Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kisah Pendaki TERSESAT di Gunung Argopuro (Part 1)

Perjalanan, seperti apapun rupanya, tentu membahagiakan. Bahkan ketika salah memilih jalan, kehabisan makanan, terlambat pulang, dan terpaksa harus membuat repot banyak orang. 

Minggu malam di penghujung April, kaki saya yang gemetaran karena lelah berjalan terperosok masuk jurang. Pandangan pun mulai gelap. Tangan kiri saya reflek menyambar rimbun dedaunan dengan trekking pole masih tergenggam erat di tangan kanan. Kematian terasa dekat waktu itu. 

Beruntung seorang rekan mendaki bernama Rezza dan memang hanya ada satu orang rekan mendaki yang berada sekitar tiga meter di depan langsung berbalik badan dan menarik badan saya yang setengahnya masih mendarat di jalur pendakian. Saya batal masuk jurang. 

Dua hari sebelum malam itu, tepatnya Kamis 23 April 2015, kami tiba di Desa Baderan, kecamatan Sumbermalang, kabupaten Situbondo pukul 16.00. 

Baderan adalah salah satu pintu masuk ke kawasan Gunung Argopuro, gunung dengan ketinggian 3.088 meter.   

Ojek yang membawa kami dari  Besuki, mengantarkan tepat di depan pintu basecamp pendakian. Seorang lelaki bernama Samhaji menyambut kedatangan kami. 

Lewat telepon genggam yang diletakkannya di jendela dapur karena sinyal cuma ada di sekitaran jendela itu Samhaji menghubungi atasannya yang bernama Susiono, Kepala Resort Konservasi Yang Timur. 

“Ada dua pendaki ini, Pak,” lapornya dengan aksen khas Madura.

Samhaji sempat menawarkan jasa ranger karena melihat kami cuma berdua. Tapi tawaran itu kami tolak. Selain karena alasan penghematan, naik gunung dengan ranger juga semacam menjadi manja.

Akhirnya Samhaji dan atasannya setuju kalau kami naik hanya berdua. Dia juga sedikit menjelaskan medan dan perkiraan waktu tempuh. Cerita soal jalur ke Cisentor yang sering membuat pendaki nyasar ke arah Jember pun tidak alpa dari ceritanya. 

Sore itu, kami sama sekali tidak membayangkan kalau kelak, di akhir cerita, kehadiran kami di basecamp Baderan ini akan menjadi cerita yang termanipulasi.

---------------
BERMALAM DI BADERA
---------------------‐---------

Karena sudah terlalu sore untuk memulai pendakian, kami memutuskan menginap semalam di Basecamp Baderan. Sebelum istirahat, kami kembali ke ruangan Samhaji guna menyelesaikan pembayaran karcis masuk Argopuro. 

Sesuai ketentuan dalam banner yang terpajang di ruangan itu, untuk kepentingan pendakian, setiap pendaki dikenakan Rp20.000 per hari. Itu artinya, untuk pendakian selama empat hari, kami berdua harus membayar Rp160.000. Tetapi Samhaji menyatakan dia memberi diskon, jadilah kami hanya membayar Rp140.000. 

Sekitar pukul 12 malam, enam orang pendaki yang semuanya lelaki tiba dan menginap bersama kami di basecamp. 

Sekitar satu atau dua jam setelah itu, sebuah mobil sedan masuk ke pekarangan basecamp. Jumat pagi, ketika pamit untuk mendaki, saya ketahui bahwa mobil itu milik Susiono, atasan Samhaji. 

“Hati-hati ya!” ujar Susiono saat saya menjabat tangannya untuk pamit pada pukul 6 pagi. 

Karena waktu pendakian yang kami miliki tidak cukup panjang, kami memulai pendakian lebih pagi dari enam kawan pendaki yang datang belakangan. Mereka akan mulai mendaki pukul 10. “Sampai ketemu di Cikasur,” kata saya. 

Cikasur adalah padang sabana luas yang biasa dijadikan tempat ­nge-camp para pendaki. Di sana ada sungai dan selada air yang rasanya serupa bayam jika ditumis.

-----------
TAPAK SEPATU MULAI MENGELUPAS
-------------------------

Untuk menghemat waktu, kami pun menggunakan jasa ojek dari basecamp sampai ke hutan. Kalau jalan kaki, waktu tempuh sekitar 3 jam. Dengan sepeda motor, kami menghemat 2,5 jam.

