Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ketika Maryam Ibunda Nabi Isa Wafat, Para Malaikat Pun Menangis

Suatu ketika Nabi Isa a.s. berkata kepada ibunya, “Dunia ini hanya sementara, sedangkan akhirat itu kekal. Untuk itu, marilah kita berangkat ke sebuah bukit di Lebanon untuk beribadah kepada Allah dengan puasa di siang hari dan shalat di malam hari. Perbekalan sudah tersedia untuk beliau di sana berupa daun-daun untuk makanan dan air hujan untuk minumannya.” Alkisah, mereka berangkat dan menetap cukup lama di bukit itu. Pada suatu hari Nabi Isa a.s. pergi menuruni jurang untuk mengambil dedaunan guna dijadikan sebagai makanan pada saat berbuka puasa. Pada saat itu, Malaikat Maut datang menemui ibunya. Setelah mengucapkan salam, sang malaikat berkata, “Hai Maryam yang tekun berpuasa di siang hari dan beribadah di malam hari!”

Sebenarnya kamu ini siapa?” tanya Maryam, “sekujur tubuhku bergetar mendengar suaramu dan pikiranku meracau karena wibawamu,” lanjut Ibu Nabi Isa ini. “Aku ini yang tidak punya kasihan terhadap anak karena kecilnya, tidak hormat pada yang besar karena dewasanya. Akulah yang bertugas mencabut nyawa,” jawab Malaikat Maut.

Malaikat Maut, apakah kedatanganmu kepadaku hanya berkunjung atau hendak menyabut nyawaku?” tanya Maryam. “Siapkah dirimu menghadapi maut?” tanya Malaikat Maut. “Maukah kamu memberi tempo barang sebentar saja? Aku sedang menanti kedatangan kekasih dan buah hatiku, permata dan penawar kegelisahan hatiku?” pinta Maryam.

Semuanya bukan aku yang menentukan. Aku hanya seorang hamba Allah yang diberi tugas. Demi Allah, aku tidak kuasa mencabut nyawa seekor nyamuk pun tanpa seizin Tuhanku. Aku tidak akan menunda sedetik pun untuk mencabut nyawamu di tempat ini,” kata Malaikat Maut menegaskan. “Malaikat Maut, kamu telah dipercaya mengemban tugas. Sekarang laksanakanlah tugasmu itu,” sahut Maryam.

Malaikat Maut pun kemudian mencabut nyawa Maryam. Nabi Isa a.s. datang terlambat ke tempat ibunya hingga masuk akhir waktu isya. Ia datang menaiki bukit dan membawa dedaunan dan kubis di tangannya.

Beliau tidak mengetahui kalau ibunya sudah meninggal. Ketika melewati mihrab ibunya dan memandang ibunya yang tegak di mihrabnya, beliau mengira bahwa ibunya tengah menyelesaikan salat fardunya.

Beliau tidak mengetahui kalau ibunya sudah meninggal. Ketika melewati mihrab dan memandang ibunya yang tegak di mihrabnya, beliau mengira bahwa ibunya tengah menyelesaikan shalat fardunya. Setelah itu, beliau meletakkan apa yang dibawanya dan kemudian tegak beribadah hingga tengah malam.

Seusai beribadah, beliau memandangi ibunya dan memanggilnya dengan suara yang penuh kasih daridalam lubuk hati yang khusyuk. “Salam sejahtera mudah-mudahan tetaplah untuk Bundah. Waktu kini telah malam. Sekarang tibalah saatnya berbuka bagi yang berpuasa serta tiba pula saatnya untuk beribadah. Kenapa ibu berdiam diri tanpa melakukan semua itu?” begitu cara Isa menyapa ibunya.

Setelah sekian lama menunggu dan tidak ada reaksi dari sang ibu, Nabi Isa as pun kembali. “Memang tidur itu nikmat,” kata Nabi Isa as.

Kemudian kembali menghadap ke mihrabnya, tanpa sedikit pun makanan yang masuk ke dalamperutnya malam itu sampai sepertiga malam. Dengan menunjukkan rasa hormat kepada ibunya, beliau pun memanggil lagi ibunya dengan suara yang penuh kasih. “Salam sejahtera tetaplah kepada Bunda.” Namun ibunya tak bereaksi sedikit pun. Nabi Isa as kemudian menghadap lagi ke mihrabnya hingga terbit fajar. Kemudian beliau letakkan pipinya pada pipi dan mulut ibunya.

Beliau pun memanggil seraya menangis, “Salam sejahtera tetaplah terhatur untuk Bunda. Waktu malam telah lewat, kini waktu siang menghampiri kita untuk melaksanakan ibadah shalat kepada Tuhan Yang Maha Pemurah.”

