Perjalanan Spiritual Kejawen Gunung Lawu Part3
Setelah membasuh wajahnya dengan air sumur itu tiba-tiba ada seorang kakek yang tidak begitu tua menghampirinya, dan anehnya rasa ketakutan dan kebingungan yang sebelumya dia rasakan kini sudah hilang setelah dia membasuh wajahnya dengan air tersebut.
Melihat kedatangan kakek itu Harun pun bertanya,
“Pakde, niki ten pundi?” (Kek, ini dimana?)
Lalu kakek itu menjawab,
“Iki jenenge deso S le, lah sampeyan asale tekan ngendi?” (Ini namanya desa S nak, kamu asalnya darimana?) (Untuk nama desanya aku gak bisa sebutkan)
Lalu Harun lanjut bertanya,
“Kulo asli Madiun pakde, nek tekan kene nang Madiun tebeh nopo pakede?” (Kalau dari sini ke Madiun jauh nggak kek?)
Lalu kakek itu mengajak Harun untuk kerumahnya.
Sesampai dirumahnya kakek itu memberitahu banyak kepada Harun tentang kampung yang ditempati ini dan seberapa jauh untuk menuju ke Madiun.
Ternyata kampung itu bukanlah kampung gaib seperti yang dilihat Harun sebelumnya melainkan ini memang benar-benar kampung yang dihuni oleh manusia.
Dan selama Harun berada di kampung itu orang-orang kampung menganggap Harun adalah orang gila.
Pantas saja dia mendatangi beberapa rumah untuk meminta makan tidak ada yang mau memberinya, bahkan sampai diusir.
Setelah mendengar penjelasan kakek itu Harun pun menceritakan kepada kakek itu bagaimana dia bisa sampai disini.
Setelah mendengar cerita dari Harun kakek itu merasa kasihan kepada Harun, hingga akhirnya kakek itu memberinya sejumlah ongkos untuk Harun kembali pulang ke Madiun.
Harun menerima pemberian kakek itu dan mengucapkan banyak terima kasih karena telah berbaik hati kepadanya dan hari itu juga Harun pulang ke Madiun dengan bekal ongkos yang diberi kakek itu.
Di tengah perjalanan Harun kembali ke kampung halamannya dia teringat dengan dua temannya yaitu Yadi dan Sigit yang waktu itu bersamanya untuk sebuah misi mendalami ilmu kejawen.
Singkat cerita sampailah Harun di kampung halamannya, sesampai di kampung halamannya dia tidak langsung pulang kerumah tapi langsung menuju kerumah temannya yaitu Yadi.
Sesampai dirumah Yadi dia mengetuk pintunya dan yang membukakan pintu adalah Yadi sendiri.
(Oke kita kita kembali ke cerita)
Mendengar cerita dari Harun aku merasa heran, ternyata sesingkat itu perjalanan yang dilalui Harun, bisa dibilang itu cuma sehari semalam sedangkan selama hilangnya Harun itu aku sudah 2 bulan lebih kehilangannya.
Akupun sangat merasa bersalah, lalu aku lanjut bertanya pada Harun,
“Syukurlah Run kamu sekarang sudah kembali pulang, tapi dimana Sigit Run?”
“Aku tidak tau dimana Sigit, yang aku ingat waktu itu Sigit sudah jalan duluan meninggalkan kita”, jawab Harun yang tidak tau apa-apa.
“Semoga Sigit bisa kembali pulang dengan selamat ya Run”, jawabku kepada Harun.
Mendengar itu Harun sedikit tersentak, lalu dia menjawab,
“Loh memangnya Sigit belum juga pulang?”
“Sepertinya belum, sejak pulang dari padepokan aku tidak berani keluar rumah karena takut orang tuanya menanyakan”, jawabku kepada Harun.
Lalu Harun mengajakku untuk mendatangi rumah Sigit, siapa tau Sigit sudah pulang dan aku tidak mengetahuinya.
Akupun menyetujui ajakan Harun dan kami berdua pergi kerumah Sigit, setelah sampai dirumah Sigit ternyata benar, Sigit sudah berada dirumah 1 bulan yang lalu tapi dengan keada’an memprihatinkan, dia tidak bisa bicara, alias bisu.