Dengan membayar Rp 35.000 per orang, Samhaji dan seorang rekannya mengantarkan kami. Jalur bebatuan bersanding jurang dilalui dengan motor bebek tanpa pengamanan membuat saya beberapa kali menahan napas karena ketakutan. 

“Ini ban motornya udah diganti yang khusus buat off road ya pak?” tanya saya pada Samhaji yang membonceng saya.

“Enggak, ban biasa aja,” jawabnya. Saya makin ketakutan. Rasa takut yang berhasil saya kaburkan dengan tertawa.

Sekitar pukul 6.45, kami mulai berjalan. Menurut Samhaji, untuk tiba di Mata Air Satu, kami butuh berjalan empat jam. Tetapi karena kecepatan berjalan saya yang cukup lamban, kami baru tiba di Mata Air Satu pukul 13.00. Di sini tapak sepatu sebelah kiri saya mulai lepas. 

Sembari Rezza mengisi persediaan air, saya menyiapkan makan siang. Ikan sarden dan nasi jagung pemberian Samhaji  jadi menu makan siang kami. Selesai makan dan mengelem tapak sepatu, kami lanjutkan perjalanan ke Mata Air Dua.  Menurut Samhaji, waktu tempuh antara Mata Air Satu dan Dua hanya dua jam. Namun lagi-lagi, kami baru tiba di Mata Air Dua pukul 17.00, dan lem yang saya oleskan ke tapak sepatu yang lepas tidak cukup kuat. Di Mata Air Dua, saya kembali mengoleskan lem di tapak sepatu, agar tetap bisa berjalan.

Kami sempat bertemu seorang petani di sini dan bertanya seberapa jauh Cikasur dari Mata Air Dua. “Dua jam,” katanya.

--------------------
TAK  SAMPAI PUNCAK
-------------------------------

Lalu saya perhatikan cara ia berjalan. Dia tidak berjalan, tetapi berlari. Prediksi saya, kami masih butuh empat jam untuk sampai ke Cikasur. Hari mulai gelap dan gerimis, kami melanjutkan perjalanan dengan jas hujan dan senter. Tebalnya kabut membuat jarak pandang sangat pendek. 

Sampai pukul 20.00, hujan belum berhenti dan kami belum sampai di Cikasur. Melihat kondisi saya yang melemah, Rezza menawarkan untuk mendirikan tenda, istirahat, dan melanjutkan perjalanan keesokan paginya. 

Kami mulai berjalan pukul 10 pagi dan baru tiba di Cikasur jam 14.00. Kecepatan berjalan saya yang tidak cepat semakin melambat. 

Di Cikasur kami sempat bertemu tiga orang pendaki yang memutuskan berbalik arah ke Baderan karena gagal mencapai Cisentor, tujuan kami setelah Cikasur. 

 Pukul 22.00, kami tiba di Cisentor. Tidak ada pendaki yang sedang bermalam di sana. Hanya ada kami. Perjalanan ke puncak pun kami batalkan mengingat tiket pulang ke Jakarta yang sudah dibeli dan jadwal cuti yang hanya empat hari.

------------
NYARIS MASUK JURANG
--------------------------

Usai bermalam di Cisentor, kami melanjutkan perjalanan ke Danau Taman Hidup untuk kemudian turun lewat Desa Bremi. Jalur Cisentor-Danau Taman Hidup terbilang cukup sadis. 

Cukup banyak tanjakan dan ilalang yang tingginya melewati kepala. Sebagian jalur juga berada tepat di tepi jurang. Sepatu saya yang tapaknya sempat lepas sudah tidak bisa diselamatkan. 

Rezza pun memutuskan meminjamkan sepatunya pada saya sementara dia menggunakan sandal jepit. 

Dalam perjalanan inilah saya nyaris masuk jurang. Saat itu saya sama sekali tidak berpikir bahwa nantinya, akan ada lagi kejadian yang lebih mendebarkan dari ini. 

Karena belum juga tiba di Danau Taman Hidup sampai jam 19.00, tenda pun kami dirikan di jalur yang agak lapang dan melanjutkan perjalanan keesokan paginya. Kami berhasil menginjakkan kaki di Danau Taman Hidup pukul 11 siang hari Senin.

