Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kisah Pendaki TERSESAT di Gunung Argopuro (Part 2)


Bermimpi Ketemu Seorang Nenek 
Seorang nenek dan anak kecil tiba-tiba turun dari jalur yang kami lalui siang tadi. Saya lalu bertanya kemana tujuan mereka. “Ke desa,” jawab si nenek. 

Saya sumringah dan langsung menanyakan arah. Si nenek dan anak kecil yang kelihatan seperti cucunya itu tampak menyeberangi sungai. “Desa tidak jauh dari sini,” teriaknya. 

Saya terbangun, dan entah kenapa merasa lega. Sosok nenek dan anak kecil itu berasal dari mimpi saya. Mereka tidak nyata. 

Pagi harinya, saya ceritakan mimpi itu. Saya sendiri tidak yakin, apakah itu semacam petunjuk yang benar, atau malah menyesatkan.

“Ikuti aja yuk, kali aja itu petunjuk dari Tuhan, lewat mimpi kamu,” kata Rezza. Saya setuju, dan kami memilih kembali menyeberangi sungai. 

Beberapa baju basah yang kami pakai dalam perjalanan kami tinggalkan di pinggir sungai untuk mengurangi beban. Saya juga mengirim pesan ke salah satu grup whats app, meminta mereka menghubungi saya begitu membaca pesan itu. Saat itu tidak ada sinyal. 

Hari itu sebenarnya saya dan Rezza sudah harus masuk kerja dan mengais berita untuk Harian Bisnis Indonesia. 

Agar tidak menimbulkan kebingungan di kantor, saya sempatkan mengirim pesan pada redaktur saya, menjelaskan dengan sangat singkat apa yang terjadi. 

Sekitar dua jam berjalan, jalur yang kami lewati semakin tidak jelas karena longsor. Saya terpaksa merangkak di beberapa titik. Rekan saya kembali ragu. Tiba-tiba ponsel saya berbunyi, ada pesan masuk.

----------
Balik Arah Setelah Mendapatkan Sinyal Ponsel
---------------------------------

Ketika ponsel saya keluarkan dari tas, seorang rekan yang biasa saya sapa Teh Endang menghubungi. Saya jelaskan kami di mana dan seperti apa kondisi kami. Saya kemudian minta tolong Teh Endang menghubungi Pak Samhaji untuk menanyakan jalur.Tetapi nomor Samhaji tak bisa dihubungi. 

Sembari menunggu kabar dari Teh Endang, saya menghubungi seorang sahabat bernama Anas untuk mengabarkan pada orang tua saya, bahwa saya akan terlambat turun dari gunung karena hujan deras.  

Ya, saya melarang Anas menceritakan yang sebenarnya, agar mereka tidak panik. Lagi pula, saya yakin, kami pasti akan segera pulang. 

Tidak lama kemudian, Hendry, teman saya yang lain juga menelepon. Dia bilang akan kontak teman-temannya untuk cari bantuan terkait jalur.

Lalu masuklah pesan dari Teh Endang, “Upa, barusan aku nelpon Pak Susiono, dia menyarankan lo balik arah ke taman hidup, pertigaan itu harusnya lo ambil jalur lurus ke kanan,” katanya. 

Aku melengos. Membayangkan tanjakan curam yang kemarin kami lalui selama lima jam untuk turun. Kalau naik, mungkin akan lebih lama karena kami harus memanjat. Dan saat itu, kami sudah kehabisan makanan. Hanya ada sedikit meses dan margarin. Tetapi kami tidak punya pilihan, kami putuskan untuk kembali. 

Perjalanan memanjat dengan kondisi fisik melemah itu juga ditemani gerimis yang membuat jalur semakin licin. Di pertengahan jalan, sandal jepit Rezza putus. Jadilah dia berjalan tanpa alas kaki. 

Ketika kami kembail mendapat sinyal, saya kembali mengirim pesan ke Teh Endang untuk dikirimkan ranger. Saya kuatir kami tidak bisa sampai ke pertigaan taman hidup dengan kondisi fisik seperti itu. Sembari menunggu bantuan ranger, kami tetap berjalan pelan-pelan.

--------------
Tim SAR Pun Datang
-------------------------------

Sampai pukul 17.00, tidak ada satupun orang yang kami temui. Kami terus berjalan. Saya merasa benar-benar kehabisan tenaga saat itu, mungkin hanya naluri bertahan hidup yang menuntun untuk terus berjalan. Kami tiba di pertigaan Danau Taman Hidup pukul 18.30 malam dan hari sudah gelap. Tidak ada orang. 

Rezza sempat menawarkan untuk terus berjalan turun ke desa, tapi saya merasa sudah terlalu lelah. Akhirnya kami memutuskan mendirikan tenda di jalur, agar jika ada yang lewat, kami bisa mendengar langkah mereka. 

Sampai tengah malam, kami belum bertemu siapapun. Sementara beberapa rekan mengirim pesan, menanyakan apakah benar kami sudah bersama tim SAR sebab mereka mendapat kabar demikian. Kenyataannya, kami tidak bersama siapa-siapa. 

Baru pada jam 7 pagi, seorang bapak berteriak “Assalamualaikum”. Mendengarnya, saya langsung sumringah. 

Pak Arifin, Tim SAR, dan seorang temannya memang menjemput kami. Dia membawa gas dan mi instan, tapi sayangnya kompor kami berbahan baka spritus, bukan gas. Jadilah mi instant itu kami makan dengan air dingin. 

