Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perjalanan Spiritual Kejawen Gunung Lawu Part4


Sesampai di padepokan Harun menemui sang guru dan sang guru kembali menerima Harun dengan senang hati.

Harun pun menerima banyak amalan dari sang guru dan pada suatu ketika, tepatnya bulan suro. Guru memerintahkan kepada kami berdua pergi ke sebuah air terjun untuk bertapa dan dilanjut dengan perjalanan malam untuk mengambil sebuah batu yang letaknya ada di gunung wilis.

Mendengar perintah itu Harun merasa tidak yakin, mungkin dia trauma dengankejadian yang pernah dialaminya di gunung lawu waktu itu.

Kami berangkat diatar oleh sang guru ke sebuah air terjun yang terletak di dekat gunung wilis.

Kami berangkat pada sore hari dan sesampai di air terjun itu sekitar jam 10 malam, sesampai disana sang guru memberikan berbagai instruksi yang harus kami patuhi, setelah itu sang guru meminta untuk istirahat dan menyiapkan diri masing-masing.

Sekitar jam 12 malam, kamipun mulai bertapa dibawah air terjun dan beberapa gangguan mistispun kualami.

Ketika sedang bertapa itu tiba-tiba aku mendengar ada suara raungan macan, mendengar suara itu spontan aku hilang fokus dan aku mencari sumber suara itu, ternyata suara raungan macan itu keluar dari mulut Harun yang sedang fokus dalam bertapanya.

Melihat itu adalah suara Harun akupun melanjutkan bertapaku dan memfokuskan fikiranku lagi.

Tidak lama kemudian aku mendengar seperti ada suara gamelan dari atas tebing yang terdengar sangat merdu hingga membuat ku tidak bisa fokus lagi dalam bertapa.

Tapi syukurlah, satu malam telah berlalu dan kami telah menyelesaikan bertapa, setelah selesai bertapa guru meminta kepada kami istirahat dan mempersiapkan diri untuk perjalanan nanti malam ke gunung wilis.

Singkat cerita, malam berikutnya kami akan melakukan perjalanan malam ke gunung wilis untuk mengambil sebuah batu.

Sebelum berangkat sang guru memberikan berbagai instruksi yang harus kami perhatikan,

“Kalian harus naik ke gunung itu dan mengambil sebuah batu yang letaknya ada di dalam sebuah goa, dan ingat goa itu bukan sekedar goa, itu adalah tempat bertapanya sosok makhluk yang menyerupai monyet”

Lalu aku bertaya,

“Apakah sosok itu tidak akan marah jika kami mengambil batu dari dalam goa itu?”

“Tidak, asalkan kalian selalu menjaga sopan santun dan jangan lupa permisi ketika akan masuk dan mengambil batu tersebut”, jawab sang guru.

“Apa saja yang harus kita hindari selama perjalan?” sahut Harun.

“Selama perjalanan kalian harus menjaga hawa nafsu dan sopan santun”, jawab sang guru.

Setelah memberikan beberapa instruksi itu sang guru lalu memberikan sebuah pedang kepadaku dan lanjut berucap,

“Pedang ini untuk bekal perjalanan kalian, gunakan untuk melindungi diri kalian tapi ingat, jika kalian bertemu dengan sosok ular jangan dibunuh karena kalian tidak akan sanggup, tapi kalau selain ular kalian bisa membunuhnya jika mereka hendak menyakiti kalian”.

Akupun menerima pedang yang diberikan guru.

Harun, dia sedikit merasa trauma dengan perjalanan kali ini karena mengingat dia pernah dibawa oleh jin ke alam lain ketika melakukan perjalanan malam di gunung lawu waktu itu, karena cemas Harun bilang kepadaku,

“Yad, aku merasa trauma dengan kejadian yang pernah kualami di gunung lawu waktu itu”

“Tenangkan fikiranmu Run, usahakan dalam hal apapun kita harus selalu bareng selama perjalanan”, jawabku meyakinkan Harun.

Mendengar itu Harunpun yakin dan setelah itu kami memulai perjalanan kami.

Mulai berjalan, diawal-awal perjalanan kami tidak ada kendala apapun, hanya melihat beberapa monyet yang memang tinggal di hutan tersebut dan tidak mengganggu.