Ada empat orang warga yang sedang memancing di danau yang sempat kami ajak berbincang waktu itu. Menurut mereka, perjalanan ke desa Bremi hanya sekitar 2,5 jam lagi. Ya, kami memang tidak naik dan turun dari desa yang sama. Kami naik dari Baderan dan memutuskan turun lewat Bremi. 

-------------
SALAH JALAN, TERJATUH, HINGGA TERJUNGKAL
-------------------

Tepat pukul 12 siang, kami melanjutkan perjalanan. Lalu tiba di perempatan dan salah memilih jalan. Pemilihan jalan yang ternyata salah itu kami lalui dengan sejumlah argumentasi logis. 

Saya memilih jalan yang benar menuju desa Bremi, Rezza memilih jalur yang lain. Dia menyusuri jalur yang salah itu beberapa meter dan melihat tanda-tanda ikatan pita, khas tanda pada jalur pendakian yang sebelumnya kami lewati. Atas fakta itu, saya percaya kalau jalur yang dipilih rekan saya adalah benar. 

Jalur itu diawali dengan tanjakan beberapa ratus meter. Selanjutnya, medan yang kami hadapi adalah turunan cukup terjal. Hujan yang ikut mengguyur membuat saya beberapa kali terpeleset, terjatuh, terperosok, hingga terjungkal. Entah berapa kali saya menangis kesakitan. 

Setelah sekitar dua jam berjalan, kami menyadari bahwa jalur yang kami lalui bukanlah jalur yang biasa dilewati pendaki. Dari beberapa catatan perjalanan pendaki Argopuro yang dibaca rekan saya, disebutkan kalau jalur dari taman hidup ke desa cukup landai.

Sementara medan yang sedang kami hadapi jelas tidak landai.  Kami kemudian berpikir kalau kami sedang melewati jalur berbeda dengan tujuan yang sama. Terlebih ketika kami mendengar dentuman musik dangdut. Asumsi kami musik itu tentu berasal dari desa, dan karena musik itu terdengar, artinya desa tidak jauh lagi. Kami memutuskan melanjutkan perjalanan.

---------------------
TERSESAT DAN KEHABISAN BEKAL MAKANAN
--------------------------------

Setelah lima jam berjalan dan merosot, tidak ada tanda-tanda akan keberadaan desa. Jalur yang kami lalui terhadang sungai. Tetapi sungai itu bisa disebrangi, dan ada jalur di seberang sungai. Kami pun mengikuti jalur itu. 

Sekitar satu jam berjalan dari sungai, hari mulai gelap. Rekan saya mulai ragu dan menyesal telah memilih jalur yang salah. Saya yakin jalur itu akan berujung di desa, sementara dia tidak. Kami lalu memutuskan kembali ke pinggir sungai dan mendirikan tenda. 

Saat itu makanan yang tersisa hanya satu bungkus mi instan, gula, mentega, meses, beras, dan beberapa bungkus kopi instan. Tetapi sayang, kami kehabisan bahan bakar. 

Hujan yang terus mengguyur juga menjadikan kayu dan ranting sulit dibakar. Sebungkus mi instan dan air sungai dingin pun terasa nikmat waktu itu. Kami juga membuat air gula untuk menambah tenaga. 

Kaki Rezza yang hanya memakai sandal jepit tampak luka-luka. Belum lagi beberapa ekor pacet dan lintah yang menempel di kakinya membuat darah tampak ada di mana-mana. Beberapa luka yang tampak cukup lebar, saya bersihkan dengan antiseptik yang kemudian ditutupi kasa. 

Malam itu Rezza tampak pulas sementara saya kesulitan tidur. Saya terus-terusan berpikir apa yang harus kami lakukan esok pagi. Pilihannya ada dua, melanjutkan perjalanan menyeberangi sungai, atau kembali ke perempatan tempat kami salah memilih jalur. 

Saya agak berat hati untuk kembali ke atas. Persoalannya adalah kami sudah kehabisan bekal dan tenaga. Kalau jalur turun saja kami menghabiskan lima jam, saya perkirakan kami butuh delapan jam untuk kembali ke perempatan. Delapan jam dengan tanjakan terjal tanpa makanan. 

Tetapi memilih untuk melanjutkan perjalanan menyeberangi sungai juga seperti berjudi. Kami tidak tahu ujung dari jalur itu. Kami tidak tahu berapa lama sampai di desa, itu pun kalau memang benar jalur itu menuju desa.

close