Saya sempat ceritakan mimpi saya pada Pak Arifin dan dia membenarkan petunjuk pada mimpi itu. “Kalau kalian terus ikuti jalur itu, sekitar 2 jam kalian akan sampai di desa,” katanya. 

Saya lalu ingat pada pesan Susiono yang menyuruh kami kembali. “Sial!” batin saya. Tapi sudahlah. Setidaknya kami sudah aman saat itu. 

Usai makan, kami berbenah dan merapikan tenda. Kami harus berjalan sekitar lebih dari satu jam untuk mencapai tenda Pak Arifin. Dia memutuskan berjalan duluan agar bisa menyiapkan makanan.

-------------
Diminta Berbohong Kalau Naik Gunung Tanpa Izin
-----------------------

Lebih dari satu jam berjalan, kami tak kunjung menemukan tenda Pak Arifin, tapi kemudian tampak sosok Pak Samhaji menyusul kami. 

Sambil memapah saya yang kesulitan berjalan, dia lalu meminta kami agar mengatakan kalau kami masuk tanpa izin jika nanti ada pihak yang menanyakan. Samhaji bilang, permintaan itu atas perintah atasannya, Susiono. 

Samhaji tampak ketakutan dan memohon agar kami berbohong. Saya sempat bertanya, memangnya kenapa kalau kami mengatakan yang sebenarnya? 

“Nanti kami dianggap lalai,” katanya. Saya pun mengiyakan, semacam tidak tega jika Samhaji harus terkena imbas dari kelalaian kami yang salah memilih jalan.

Sampai di tenda Pak Arifin, nasi dan mie telah matang, kami pun langsung makan. Saya memilih makan roti sebab maag sudah kambuh. Saat selesai makan dan bergegas untuk turun, tim SAR lain datang bersama seorang wartawan. Melihat mereka kelelahan, jadilah kami menunggu mereka melepas lelah. 

Kami mulai berjalan sekitar pukul 10.00. Dalam perjalanan ke desa, saya terus dipapah oleh Samhaji, dengan beberapa orang tim SAR ikut berjalan di belakang. Pak Arifin jalan duluan dengan langkah yang begitu cepat. Katanya dia akan mengabil motor dan menjemput kami sampai jalurnya memungkinkan. 

Saat jalur sudah mulai masuk perkebunan warga, saya dan Rezza dijemput Pak Arifin dengan sepeda motornya. Dia dengan lihai membawa kami berdua melewati jalan bebatuan.

“Samhaji bilang apa tadi?“ tanyanya. 

Seolah paham apa maksud Pak Arifin, kami jelaskan kalau kami diminta berbohong tentang izin masuk. Saya tidak ingat persis kalimat yang diucapkan Pak Arifin setelah itu, yang jelas, dia tampak tidak setuju dengan permintaan Samhaji. 

Belum sempat bertanya alasannya, kami sudah sampai pada truk milik tim SAR. Kerumunan wartawan tampak menunggu, pertanyaan dan kamera mereka terasa cukup mengganggu. 

Tetapi karena empati sesama wartawan dan paham rasanya menunggu narasumber, saya minta ke rekan saya untuk jawab saja pertanyaan mereka.

Dituding Pendaki Ilegal

Sampai di Pos Bremi, kami diminta masuk ke ruangan. Di ruangan itu tampak Susiono sedang duduk dan beberapa orang tim SAR. Kami kemudian diminta menceritakan kronologis kedatangan. Kami menceritakan semuanya dengan detail, tetapi kami berbohong tentang izin masuk. 

Reaksi mereka di luar dugaan saya. Terlebih Susiono. Kami diperlakukan seperti penjahat yang masuk tanpa izin. 

Susiono kemudian mengatakan bahwa sebenarnya mereka tidak bertanggung jawab atas keselamatan kami, karena kami pendaki illegal. Padahal Susiono tahu kalau kami sudah membayar karcis masuk dan kami sempat bertemu di pagi sebelum mendaki.

Saya dan rekan saya memutuskan hanya diam diperlakukan demikian. Yang saya pikirkan waktu itu hanyalah bagaimana ini cepat selesai dan kami bisa segera pulang.

Beruntung, rekan kantor Bisnis Indonesia di Biro Malang datang menjemput kami, saat mereka tahu kalau kami wartawan, Susiono berhenti ‘mengoceh’ dan kami diizinkan pulang. Beruntungnya juga, kami masih menyimpan kuitansi pembayaran dan foto di basecamp sebelum berangkat. 

Keesokan hari, berita soal hilangnya kami ramai di beberapa media massa. Berita-berita yang penuh kesimpangsiuran. Beberapa media bahkan salah menuliskan nama saya. Kabar kalau kami adalah pendaki ilegal pun masuk koran. 

Padahal, fakta yang terjadi adalah sebaliknya. Membacanya kami hanya bisa tertawa. Kami jadi paham rasanya terbius oleh manipulasi petugas yang kemudian diwartakan para pekerja media. 

Meskipun akhir perjalanan ini terasa menjengkelkan, tetapi bagi saya pelajaran ada di setiap incinya. Seperti kata si pendaki pertama Gunung Himalaya, Sir Edmund Hillary, “It’s not the mountain we conquer but our selves.” 

--TAMAT--

close