Melihat kejadian itu, para malaikat dan jin menangis, bukti-bukti di sekitarnya bergema.

Melihat hal itu, Allah lalu menguji para malaikat. “Mengapa kalian menangis,” Tanya Allah.

“Ya Allah, Engkau Maha Mengetahui,” jawab para malaikat.

Kemudian Allah berfirman, “Sungguh Aku Maha Mengetahui lagi Maha Penyayang.”

Tiba-tiba ada suara, “Isa, angkatlah kepalamu. Ibumu sekarang telah wafat dan Allah memberimu pahala yang besar.”

Nabi Isa as pun mengangkat kepalanya sambil menangis terisak. “Siapakah yang menyertaiku pada saat sunyi dan sendirian? Siapakah yang menghiburku di perantauan ini? Siapa pula yang membantuku dalam beribadah?” kata Isa ketika itu.

Kemudian Allah menyampaikan wahyu kepada bukit untuk manasehatinya, “Isa, apa yang kau risaukan? Tidak inginkah kamu jika Allah yang akan menjadi penghiburmu?” Kemudian beliau pun turun dari bukit menuju sebuah perkampungan Bani Israel. Sesudah menyampaikan salam, beliau menjumpai mereka. “Siapa kamu ini? Wajahmu begitu bersinar sehingga menerangi rumah-rumah kami?” Tanya Bani Israel pada Nabi Isa. “Aku adalah ruh Allah. Aku ini Nabi Isa as. “Ibundahku telah fawat dalam perantauan, sudilah kiranya kalian mengurus jenazahnya, memandikan, mengafani, dan menguburkannya,” jawab Nabi Isa as, sambil meminta bantuan pengurusan jenazah Bunda Maryam pada Bani Israil. “Maaf, ya Ruh Allah. Bukit itu banyak sekali dihuni oleh ular besar dan ular kecil. Bahkan selama 300 tahun, leluhur kami tidak berani menjamahnya,” kata mereka.

Meski dengan kecewa, beliau pun kembali menaiki bukit itu. Pada saat itulah beliau bertemu dengan dua orang pemuda yang baik. Beliau mengucap salam dan kedua pemuda itu pun menjawab salamnya. “Hei pemuda, ibuku wafat di perantauan. Aku mohon bantuan kalian untuk mengurus jenazahnya,” pinta Nabi Isa.

“Kenalkan aku ini adalah Malaikat Jibril dan ini adalah Malaikat Mikail. Ini obat tubuh dan kain kafan dari Tuhanmu. Ketahuilah pada saat ini bidadari dari surga yang cantik-cantik sedang memandikan dan mengurus jenazah ibumu dengan kain kafan ini.”

Lalu Jibril yang menggalikan kuburnya di atas bukit itu. Mereka menguburkannya setelah menyalati dan menghormatinya.

Kemudian Nabi Isa as, berkata, “Ya Allah, hanya Engkau yang melihat posisiku dan mendengar keluhku. Tiada sedikitpun urusanku yang tersembunyi dari-mu. Ibundaku telah wafat dan akau tidak menyaksikan wafatnya. Untuk itu, izinkanlah dia berbicara kepadaku.”

Setelah itu, datanglah wahyu yang mengizinkan dia berbicara dengan ibunya. Beliau berdiri tegak di makam ibunya seraya berbicara dengan prihatin. “Salam sejahtera tetaplah terhatur kepada Bunda,” sapa Nabi Isa.

“Lalu, terdengarlah suara dari dalam kubur, “Kekasihku.. duhai buah hatiku!”

“Bunda, apa yang Bunda peroleh di tempat pembaringan dan tempat kembali itu? Bagaimana pula Bunda menghadap Tuhan?” Tanya Nabi Isa as, kepada ibunya.

"Aku memperoleh tempat pembaringan dan tempat kembali terbaik. Aku mendapat rida Allah dalam menghadap-Nya,” jawab ibunya.

"Bunda, bagaimana dengan rasa sakit saat maut menjemput?” Tanya Nabi Isa as, menyempatkan diri.

Demi Allah telah mengutusmu sebagai Nabi yang membawa kebenaran sampai saat ini rasa pedihnya maut masih belum hilang dari kerongkongan. Kehebatan Malaikat Maut pun belum lenyap dari pandangan mataku. Untuk itu, haturkan salam sejahteramu untuku hingga Hari Kiamat,” tutur ibundanya.

(Disarikan dari buku Ada Surga di Tapak Kaki Ibu karya Mokh Syaiful Bakhri)
close