Tragedi Perang Jamal Pada Awal Kekhilafahan Ali bin Abi Thalib
Perang Jamal terjadi pada tahun 36 H yaitu pada awal kekhilafahan Ali bin Abi Thalib. Perang ini mulai berkecamuk dari sebelum Subuh dan berakhir sebelum matahari terbenam.
Dalam perang Jamal ini, Khalifah Ali dengan 10.000 pasukan, sementara pasukan Aisyah ra dengan berUnta berjumlah 5.000–6.000. Dalam perang yang disebabkan oleh fitnah ini kaum muslimin banyak sekali yang terbunuh.
Perang Jamal ini berawal dari terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan. Beliau terbunuh dalam keadaan membaca Al-Quran, hingga darah bercucuran dalam mushaf yang beliau baca.
Umat muslim dibuat heboh dengan kabar ini. Khalifah Ali bin Abi Thalib, sebagai penganti kekhalifahan berikutnya, dituntut untuk mengusut tuntas kasus pembunuhan Khalifah Ustman bin Affan.
Proses pengusutan kasus ini membutuhkan waktu yang begitu lama dan tidak mudah. Para sahabat begitu resah dan akhirnya mengadu kepada Sayyidatina Aisyah ra yang kemudian mengirim pasukan untuk menemui Sayyidina Ali untuk mengajak kerjasama menyelesaikan kasus terbunuhnya Khalifah Ustman bin Affan.
Ketika pasukan Aisyah sampai ke wilayah Khaliffah Ali, beliau mengira akan ada penyerangan karena jumlah pasukan yang datang begitu banyak. Kesalahfahaman tersebut membuat beliau menyiapkan pasukan dan mengirim utusan untuk menanyakan tujuan pasukan yang datang tersebut.
Setelah pasukan Aisyah ra menjelaskan bahwa maksud kedatangan mereka untuk mengajak kerjasama pengusutan kasus pembunuhan Khalifah Ustman, Sayyidina Ali dan pasukannya merasa senang dan menyambut mereka dengan baik. Pada malam harinya, mereka tidur dengan tenang dan damai, di bawah tenda-tenda di padang pasir kota madinah.
Dalam kegelapan malam tersebut, ada beberapa orang penyelundup yang masuk menyerang pasukan Ali dan satu lagi menyerang pasukan Aisyah ra. Kelompok ini adalah pengikut dari Abdullah bin Saba pembunuh Khalifah Ustman RA. Mereka ingin mengadu domba kedua belah pihak dengan menyusup pada masing-masing kelompok agar keberadaan mereka tidak dapat diketahui.
Di malam yang gelap gulita, yang terdengarlah suara pertempuran dan hantaman pedang. Pasukan Ali mengira bahwa terjadi penghianatan oleh pasukan Aisyah, dan begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, kedua pasukan saling menyerang dan terjadi pertempuran dahsyat antara kaum Muslimin di kegelapan malam hingga menjelang tengah hari.
Para pembesar dari kedua belah pihak pasukan berupaya menghentikan peperangan tersebut, namun mereka tidak berhasil melerai. Ketika itu Thalhah berkata: “Wahai manusia, apakah kalian mendengar!” Namun mereka tidak mendengarkan seruannya. Lalu, dia berkata: “Buruk! Buruk sekali jilatan neraka! Buruk sekali kerakusan!”
Khalifah Ali juga berupaya melerai pertikaian tersebut, namun mereka juga tidak menggubrisnya. Sayyidatina Aisyah lalu mengirimkan Ka’ab bin Sur dengan membawa Mushaf Al-Quran untuk menghentikan peperangan, namun ia gugur sebab dibidik panah oleh para pengikut Abdullah bin Saba.
Pada perang Jamal ini ribuan korban syahid berjatuhan, termasuk sahabat dekat Rasulullah SAW, yaitu Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awam.
Thalhah terbunuh karena terkena anak panah yang mengenai kakinya, tepat pada bekas luka lamanya. Saat itu Thalhah sedang berupaya melerai para prajurit yang saling berperang.
Prajurit yang terbunuh juga dari mereka yang menjaga unta yang dikendarai oleh Sayyidatina Aisyah. Aisyah adalah simbol penting bagi mereka, oleh sebab itu mereka mati-matian melindunginya.
Akhirnya dengan tumbangnya unta yang ditunggangi Aisyah ra., perang pun berhenti dengan kemenangan di pihak Ali. Walaupun sesungguhnya tidak ada pihak yang menang, justru kaum Muslimin memperoleh kerugian besar dalam perang ini.