Melihat Sigit dirumah aku berdua sangat lega tapi juga turut prihatin dengan keada’an Sigit yang seperti itu, lalu aku meminta kepada Sigit untuk menceritakan tentang dirinya selama dia hilang di gunung lawu waktu itu.
Karena kondisi Sigit yang tidak bisa bicara Sigitpun tidak bisa menceritakan banyak kepada kami berdua, dia hanya menceritakan sedikit melalui tulisan yang ditulisnya diatas di kertas.
Diatas kertas itu menjelaskan bahwa setelah buang air kecil itu Sigit didatangi seorang kakek tua lagi, tapi kakek ini berbeda dengan yang ditemuinya tadi, kali ini kakek itu terlihat seperti manusia biasa dengan memakai tudung tani. Kakek itu lalu datang kepada Sigit dan bilang,
“Le, aku jaluk rokokmu siji” (Nak aku minta rokokmu satu batang saja)
Sigit mengira kakek ini adalah manusia biasa yang mempunyai tujuan sama dengannya.
Karena waktu itu rokoknya Sigit ada di tas dia pun segera mengambilnya dan meminta kakek itu untuk menunggunya disitu, lalu Sigit kembali ke tempat istirahatnya tadi dan mengambil rokoknya yang ada di tas.
Sesampainya Sigit di tempat kakek tua tadi Sigit tidak melihat kakek itu lagi, entah kemana perginya, lalu dia memanggilnya,
“Kek, ini rokoknya kek” tapi tidak ada jawaban sama sekali.
Sigitpun terus mencarinya tapi tetap tidak menemukannya.
Ketika sedang mencari kakek tua yang meminta rokok waktu itu tiba-tiba Sigit mendengar ada orang yang memanggil namanya.
Karena suara yang memanggilnya itu terdengar seperti suara Yadi Sigitpun menjawabnya, dan setelah dia menjawab suara yang memanggilnya itu tiba-tiba dia merasa mulutnya sedang dibungkam oleh seseorang dari belakang hingga dia pingsan.
Setelah sadar dari pingsannya Sigit merasa kebingunan karena tiba-tiba saja dia berada di sebuah gubuk yang belum pernah dia lihat sebelumnya.
Karena merasa tempat itu asing baginya Sigit pun segera berjalan untuk mencari jalan pulang, tapi tidak menemukannya.
Dia juga sempat menjumpai sebuah perkampungan yang semua penghuninya berwajah aneh.
Beberapa kali dia mencoba bertanya kepada orang-orang berwajah aneh tersebut tapi dia tidak bisa berkomunikasi dengannya karena dia merasa mulutnya tidak bisa bicara hingga akhirnya membuat dia putus asa.
Diapun pasrah dengan keada’annya, tidak lama kemudian ada sosok kakek tua berjubah putih yang sedang terbang dan menghampirinya dan mengembalikan dia ke rumah dengan keadaan yang tidak bisa bicara sampai saat ini.
Setelah membaca cerita yang ditulis Sigit aku menyimpulkan.
Inilah alasannya kenapa sang guru pernah berpesan sebelum kami berangkat ke gunung lawu waktu itu,
“Jangan pernah memanggil satu sama lain dengan menyebut nama asli”
Ternyata yang dimaksud sang guru adalah, jika ada yang memanggil dengan nama asli sudah dipastikan yang memanggilnya itu bukan manusia melainkan jin.
Setelah membaca pernyata’an dari Sigit itu aku dan Harun pulang kerumah masing-masing.
Ke’esokan harinya Harun kembali mendatangiku kerumah dan mengajakku ke kampung yang berinisial “S” untuk menemui kakek yang pernah menolongnya untuk berbalas budi.
Mendengar ajakan itu akupun ikut bersama Harun ke kampung “S” dan menemui kakek tersebut.
Sesampai dirumah kakek tersebut Harun mengembalikan ongkos yang pernah diberikan oleh kakek itu kepadanya dan beberapa barang lainnya sebagai tanda terima kasih.