Sekitar beberapa jam kami berjalan, tiba-tiba kami dihampiri oleh seorang wanita yang sangat cantik dan anggun, dan wanita itu mengenakan baju khas kerajaan.

Wanita itu berkata pada kami berdua,

“Aku tau tujuan kalian datang kemari, aku hanya menyarankan agar kalian lebih waspada setelah melewati hutan itu”, jawab wanita itu sambil menunjuk kearah hutan dibelakangnya.

Mendengar perkata’an wanita itu aku menjawab,

“Terima kasih sudah mengingatkan kami”.

Wanita itu menjawabnya dengan senyum sambil berjalan pergi kedalam hutan hingga kami tidak melihatnya.

Disini kami tau satu hal kalau ternyata wanita itu bukanlah manusia, entah itu jin atau seorang putri kerajaan, karena kalau dilihat dari pakaiannya dia seperti seorang putri keraja’an.

Kamipun lanjut berjalan dan mengingat ingat perkataan wanita yang tadi kami jumpai, sambil berjalan itu Harun bertanya padaku,

“Yad, wanita tadi itu siapa ya? Cantik bener”

“Huss, ingat apa kata guru kita harus tetap fokus dengan tujuan kita”, jawabku mengingatkan Harun.

Singkat cerita, sampailah kami di hutan yang dimaksud wanita tadi, sesampai dihutan itu kami merasakan ada hawa yang sedikit berbeda dari biasanya tapi kami mengabaikannya dan istirahat di sebuah batu besar untuk minum dan merokok.

Setelah rokok habis entah kenapa kami berdua tiba-tiba merasa ngantuk berat, seperti ada sesuatu yang membuat kami agar tidur di batu tersebut.

Akhirnya kamipun tertidur diatas batu tersebut dengan posisi terlentang tapi belum lama kami tertidur tiba-tiba aku mendengar seperti ada raungan macan di dekat kami.

Awalnya aku mengira itu adalah suara Harun, karena sebelumnya aku pernah melihat Harun sedang meraung seperti macan.

Mendengar itu aku segera membuka mataku dan ternyata itu bukanlah suara Harun melainkan benar-benar suara macan yang berada tepat dibawah batu tempat kami tertidur.

Akupun langsung duduk dari tidurku, ketika sudah duduk ternyata dibalik batu yang satunya ada 1 ekor macan lagi. Jadi dibawah batu yang kami tempati ini ada 2 ekor macan yang berwarnya hitam dan anehnya 2 macan itu sangat besar, seukuran kerbau.

Melihat keberada’an macan itu spontan aku mengeluarkan pedang yang dibekalkan sang guru untuk berjaga-jaga bila macan itu menyerang.

Setelah pedang itu aku keluarkan tiba-tiba salah satu macan itu melompat keatas batu dan akan menerkam Harun yang masih tertidur.

Ketika macan itu akan menerkam Harun dengan sigap aku langsung menusuk perut macan itu dengan pedang yang kupegang hingga akhirnya Harun selamat dari terkaman macan itu dan kedua macan itu berlari menjauh kedalam hutan.

Setelah kedua macan itu pergi aku segera membangunkan Harun dan mengajaknya untuk melanjutkan perjalanan, dan aku tidak menceritakan tentang macan itu kepada Harun dengan tujuan agar Harun tidak panik.

Tidak lama kami berjalan, tiba-tiba jalan yang kami lalui ini buntu, yang ada hanyalah semak belukar yang sangat rimbun.

Terpaksa kami menerabas semak itu untuk membuka jalan dan setelah keluar dari semak itu tepat didepan kami ada sebuah goa yang jaraknya sekitar 10 meter dari tempat kami berdiri.

Melihat keberada’an goa itu kami sedikit lega, kami mengira itu adalah goa yang dimaksud sang guru.

Kami pun berjalan menuju ke goa tersebut, sesampainya di mulut goa ternyata kami melihat ada seseorang yang sedang bertapa, orang itu terlihat sangat tenang dengan ciri-ciri hanya memakai celana pendek dan seluruh tubuhnya penuh dengan bulu, orang itu berwajah hitam legam dengan bulu yang berwarna abu-abu.

