anak kecil yang di pasar tadi ed, aku diajak main kesana lagi)" jawab Kosim Aku terkejut dengan jawaban Kosim.

Saat itu juga aku ajak Kosim kedalam lagi, aku minta Ali dan Kosim segera berkemas dan pulang ke rumah.

Rencanaku seharusnya aku ingin makan dulu di basecamp sebelum pulang pun pupus mengingat kondisi Kosim barusan.

Singkat cerita kami sampai di rumah kami masing-masing dengan selamat. Esok paginya badanku terasa kurang sehat, seluruh badanku panas. Aku deman tinggi dan muntah-muntah. Saat aku ke dokter katanya hanya sakit biasa karena kelelahan.

Aku berinisiatif memastikan keadaan Ali dan Kosim. Ternyata mereka juga merasakan hal yang sama sepertiku. Mereka berdua sakit panas, demam tinggi. Mungkin kalau kata orang jawa "Sawanen".

Yang kutau Sawanen adalah reaksi tubuh setelah ketemu hal-hal gaib. Biasanya orang tsb akan jatuh sakit.

Kami bertiga saling berkomunikasi lewat pesan di hp. Kami saling memberi saran selain menggunakan obat, agar setelah ini kami perbanyak lagi ibadah dan berdoa agar badan kami lekas sehat.

Beberapa hari setelahnya kami bertiga kembali sehat dan aktifitas seperti biasanya.

Pesan yang bisa penulis sampaikan adalah selain fisik, mental adalah hal utama dalam mendaki. Sekuat apapun fisikmu jika mendaki tidak disertai dengan mental kalian tidak akan tau apa yang akan dilakukan jika menemui hal-hal yang diluar nalar.

Percaya kepada Allah SWT adalah hal yang utama, beribadah dimanapun kita berada sudah menjadi kewajiban. Dan berdoa adalah cara manusia berkomunikasi dengan penciptanya.

Saat di gunung : Jangan lepas dari Allah SWT Jangan lalai dalam beribadah Dan jangan berhenti dalam berdoa Jika semua itu sudah kita genggam insyaAllah kita akan dilindungi dimanapun kita berada.

Aku yang sebelumnya belum pernah dihadapkan dengan masalah seperti ini hanya bisa menjadikan ini semua pelajaran agar aku semakin didekatkan dengan Sang Kuasa. Ingat. Setinggi apapun kita berdiri, kita harus tetap bersifat tanah. 
------TAMAT------

close