Pasca Perang Jamal, Saayyidina Ali berjalan di antara para korban dan menemukan mayat Thalhah bin Ubaidillah. Didudukanlah mayat Thalhah dan Ali mengusap debu dari wajahnya. Ali berkata: “Wahai Abu Muhammad, alangkah berat perasaan ini melihatmu meninggal tergeletak di atas tanah di bawah bintang-bintang langit.” Ia pun kemudian menangis seraya berkata: “Aduhai, seandainya aku mati dua puluh tahun silam sebelum peristiwa ini.
Kemudian, Sayyidina Ali mendapati mayat Muhammad bin Thalhah (anak dari Thalhah), dan ia menangis lagi. Muhammad bin Thalhah ialah orang yang mendapat julukan Assajjad (orang yang banyak sujud) karena ia banyak beribadah. Seluruh Sahabat yang ikut dalam perang ini, akhirya menyesali apa yang telah terjadi.
Setelah perang usai, Sayyidina Ali menemui Ummul Mukminin Aisyah, lalu mengantarkannya pulang ke Madinah dengan penuh penghormatan. Sebab, dahulu Rasulullah SAW pernah memerintahkan kepada Sayyidina Ali supaya memuliakan dan menghormati Aisyah.
Diriwayatkan dari Ali; dia berkata bahwasanya Rasulullah bersabda kepadanya: “Akan terjadi suatu masalah antara kau dan Aisyah.” Ali berkata: “Wahai Rasulullah, kalau begitu, tentu aku akan menjadi orang yang paling celaka.” Rasulullah bersabda: “Tidak demikian adanya, tapi jika itu terjadi, maka kembalikanlah dia (Aisyah) ke tempatnya yang aman.” (HR. Ahmad dalam musnadnya [VI/393]. Alhafidz Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Baari [XIII/60])
Alasan Sayyidina Ali Menunda Qishash bagi Pembunuh Utsman
Khalifah Ali meninjau masalah ini dari segi maslahat dan ia melihat bahwa yang maslahat adalah menunda qishash, namun bukan meninggalkannya sama sekali. Inilah yang menjadi alasan ditundanya qishash.
Menunda qishash dalam pandangan Khalifah Ali akan menimbulkan kerusakan yang lebih kecil daripada mempercepatnya. Selain itu, pada masa-masa tersebut, para pembunuh Utsman juga belum diketahui secara pasti. Walaupun memang ada otak terjadinya fitnah ini dan mereka mempunyai kabilah-kabilah yang akan membela mereka.
Sedangkan keamanan belum pulih, dan fitnah saat itu masih terjadi. Bahkan, bila Ali mengqishashnya ketika itu, bisa dipastikan mereka akan membunuh Sayyidina Ali setelahnya.
Oleh sebab itu, ketika kekhalifahan dipegang oleh Mu’awiyah, ia pun akhirnya tidak mengqishas para pembunuh Utsman. Mengapa? Sebab, pada akhirnya kesimpulannya sama seperti sayyidina Ali. Ketika itu Khalifah Ali melihat realita, sedangkan Mu’awiyah masih berdasarkan analisanya saja.
Namun setelah memegang tampuk kepemimpinan, Mu’awiyah akhirnya melihat kondisi sesungguhnya (di lapangan). Benar, Mu’awiyah telah mengirimkan orang untuk mengqishash sebagian di antara pembunuh Utsman, tetapi sebagiannya masih hidup sampai jaman Alhajjaj.
Barulah ketika masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan akhirnya mereka diqishash semua. Intinya, waktu itu Khalifah Ali belum bisa membunuh mereka bukan karena lemah, namun karena mengkhawatirkan keadaan umat ketika itu.
Setidaknya kita dapat mengambil hikmah dari peristiwa tersebut. Bahwa fitnah dan adu domba merupakan ancaman yang besar bagi kaum muslimin. Sayyidina Ali ra, sahabat nabi, seorang khalifah, seorang yang dijamin masuk surga dan seorang yang dijuluki rasul sebagai babul ilmi (pintunya ilmu), bisa termakan oleh fitnah pengadu domba.
Apalagi kita, orang-orang awam yang hidup jauh setelah kenabian, yang faqir ilmu pengetahuan keagamaan, yang belum tentu nanti meninggal dalam iman atau kekafiran (naudzubillah), tentunya kita sangat rawan terhasut fitnah oleh pengadu domba. Demikian,
Wallahua’lam bisshawab.