Kami memberanikan diri untuk masuk kedalam goa tersebut dan tidak lupa permisi.

Pelan-pelan kami masuk kedalam karena kami tidak ingin mengusik seorang petapa itu.

Sesampai didalamakhirnya kami menemukan sebuah batu yang dimaksud sang guru itu dan aku segera mengambilnya lalu membawa batu itu turun.

Sebelum meninggalkan goa itu, aku berkata,

“Amit mbah, aku mung arep nggowo watu iki mudun”

(Permisi mbah, aku hanya ingin membawa batu ini turun)

Setelah kata-kata itu ku’ucapkan kamipun kembali turun dengan membawa batu itu.

Berjalan turun, ditengah-tengah perjalanan tiba-tiba kami melihat ada se’ekor ular yang sangat besar sedang melintas didepan kami tapi, ular itu aneh, dia tidak berjalan seperti ular pada umumnya, dia berjalan seperti ular kobra tapi itu bukan ular kobra melainkan lebih mirip seperti ular sanca.

Melihat itu Harun sangat panik dia memintaku agar membunuhnya tapi aku ingat pesan dari sang guru bahwa kami tidak boleh membunuh ular karena kekuatan kami tidak akan sanggup membunuhnya.

Akhirnya kami membiarkan ular itu berjalan melintas, karena disisi lain ular itu tidak mengganggu.

Setelah ular itu melintas kami lanjut berjalan lagi hingga sampai di bawah sekitar sebelum subuh.

Sesmpai dibawah aku memberikan batu itu kepada sang guru kemudian sang guru meminta kepada kami agar sholat subuh dan istirahat sebentar sebelum kembali ke padepokan.

Ketika sedang istirahat guru mendatangi kami dan bilang,

“Semua yang kalian lihat di gunung tadi adalah gaib, hanya orang-orang tertentu saja seperti kalian yang bisa melihatnya”

Ternyata, sosok wanita yang kami temui itu adalah titiasan putri keraja’an Mataram, 2 sosok macan yang hampir menerkam mereka itu adalah sosok gaib macan jawa, goa beserta petapa didalamnya itupun juga gaib, petapa itu ternyata penghuni goa tersebut yang sudah ratusan tahun lamanya bertapa di goa itu, sedangkan ular besar yang mereka jumpai itu adalah penghuni gunung wilis.

Singkat cerita, sampilah kami di padepokan, sesampai di padepokan aku mengembalikan pedang yang pernah diberikan oleh sang guru kepadaku waktu itu, tapi sang guru tidak ingin menerima pedang itu karena menurut sang guru pedang itu sudah cocok denganku, jadi pedang itu diwariskan kepadaku.

kamipun lalu istirahat untuk melepas penat setelah 1 hari 2 malam melakukan petualangan malam, ketika sedang istirahat aku bilang kepada Harun tentang 2 macan yang hampir menerkamnya dan tentang suara macan yang sempat keluar dari mulutnya.

Mendengar penjelasan dariku Harun sedikit tidak percaya, karena dia tidak merasa seperti apa yang sudah kukatakan.

Lalu aku memperlihatkan sesuatu kepada Harun yaitu pedang dari sang guru yang masih berlumuran darah macan.

Dan dari situlah Harun baru percaya dengan kata-kataku.

Singkat cerita setelah bertahun-tahun kami mengabdi di padepokan akhirnya aku di’izinkan oleh guru untuk meninggalkan padepokan dengan ilmu kejawen yang sudah aku peroleh darinya, sedangkan Harun, dia masih harus lebih lama lagi mengabdi di padepokan.

Di rumah Ilmu itu aku gunakan untuk menolong orang yang membutuhkan, seperti orang yang terkena santet, orang yang terkena gangguan jin dsb.

Hingga sa’at ini aku masih sering datang ke padepokan untuk sowan dengan guru juga sekalian menemui Harun yang masih tinggal disana. Dan pedang pemberian dari sang guru itu masih kusimpan sampai sekarang dengan kondisinya yang berlumuran darah macan.

~TAMAT~
close