Mereka juga menceritakan tentang pengalamannya tentang ilmu kejawen yang dipelajarinya dan kakek itu berpesan pada mereka,
“Untuk mempelajari ilmu tersebut memang tidak gampang, kalau tidak kuat bisa-bisa jiwa kalian yang menjadi taruhannya”
Dalam artian kalau tidak kuat bisa-bisa gila.
Setelah berbalas budi kepada kakek itu mereka berdua kembali pulang dan 2 minggu sudah berlalu.
Aku harus kembali ke padepokan untuk mengabdi.
Sebelum berangkat tidak lupa aku berpamitan kepada Harun dan Sigit teman seperjuanganku dan Harun, dia berjanji akan menyusulku ke padepokan untuk kembali mempelajari ilmu kejawen yang diinginkannya.
2 minggu telah berlalu. Yadi, dia haus kembali ke padepokan untuk mengabdi, sebelum berangkat dia berpamitan dengan Harun dan Sigit, teman seperjuangannya dan Harun dia berjanji kepada Yadi akan menyusul Yadi ke padepokan untuk mempelajari ilmu kejawen yang diinginkannya.
Singkat cerita, sampailah aku di padepokan, sesampai di padepokan aku memberitahu guru tentang kembalinya Harun dan musibah yang menimpa Sigit, mendengar itu guru hanya tersenyum sambil bilang,
“Itulah sebabnya aku memintamu pulang”.
Mendengar itu aku heran, ternyata sang guru sudah tau.
Lalu aku lanjut berucap,
“Tapi kasihan sama Sigit, dia tidak bisa bicara”
“Bisunya Sigit itu dikarenakan dia masih dibungkam oleh jin dari gunung lawu waktu itu” jawab sang guru.
“Lalu, apa ada cara untuk menyembuhkan Sigit?” tanyaku lagi.
“Tidak ada, yang membungkam mulutnya itu adalah bangsa jin karena dia sudah pantangan aturan yang pernah saya berikan”
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tidak terasa 1 tahun telah berlalu.
Selama 1 tahun itu di padepokan aku sudah belajar banyak dari sang guru, berbagai rintangan mistis pun sudah kualami, mulai dari bermalam di kuburan, menghafal kitab-kitab jawa, menghafal doa islami dsb.
Pernah pada suatu hari guru memintaku untuk bertapa di sungai selama satu malam untuk mengasah ilmu yang sudah aku pelajari. Dan pada sa’at berendam itu guru berpesan kepadaku agar tetap fokus dan mengabaikan semua yang mengganggunya.
Pada sa’at berendam itu banyak sekali gangguan mistis yang kualami.
Salah satunya adalah, ketika sedang bertapa aku sempat didatagi 2 ekor buaya putih dan akan memangsaku, tapi dengan ilmu yang sudah pernah diajarkan oleh gurun aku berusaha menenangkan 2 ekor buaya itu hingga akhirnya aku selamat dari ancaman buaya tersebut.
Ternyata buaya yang menggangguku itu bukanlah buaya biasa, melainkan buaya gaib penunggu sungai itu.
Ketika sepertiga malam, aku juga sempat melihat ada beberapa orang wanita yang mengenakan pakaian khas jawa kuno sedang mandi di sungai tersebut.
Salah satu wanita itu sempat mengajakku untuk masuk ke dasar sungai dengan tujuan ingin menjadikanku sebagai pengikutnya, tapi aku tetap fokus bertapa dan mengabaikannya sesuai saran dari guru.
Satu malam telah berlalu, dan telah telah berhasil menyelesaikan bertapaku ketika hari sudah menjelang subuh.
Setelah itu aku kembali ke padepokan, setelah sampai di padepokan pagi harinya aku menemui sang guru dan menjelaskan tentang kejadian yang kulami selama bertapa itu.
“Kamu akan bisa berjalan diatas air sungai itu Yad, tapi kau harus mengamalkan beberapa amalan yang akan kuberikan kepadamu” Ucap guru kepadaku.
Aku tidak begitu paham dengan perkata’an guru waktu itu.
2 tahun lamanya aku tinggal dan mengabdi di padepokan untuk mendalami ilmu kejawen, selama 2 tahun itu aku sudah lebih banyak belajar dari sang guru dan pada tahun 2001 Harun menyusulku kembali ke padepokan dengan tujuan ingin belajar ilmu itu lagi.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya